Kesehatan

Menyingkap Misteri Virus Corona yang Justru Tak Terlalu Berbahaya bagi Anak-Anak

person access_time 4 years ago
Menyingkap Misteri Virus Corona yang Justru Tak Terlalu Berbahaya bagi Anak-Anak

Ilustrasi anak-anak di tengah pandemi corona (foto: matconlis.com)

Dari seluruh kasus Covid-19 yang menyerang anak-anak di Tiongkok, hanya 0,2 persen yang menderita gejala serius. Faktanya, hanya satu bayi meninggal. Mengapa anak-anak tidak terlalu rentan ketika terinfeksi?

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 24 Maret 2020

kaltimkece.id Kabut misteri yang menyelimuti sifat dan karakteristik virus SARS-Cov-2 masihlah tebal. Para ilmuwan berupaya keras menyingkapnya satu per satu. Misteri yang menyita perhatian adalah mengapa dampak klinis dan medis dari virus ini sangat ringan kepada anak-anak? Padahal, orang lanjut usia dan yang memiliki riwayat penyakit kronis begitu berisiko ketika terinfeksi.

Sumber paling utama untuk mengurai misteri tersebut adalah kembali ke "kota asal" virus yakni Wuhan. Di sana, Pemerintah Tiongkok menyiapkan sebuah rumah sakit khusus anak-anak. Fasilitas kesehatan ini adalah satu-satunya pusat penanganan anak-anak berusia di bawah 16 tahun dengan gejala Covid-19. 

Tim peneliti dari Tiongkok yang terdiri dari ahli medis dan akademikus segera memeriksa data-datanya. Mereka menganalisis hasil klinis anak-anak yang dirawat hingga 8 Maret 2020.

Dari 1.391 anak yang dirawat sepanjang 28 Januari hingga 26 Februari 2020, sebanyak 171 orang atau 12,3 persen terinfeksi SARS-CoV-2. Usia rata-rata anak yang terinfeksi ini adalah 6,7 tahun (SARS-CoV-2 Infection in Children, Korespondensi The New England Journal of Medicine, 2020, hlm 1).

Dari 171 anak positif Covid-19 tersebut, hanya 41,5 persen yang menderita demam. Mereka menunjukkan tanda dan gejala umum Covid-19 yakni batuk dan bercak merah di tenggorokan (pharyngeal erythema). Sementara itu, sebanyak 27 pasien atau 15,8 persen anak tidak menunjukkan gejala infeksi pneumonia (radang paru-paru atau paru-paru basah). Hanya 12 pasien yang hasil rontgen mereka menggambarkan pneumonia. Namun demikian, 12 pasien ini tidak menunjukkan gejala terinfeksi virus corona. 

Dari seluruh kasus, pada 8 Maret 2020, hanya satu anak yang meninggal. Anak tersebut adalah seorang bayi 10 bulan yang mengalami kegagalan multi-organ. Ia meninggal setelah dirawat selama empat pekan. Adapun 21 pasien anak yang lain, dalam kondisi stabil. Sedangkan 149 anak, telah sembuh dan dipulangkan (hlm 2).

Berdasarkan laporan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa dampak medis dari infeksi SARS-CoV-2 kepada anak-anak amat berbeda dengan orang dewasa. Sebagian besar anak yang terinfeksi ternyata melewati perjalanan klinis yang lebih ringan. Malahan, dalam banyak kasus infeksi SARS-Cov-2, justru tanpa gejala. 

Data tersebut selaras dengan lansiran Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Hanya 0,2 persen anak yang sakit hingga kritis dari seluruh kasus anak dengan Covid-19 di Tiongkok. Laporan tersebut menguatkan penelitian terdahulu. Pada masa SARS --generasi pertama Covid-19-- mewabah pada 2002 dan 2003, nyawa anak-anak yang terinfeksi tidak begitu terancam. Wabah ini menginfeksi hampir 10 ribu orang dan membunuh 774 jiwa. Tidak satu pun dari korban jiwa adalah anak-anak (Effect of Coronavirus Infection in Children, Jurnal Emerging Infectious Diseases, 2014, hlm 183).

Penjelasan Sementara

Ilmu pengetahuan belum bisa 100 persen mengungkap misteri anak-anak bisa melewati infeksi SARS-Cov-2 dengan gejala lebih ringan. Namun demikian, sejumlah dugaan dan teori telah mengemuka. Virus corona yang baru ini ternyata amatlah berbeda dari virus lain yang serupa. Sebagai contoh adalah influenza musiman yang berbahaya bagi anak-anak dan lansia. 

Vineet Menachery adalah ahli virologi dari University of Texas Medical Branch, Amerika Serikat. Menurut Menachery, infeksi pernapasan biasanya membentuk kurva U. Bagian tertinggi dari kedua sisi "U" tersebut adalah anak-anak dan lansia. Kedua kelompok usia ini paling berisiko ketika terinfeksi. 

Hal itu dapat dijelaskan karena sistem kekebalan tubuh anak-anak belum berkembang. Sementara sistem imun lansia, mulai menurun. Namun demikian, dalam infeksi SARS-Cov-2, faktor kekuatan sistem imun ini tidak berpengaruh. Salah satu ujung tertinggi U itu, yakni anak-anak yang sistem imunnya belum sempurna, justru lenyap (Coronavirus is Mysteriously Sparing Kids and Killing The Elderly, artikel The Washington Post, 2020). 

Fakta itu disebut amat penting. Informasi ini dapat memacu terobosan untuk memahami kemampuan virus membunuh kelompok usia yang lain. 

Frank Esper, seorang spesialis penyakit menular anak di Cleveland Clinic Children's, AS, mengeksplorasi beberapa teori. Ia menduga, perubahan sistem kekebalan tubuh manusia seiring bertambahnya usia memengaruhi dampak infeksi Covid-19. Hipotesis lain yang Esper ajukan adalah kondisi paru-paru pada kelompok usia yang lebih tua. Polusi udara selama bertahun-tahun membuat keadaan paru-paru mereka lebih buruk dibandingkan anak-anak. 

Percobaan kepada Tikus

Ilmuwan sebenarnya telah mempelajari pola serangan virus corona kepada kaum muda sejak lama. Pada 2012, Vineet Menachery dari University of Texas Medical Branch, di Texas, AS, menguji dampak medis SARS kepada tikus. Menachery menggunakan dua kelompok sampel yaitu bayi tikus dan tikus tua.

Hasil penelitian menunjukkan, bayi tikus yang terinfeksi SARS mampu menyingkirkan virus. Sementara tikus berusia tua menderita dampak parah hingga mati. Paru-paru tikus tua itu rusak karena virus SARS.

Baca juga:
 

Percobaan ini menunjukkan bahwa kekebalan tubuh tikus tua sudah menurun. Namun demikian, bukankah bayi tikus juga belum memiliki sistem imun yang baik? 

Menachary berusaha menjawabnya. Menurutnya, tikus bayi diselamatkan oleh sistem imun yang baru berkembang. Sistem imun seperti ini tidak terlalu bereaksi terhadap serangan virus. 

Kondisi sebaliknya dialami kelompok tikus tua. Sistem kekebalan tubuh mereka sudah sempurna. Imunitas tikus tua dalam kondisi paripurna ini justru bereaksi berlebihan ketika virus corona menyerang. Akibatnya fatal yaitu paru-paru kebanjiran sistem kekebalan tubuh sendiri.

Kondisi yang dialami tikus tua ini sangat mirip dengan pasien Covid-19 yang meninggal dunia karena pneumonia. Dalam banyak kasus, paru-paru yang terinfeksi SARS-Cov-2 justru dibanjiri cairan kekebalan tubuh. Paru-paru yang kebanjiran ini menyebabkan kesulitan bernapas dan memicu pneumonia (Coronavirus is Mysteriously Sparing Kids and Killing The Elderly, artikel The Washington Post, 2020).

Kebanyakan anak memang tidak menunjukkan gejala serius ketika terinfeksi SARS-Cov-2. Namun demikian, tidak berarti aman-aman saja. Meskipun tidak bergejala, mereka tetap bisa menyebarkan virus kepada orang lain, termasuk kelompok rentan seperti lansia. Jika tidak mengikuti anjuran social distancing, anak-anak dapat menjadi "angkutan gelap" bagi virus corona untuk berpindah ke tubuh orang lain. (*) 

Senarai Kepustakaan
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar