Risalah

Belajar Transportasi Massal di Uni Emirat Arab

person access_time 1 year ago
Belajar Transportasi Massal di Uni Emirat Arab

Angkutan massal berupa bus di Kota Al Ain, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. FOTO: GULF NEWS

Jurnalis kaltimkece.id pernah menetap di Kota Al Ain, UEA, selama delapan tahun. Berikut catatannya tentang transportasi massal di sana.

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Selasa, 28 Maret 2023

kaltimkece.id Saya menempuh pendidikan sekolah menengah di Kota Al Ain sepanjang 2012 hingga 2020. Al Ain yang berarti ‘mata air’, adalah sebuah kota di Provinsi Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kota seluas 15 ribu kilometer persegi itu dulunya adalah sumber oase. Jumlah penduduknya 374 ribu jiwa atau setengah dari populasi Samarinda. Sebagaimana banyak permukiman di Timur Tengah, Al Ain memiliki transportasi massal. 

Moda transportasi massal di Al Ain adalah bus rapid transit atau BRT. Saya dan teman-teman sekolah biasa menumpang bus pada akhir pekan. Rutenya dari asrama sekolah di Sanaiya Street menuju Al Ain Mall. Kami berjalan kaki sekitar lima menit dari asrama sekolah Al Ma’had Al Islami menuju halte. Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, bus dengan nomor trayek 970 tiba. Kendaraan itu berhenti sekitar dua menit untuk menunggu turun dan naik penumpang.

Kapasitas bus yang dilengkapi mesin pendingin ini sekitar 45 orang per unit. Berbeda dengan moda transportasi sejenis seperti Trans Jakarta, tempat duduknya menghadap ke depan semua. Kursi-kursinya empuk. Tidak tersedia ruang untuk penumpang yang berdiri. Mungkin karena perbandingan jumlah bus dengan penumpang yang diangkut masih memadai. Waktu tunggu BRT di Kota Al Ain adalah 30 menit. Artinya, setiap setengah jam, bus pasti tiba di halte.

 

Sebelum 2017, koin digunakan sebagai alat pembayaran bus ini. Setelah itu, pembayaran menggunakan kartu uang elektronik berwarna hijau bernama Hafilat. Tarifnya murah, 1 dirham (sekitar Rp 2.500) sekali jalan sebelum 2017. Setelah 2017 hingga sekarang, tarifnya menjadi 2 dirham sekali jalan karena inflasi. Jauh dekat ongkosnya tetap selama belum keluar dari bus. Apabila pergi ke pinggiran kota—wilayah Al Ain amat besar, sekitar 20 kali luas Samarinda—ongkosnya 5 dirham (Rp 12.500) sekali jalan. 

Tarif transportasi massal yang murah ini sangat berarti bagi penduduk. Selain ke pusat perbelanjaan pada akhir pekan, anak-anak sekolah seperti saya sering pergi ke Green Mubazzarah. Taman kota ini cukup jauh dari asrama sekolah. Jika naik taksi, bisa membayar 20 dirham (Rp 50.000) sekali jalan. 

Naik BRT jelas lebih murah. Saya bahkan hanya mengeluarkan Rp 10.000 untuk berkeliling kota. Sebagai perbandingan, Rp 10.000 di Samarinda hanya cukup membeli 1 liter pertalite. Bisa lebih mahal lagi kalau mengisi bahan bakar di pom mini. Lagi pula, 1 liter pertalite itu tak akan cukup untuk berkeliling Samarinda. 

Interior armada Emirates Transport. Moda transportasi publik yang menjadi andalan sebagian besar penduduk. (Foto diambil ketika pandemi). FOTO: ISTIMEWA
 

Kenyamanan, kemudahan, dan tarif yang murah, menyebabkan BRT menjadi primadona di Al Ain. Mayoritas penduduk kota ini adalah ekspatriat baik pekerja, buruh, profesional, maupun pelajar dan mahasiswa. Menurut catatan badan statistik setempat, ekspatriat di UEA yang terbanyak dari India dan Pakistan. Diikuti warga negara Bangladesh, Filipina, Iran, Mesir, Suriah, Cina, termasuk Indonesia. Mereka mengandalkan BRT untuk ke mana-mana. 

Sebenarnya lagi, hanya penduduk warga negara UEA yang menggunakan mobil pribadi. Jumlah penduduk asli tersebut tidak terlalu banyak. Tidak heran apabila selama sewindu di sana, saya rasanya tidak pernah melihat kemacetan lalu lintas. Yang ada, “kemacetan” pejalan kaki di trotoar oleh pedestrian. 

Faktor pendukung lain keberhasilan transportasi publik di Al Ain adalah kebijakan tarif parkir. Kendaraan pribadi di UEA harus membayar parkir yang besar jika ke perkotaan. Tarif ini bervariasi di setiap provinsi. Di Provinsi Abu Dhabi yang merupakan ibu kota negara, parkir di jalan umum dikenai biaya 2 dirham (Rp 5.000) per jam, 15 dirham (Rp 37.500) per hari, dan 1.174 dirham (Rp 2,93 juta) per tiga bulan. 

Di Dubai, pusat ekonomi UEA, tarifnya lebih tinggi lagi. Bea parkir kendaraan di tepi jalan 3 dirham (Rp 7.500) per jam, 20 dirham (Rp 50.000) per hari, dan 1.400 dirham (Rp 3,5 juta) per tiga bulan. Sebaiknya jangan membeli mobil di UEA apabila tidak punya garasi. Biaya parkirnya bisa-bisa lebih mahal dari harga mobil tersebut. Kebijakan seperti ini sebenarnya umum ditemui di kota-kota modern seperti Singapura dan Tokyo. Makanya, transportasi publik mereka laris manis karena jadi pilihan utama.

Penulis di depan bus sekolah di Kota Al Ain, UEA. Semua sekolah di UEA dilengkapi bus yang disediakan Emirates Transport. FOTO: ARSIP PRIBADI 
 

Selain transportasi umum, Al Ain dilengkapi bus sekolah. Semua sekolah memiliki bus yang disediakan Emirates Transport. Sekolah saya di Al Ma’had Al Islami juga begitu. Sekolah ini terletak di Mutawaa, bersebelahan dengan Oase Hospital. Kami dijemput di asrama dua kali sehari, pukul 07.00 dan 07.15. Biasanya, bus kedua sangat penuh karena kebanyakan pelajar lebih suka berlama-lama makan pagi. Menurut catatan Emirates Transport, ada 3.574 bus pelajar di seluruh UEA. Armada itu melayani 690 sekolah negeri dengan 200 ribu pelajar setiap tahunnya.

Sementara untuk transportasi umum, Statista mencatat ada 50 juta penggunaan transportasi umum di Provinsi Abu Dhabi pada 2018. Sebanyak 14 juta perjalanan di antaranya di Kota Al Ain. Dubai lebih tinggi lagi penggunaan transportasi publiknya. Ada 621 juta perjalanan. 

Sebagai tambahan lagi, populasi UEA adalah 10,17 juta jiwa. Hanya 3,4 juta penduduk atau kurang dari setengah populasi yang memiliki kendaraan pribadi di negara monarki itu. Hanya 30 persen penduduk UEA yang memiliki kendaraan pribadi. Sementara di Samarinda, jumlah penduduknya 800 ribu jiwa dengan jumlah kendaraan pribadi 1,04 juta unit. Jumlah kendaraan pribadi di Kota Tepian lebih banyak dari populasi.

Penulis (bawah) bersama teman-teman sekolah ketika menempuh pendidikan di Kota Al Ain, Abu Dhabi, UEA. FOTO: ARSIP PRIBADI
 

Transportasi massal di Al Ain merupakan contoh yang setara bagi Samarinda. Status administratif keduanya mirip yakni kota di bawah provinsi. Al Ain punya sembilan divisi sedangkan Samarinda ada 10 kecamatan. Akan tetapi, di antara kemiripan tersebut, ada satu perbedaan yang mencolok: pendapatan penduduknya. Besar gaji atau upah antara Al Ain dengan Samarinda bagaikan bumi dan langit. 

Upah minimum regional di Samarinda adalah Rp 3,2 juta per bulan. Adapun upah buruh maupun pekerja administrasi di UEA, adalah Rp 58 juta per bulan. Pekerja di UEA bisa membeli mobil baru setiap enam bulan sekali bila mereka berkehendak. Faktanya, justru penduduk kota dengan upah minimum hanya seperduapuluh dari UEA yang lebih banyak memiliki kendaraan pribadi. (*) 

Muhammad Al Fatih lulus dari Khaleed bin Waleed High School di UEA (setingkat SMA) pada 2020. Kini menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, dan tercatat sebagai jurnalis kaltimkece.id.

Simak juga laporan kaltimkece.id mengenai transportasi massal untuk Samarinda berikut ini:

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar