Kesehatan

Tuberkulosis, Penyakit yang Lebih Mematikan dari Corona dan Sudah Lama Menyebar di Kaltim

person access_time 4 years ago
Tuberkulosis, Penyakit yang Lebih Mematikan dari Corona dan Sudah Lama Menyebar di Kaltim

Ilustrasi penderita tuberkulosis (nauval/kaltimkece.id)

Batuk tak hanya gejala awal virus corona. Ada batuk yang lebih menakutkan dan sudah menyebar di Kaltim; tuberkulosis. 

Ditulis Oleh: Mustika Indah Khairina
Senin, 03 Februari 2020

kaltimkece.id Dunia sedang dilanda kepanikan karena virus corona. Wabah yang pertama kali dideteksi di Wuhan, Tiongkok, ini, telah ditetapkan Komite Kesehatan Dunia atau WHO sebagai darurat global. WHO menilai bahwa penyebaran virus corona adalah kejadian luar biasa yang serius, tidak terduga, dan membawa dampak kesehatan masyarakat di luar negara-negara yang telah terpapar.

Meskipun demikian, coronavirus yang gejala awalnya adalah demam, sesak napas, dan batuk, sebenarnya tidak lebih berbahaya dari batuk bekerpanjangan yang menjadi gejala awal tuberkulosis. 

Memang, dibanding corona dan SARS, tuberkulosis atau TB sedikit berbeda. TB disebabkan bakteri, sementara corona, SARS, dan MERS, bermula karena virus. Baik bakteri maupun virus sama-sama bisa menyebabkan penyakit. Yang berbeda adalah bakteri dapat hidup dan berkembang biak di alam bebas. Virus tidak. Ia harus menempel di sel hidup. Ukuran keduanya juga berbeda. Virus jauh lebih kecil dari bakteri. Perbedaan tersebut menyebabkan pengobatan penyakit yang disebabkan bakteri dan virus tidak serupa. Bakteri dilawan oleh antibioitik, sementara virus dijinakkan dengan obat penawar. 

Ada beberapa indikator yang menguatkan fakta bahwa TB lebih mengerikan dari corona. Indikator tersebut adalah jumlah penderita, tingkat kematian, dan luas penyebaran wabah. Corona hanya lebih kejam jika dilihat dari waktu penderita mampu bertahan hidup. 

Jumlah dan Tingkat Kematian

Indikator pertama yang menunjukkan bahwa TB lebih mengerikan dari corona adalah jumlah penderita dan tingkat kematian. Menurut WHO pada 2 Februari 2020, sudah 14.557 orang terpapar corona. Sebanyak 305 orang di antaranya meninggal. Angka kematian dari virus bernama 2019 N-CoV adalah 2,1 persen. Dengan kata lain, dari 100 orang yang terinfeksi, dua orang berpotensi meninggal.

Penyebaran corona mirip dengan SARS yang mewabah pada 2003 dan 2004. Dalam laporannya, WHO menyatakan, angka kematian adalah 9,6 persen. Dengan kalimat lain, dari 100 orang yang terpapar SARS, hampir 10 orang berpotensi meninggal. Wabah SARS hilang dengan sendirinya ketika musim panas tiba di negara-negara bermusim empat.

Adapun bakteri TB, jauh lebih banyak menginvasi tubuh manusia dibanding virus corona. WHO mencatat, setidaknya 10 juta penduduk dunia telah terinfeksi TB aktif (atau 714 kali lebih banyak dari orang yang terpapar corona). Dari 10 juta penderita TB, 1,45 juta orang di antaranya meninggal hanya dalam kurun setahun yakni pada 2018 (Global Tuberculosis Report, 2019, hlm 1). 

Angka kematian TB diperkirakan mencapai 14,5 persen (dari 100 orang terpapar bakteri TB, 14 di antaranya berpotensi meninggal). Bandingkan dengan corona dan SARS yang hanya 2 dan 9 persen. 

Kabar buruk bagi Indonesia adalah negara ini menempati urutan ketiga dengan penderita TB terbanyak di dunia. Pada 2018, menurut catatan Kementerian Kesehatan, terdapat 845 ribu penderita TB. Pada tahun yang sama, sebanyak 98.300 penderita TB meninggal. Angka kematian TB di Indonesia, meskipun lebih rendah dari angka global, adalah 12 persen. Tapi angka ini pun masih lebih tinggi dari corona dan SARS. 

Sebaran yang Cepat

TB tidak lebih sukar menyebar dari SARS maupun corona. Bakteri penyebab TB dapat berpindah antar-tubuh manusia melalui medium udara seperti dari batuk dan asap rokok. Meludah sembarangan serta penggunaan alat makan bersama penderita, atau perantaraan ludah, menjadi media penyebaran bakteri berikutnya. 

Bakteri TB semakin berbahaya jika pengobatannya tidak paripurna. Kelalaian pengobatan juga kerap dikaitkan dengan penularan yang lebih cepat di samping bisa berujung kematian (Journeys to tuberculosis treatment: a qualitative study of patients, families and communities in Jogjakarta, Indonesia, 2009). 

Pengobatan TB yang terhenti di tengah jalan justru membuat bakteri akan kebal terhadap antibiotik. Bakteri sedemikian disebut TB multi-drug resistance atau TB-MDR. Pasien yang terinfeksi bakteri TB-MDR akan sangat menderita ketika diobati. Ketika penderita TB biasa hanya meminum sejumlah pil selama enam sampai sembilan bulan, TB-MDR tidak. Mereka harus melewati sekitar dua tahun dengan antibiotik yang disuntikkan.

Ditilik dari kemampuan bertahan hidup, penderita TB bisa meninggal dalam kurun satu sampai dua bulan setelah dididagnosis, jika tidak ditangani dengan tepat. Di India Selatan, 6 persen pasien TB meninggal saat pengobatan. Sebanyak 28 persen pasien meninggal pada delapan minggu pertama. Kematian yang cenderung cepat ini disebabkan kualitas obat anti-TB yang rendah. Dapat pula karena kepatuhan pasien mengonsumsi obat serta resistensi bakteri terhadap obat. Keberadaan penyakit lain juga meningkatkan risiko kematian.

Sementara itu, corona lebih kejam. Dalam banyak kasus, orang yang terinfeksi corona meninggal hanya 11 hari setelah didiagnosis. Sebagian besar adalah orang tua dan mereka dengan sistem imun yang rendah. 

Asal-Muasal Bakteri TB

Sejumlah ilmuwan memperkirakan, bakteri Mycobacterium Tuberculosis sebagai penyebab TB sudah muncul tiga juta tahun lalu di timur benua Afrika (Ancient origin and gene mosaicism ofthe progenitor of Mycobacterium tuberculosis, 2005, hlm 1). Keberadaan bakteri TB juga berhasil didokumentasikan di Mesir lebih dari 5.000 tahun lalu. Tanda-tanda TB ditemukan di beberapa mumi di Mesir. Jejak bakteri turut didapati di Benua Amerika. Sejumlah mumi di Peru terindikasi terjangkit TB (The History of Tuberculosis, 2006, hlm 1.863). 

Di Eropa, bukti arkeologi menunjukkan keberadaan bakteri TB pada abad kelima. TB pernah mewabah bak tsunami di Benua Biru pada abad 18 dan 19. Saat itu, tingkat kematian mencapai 800 hingga 1.000 per 100.000 orang. Tingkat kematian yang sama dirasakan di Amerika Utara pada saat yang sama.

Meskipun telah lama diketahui, penyebab TB baru ditemukan oleh ilmuwan mikrobiologi Robert Koch pada 1882 (Global Tuberculosis Report, 2019, hlm 6). Penyakit ini menyebar ketika penderita TB mengembuskan bakteri ke udara, misalnya batuk. Bakteri akan merusak paru-paru namun bisa juga menyerang organ tubuh yang lain. Siapapun bisa mengidap TB, meskipun umumnya, 90 persen pasien adalah orang dewasa. 

Pada 2012, WHO mengonfirmasi bahwa sekitar 1,7 miliar orang atau nyaris sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi bakteri M tuberculosis. Namun demikian, dalam sebagian besar kasus, bakteri tertidur karena dikalahkan sistem kekebalan tubuh. Keadaan ini disebut TB pasif. 

Berbeda dengan TB aktif yang bakterinya telah 'terjaga dari tidur' di tubuh 10 juta penduduk dunia. Bakteri TB yang aktif berarti mampu mengalahkan sistem kekebalan tubuh seseorang. Makanya, mereka yang sistem imunnya rendah seperti hidup dengan HIV, kekurangan gizi, dan yang terkena diabetes akan lebih rentan terhadap TB. Termasuk para perokok dan pencandu alkohol (hlm 6).

Kondisi TB di Kaltim

Di Kaltim, penyebaran TB tidak bisa dibilang sedikit. Menukil laporan Dinas Kesehatan Kaltim, kasus TB sepanjang 2015 hingga 2017 mencapai lebih dari 2.300 setiap tahun. Yang mengkhawatirkan adalah keberhasilan pengobatan TB yang sempat turun. Kaltim pernah mencatat keberhasilan pengobatan TB tertinggi pada 2013 yakni 96,12 persen (dari 100 orang penderita, 96 di antaranya sembuh).

Angka ini menurun drastis pada 2017. Keberhasilan pengobatan hanya di angka 74,64 persen. Samarinda dan Berau adalah dua daerah dengan keberhasilan pengobatan paling rendah. Samarinda hanya 41,67 persen, sementara Berau paling parah yakni 23,38 persen saat itu. Patut diingat, rendahnya ketidakberhasilan pengobatan TB akan meningkatkan risiko penyebaran TB-MDR yang kebal antibiotik dan lebih sukar diobati. 

Menurut jurnal Ekologi Kesehatan, ada tiga penyebab utama meningkatnya TB di negara berkembang seperti Indonesia. Pertama adalah angka kemiskinan. Kedua, kegagalan pemerintah menangani TB. Terakhir adalah perubahan demografi serta struktur umur kependudukan (Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya Penanggulangannya, 2010, hlm 1).

Baca juga:
 

Jurnal tersebut juga menyatakan, kegagalan pengobatan biasanya diikuti dengan tidak memadainya komitmen politik, pendanaan, organisasi pelayanan TB, tatalaksana kasus, dan infrastruktur kesehatan. Tanpa seluruh komitmen itu, sekitar 200 ribu jiwa masyarakat miskin Kaltim terancam ganasnya bakteri TB.

Tuberkulosis memang rentan menyebar di lingkungan masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah. Makanya, kesetaraan akses kesehatan bagi kaum papa amat penting dalam mengurangi risiko dan penyebaran TB (Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat, 2009, hlm 2).

Kaltim jelas wajib mewaspadai potensi kedatangan virus corona dari negara luar. Namun demikian, tuberkulosis yang sudah jelas-jelas di depan mata mestinya mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibanding corona. Sudah sewajarnya demikian. Baik Corona maupun TB, sama-sama mendorong penderitanya ke dalam jurang kematian. (*)

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar