Kesehatan

Pembawa Senyap, Kelompok yang 'Membunuh' Orang Lain karena Tak Sadar Terinfeksi Covid-19

person access_time 4 years ago
Pembawa Senyap, Kelompok yang 'Membunuh' Orang Lain karena Tak Sadar Terinfeksi Covid-19

Ilustrasi pembawa senyap (foto: sciencerach.com)

Kelompok yang berperan besar menjadikan Covid-19 sebagai pandemi adalah pembawa senyap. Mereka tidak menderita gejala apapun sehingga tanpa sadar menularkan virus kepada orang lain.

Ditulis Oleh: Mustika Indah Khairina
Jum'at, 27 Maret 2020

kaltimkece.id Seorang pria di Wuhan melewati hari-hari seperti biasanya. Sudah lewat beberapa hari, kota tempat ia tinggal dinyatakan bebas dari penyebaran Covid-19. Tidak ada pasien baru lagi di ibu kota Provinsi Hubei, Tiongkok, tersebut. 

Namun tiba-tiba saja, pria tersebut mengalami pembesaran getah bening di leher. Ia sama sekali tak berpikir terjangkit pandemi Covid-19. Keluhannya itu bukanlah gejala umum pandemi. Dia pun memeriksakan diri dengan perasaan tenang.

Hanya beberapa hari kemudian, Kompleks Lishui Kangcheng, tempat lelaki itu tinggal, digegerkan sebuah kabar. Komite perumahan mengumumkan satu kasus Covid-19 ditemukan di daerah tersebut. Lelaki tadi yang terinfeksi SARS-Cov-2.

Di Provinsi Hebei, masih di tanah Tiongkok, seorang lelaki lain juga tidak sadar telah terinfeksi. Ia menempuh perjalanan jauh sebelum dihentikan petugas di Xingtai. Petugas yang mendeteksinya segera membawa lelaki itu ke rumah sakit (Coronavirus: concern in Wuhan community over suspected asymptomatic case, artikel, 2020). 

Kasus asimptomatik atau tanpa gejala seperti dua contoh di atas banyak ditemukan di Tiongkok. Mereka adalah silent carriers atau pembawa senyap. Seseorang yang terinfeksi virus namun tidak merasakan gejala apa-apa. Tanpa disadari pula, mereka menyebarkan virus kepada orang-orang. Satu-satunya cara mengidentifikasi pembawa senyap ini adalah melalui tes, lain tidak. 

Bahaya Pembawa Senyap

Sejumlah penelitian mendapati bahwa kasus asimptomatik Covid-19 berhubungan dengan kekebalan tubuh seseorang. Pada kelompok usia muda dengan sistem imun yang baik, Covid-19 hanya menimbulkan gejala ringan, bahkan bisa tanpa gejala. 

Korea Selatan adalah contoh nyata betapa berbahayanya pembawa senyap. Sebanyak 20 persen kasus pasien Covid-19 di Negeri Ginseng tidak menunjukkan gejala sama sekali saat rawat inap. 

Kelompok 20 persen ini ternyata rekrutan muda dari komunitas agama Shincheonji. Imunitas mereka tergolong tinggi. Dalam rentang waktu sebelum dinyatakan positif Covid-19, mereka berperan sebagai pembawa senyap. Tiada kurang kelompok ini menjadi sumber penularan 56 persen dari 5.066 pasien Covid-19 di Korsel (The Updates on COVID-19 in Korea as of 24 March, 2020). 

Fakta yang tidak kalah mengejutkan adalah 86 persen dari semua infeksi di Tiongkok bersumber dari pembawa senyap. Angka ini sempat tak terdeteksi karena Tiongkok waktu itu belum mengambil kebijakan karantina wilayah secara ekstrem (Substantial Undocumented Infection Facilitates the Rapid Dissemination of Novel Coronavirus, 2020).

Bagi negara-negara yang telah melewati krisis Covid-19, kasus asimptomatik sebenarnya adalah kabar baik. Jumlah orang yang terinfeksi namun tidak terdeteksi dapat menurunkan tingkat kematian pandemi. Sederhananya, selama ini tingkat kematian Covid-19 di banyak negara adalah 3 dari 100 orang yang terdeteksi. Angka kematian 3 persen ini bisa lebih kecil jika yang terjadi sesungguhnya adalah orang yang terinfeksi lebih dari 100. 

Kelebihan itu adalah kasus-kasus asimptomatik yang tak dilaporkan dan tidak dites lebih lanjut. Jika demikian adanya, virus SARS-Cov-2 boleh jadi tidak lebih mematikan daripada influenza, seperti ujaran Donald Trump, presiden AS. Di Negeri Paman Sam, tingkat kematian influenza adalah 0,13 persen.

Keadaan sebaliknya mengancam negara-negara yang baru memulai perlawanan terhadap Covid-19. Pembawa senyap adalah kabar buruk. Tidak terdeteksinya kelompok ini membuat angka orang-orang yang terdeteksi lebih kecil dari keadaan sebenarnya. Tanpa memerhatikan kemungkinan pembawa senyap yang bebas berkeliaran, kebijakan pencegahan yang diambil pemerintah mungkin terlalu optimistis. 

“Intinya, rancangan kebijakan saat ini (dalam penanganan Covid-19) berdasarkan bukti dan informasi yang sangat tidak lengkap”, demikian Paolo Surico dan Andrea Galeotti, dua guru besar ekonomi dari London Business School (The Economics of a Pandemic: The Case of Covid-19, presentasi, 2020, hlm 41). 

Pencegahan yang Efektif

Contoh nyata dari berbahayanya pembawa senyap adalah Italia. Menurut laporan permulaan, orang-orang yang pertama kali terinfeksi adalah kaum muda di Italia utara. Penyebaran virus ini sempat tidak terdeteksi karena tidak ada gejala yang nampak. 

Di pinggiran kota, anak-anak muda yang bekerja di kota banyak yang tinggal bersama orangtua dan kakek-nenek. Kondisi ini menyebabkan desa-desa lebih terpukul oleh Covid-19. Italia lantas mengambil kebijakan lockdown, meskipun karantina wilayah itu tidak seekstrem Tiongkok. Kebijakan ini diharapkan membuat "orang-orang sehat" tidak menyebarkan virus di sekitarnya.  

Di Korsel, pemerintah sadar bahwa melacak orang-orang yang terkoneksi dengan pembawa senyap ini sudah tidak mungkin lagi. Korsel lantas menerapkan kebijakan ekstrem; tes massal Covid-19. Kebijakan ini terbukti efektif memetakan pola penyebaran dari kelompok tersebut.

Baca juga ulasan mendalam kami yang lain:

Meskipun relatif berhasil, metode Korsel tidak mudah ditiru negara-negara lain. Bahkan Amerika Serikat sekalipun, yang sampai hari ini belum mengambil opsi tes massal. Korsel memang memiliki kapabilitas menghadapi pandemi seperti ini. Kemampuan tersebut adalah warisan dari pengalaman menghadapi wabah SARS pada 2002-2003, influenza pada 2009, dan MERS pada 2015 (South Korea’s Coronavirus Response is The Opposite of China and Italy, artikel, 2020). 

Adapun Indonesia, diperkirakan menjadi negara yang rentan dari fenomena pembawa senyap. Fasilitas uji Covid-19 masih terpusat dan amat kurang walaupun pemerintah memastikan telah mengimpor besar-besaran alat uji cepat. Indonesia juga tidak menerapkan karantina wilayah kecuali anjuran menjaga jarak sosial dan fisik. Berhasil atau tidaknya metode tersebut, yang pasti, dapat dilihat beberapa pekan lagi. (*)

Editor: Fel GM 

Senarai Kepustakaan

 

Ikuti berita dan ulasan berkualitas kaltimkece.id dengan menyukai halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar