Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-1): Kehilangan Pekerjaan

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-1): Kehilangan Pekerjaan

Ilustrasi: nurmaya liwang/kaltimkece.id

Ratih, seorang gadis yang kisah hidupnya tak serupawan parasnya.

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Kamis, 03 Oktober 2019

RATIH memandang dengan bergumpal-gumpal kasih sayang. Di depannya, ada sosok ayah yang selama ini dengan gigih, tabah, dan sabar mencari rezeki untuk ibu dan dirinya. Masih di depannya pula, ada ibu yang mengandung, melahirkan, merawat, dan mengasuhnya hingga dewasa.

Ayahnya, seperti biasa, makan dengan lahap nasi putih, tempe, ikan asin Sungai Kendia yang digoreng kering. Ibunya, seperti biasa, melahap sayur bening jatah suaminya yang tak disentuh. Keduanya tak sadar bahwa buah hatinya belum juga meraih sendok untuk menghantarkan makanan ke mulutnya.

"Kau tak makan?"

Ratih menggeleng. Ia tahu, ayahnya selalu menampakkan wajah tak senang jika melihat gadis kesayangannya itu hanya menemani. Tak ikut makan.

"Makanlah, biar sedikit."

Ratih berdiri. Dia mendekati ibunya. Lalu mencium pipi yang mulai keriput itu. Perempuan itu membiarkan anak semata wayangnya itu mencium pipinya. Tapi, ia terkejut saat pipinya terasa basah. Ia melepaskan wajah Ratih dari pipinya.

"Ada apa? Kamu menangis lagi."

Ratih duduk kembali di kursinya. Ia mencoba menahan sekuat tenaga agar air mata itu tidak jatuh lagi.

"Ya, ada apa, Ratih?"

Ratih berdiri lagi. Ia peluk ayahnya dari belakang. Ia sesenggukan. Ia tak kuat membendung air mata itu. Ia tak kuasa.

Ayahnya berdiri. Mendekap Ratih. Ia telah berjanji kepada dirinya untuk mencintai Ratih sepenuh jiwa. Ratih adalah titisan Maryati, istrinya. Istri yang sangat dicintainya. Istri yang telah berjibaku melawan hidup, melawan lelah, melawan cibir, melawan hinaan. Istri yang sangat yakin bahwa Perwira, suaminya, adalah yang pertama dan terakhir. Suami yang akan menghantarkannya ke surga.

"Ada apa, Nak. Katakan kepada ayahmu. Jika untuk ibumu, ayah rela dipenjara, maka demi kamu, ayah rela mati."

Ratih tak menjawab. Ia malah menguatkan pelukannya.

***

Ratih adalah mahasiswa semester III program studi manajemen destinasi pariwisata. Ratih, 19 tahun 3 bulan usianya. Ratih, kuliah pagi, kerja sore dan malam. Ratih, sore tadi diberhentikan kerja karena memecahkan piring dan menumpahkan gelas air putih. Ia tak sengaja menumpahkannya kepada pengunjung warung majikannya.

"Itu kesalahan besar, Ratih."

"Saya salah, Pak. Maafkan saya."

"Saya terima maafmu tapi engkau boleh meninggalkan warung ini dan jangan kembali."

"Pak, jangan berhentikan saya. Beri hukuman yang lain asal saya masih bisa bekerja dengan Bapak."

"Kamu tahu, perbuatan itu menjadi cerita buruk bagi pelanggan. Ia akan bercerita ke mana-mana. Warung ini dibangun susah payah. Kamu telah merobohkannya. Kau tahu itu artinya apa bagi keluarga saya?"

"Saya salah, Pak, tapi jangan berhentikan saya. Bapaklah yang menolong hingga saya bisa kuliah. Kalau Bapak berhentikan, seperti apakah kuliah saya?"

"Kamu tahu, dia pelanggan setia. Hampir setiap hari, dia makan siang di sini. Besok dan besoknya lagi, ia akan melihat wajahmu. Ia akan ingat bajunya basah oleh kecerobohanmu."

"Dia memaafkan saya. Dia tidak marah. Dia tahu bahwa saya tak sengaja. Saya jatuh karena menghindari anak kecil yang tiba-tiba berlari dan melintas di depan saya. Anak itu bisa terhindar dari saya. Gelas dan piring yang saya bawa pun tak mengenai tubuhnya."

"Pemuda di sebelahmu itu yang menanggung akibatnya. Bukankah gelas itu terlempar dan mengenai tubuh pemuda itu? Kau lihat baju kerjanya basah? Bisakah ia kembali bekerja dengan baju bernoda?"

"Dia memaafkan saya. Dia malah membantu saya untuk berdiri. Saya memohon kebijaksanaan Bapak. Saya akan lebih berhati-hati."

Nanang Kaya, demikian nama sapaan Bapak itu. Sebenarnya, namanya adalah Nanang Yusran. Dulu ia miskin. Ia mencoba peruntungan membuka warung makan kecil-kecilan tak jauh dari pabrik plywood tempat dia bekerja tiga puluh tahun silam. Ia di-PHK; pemutusan hubungan kerja. Bukan dia saja tapi semua karyawan karena perusahaan bangkrut.

Susah payah Nanang menjalankan usahanya karena lingkungan tempat tinggalnya rata-rata adalah pekerja plywood yang terkena PHK. Nanang hanya menggantungkan pembelinya dari pengunjung pasar yang juga tak jauh dari rumah dan dekat pula dengan pabrik plywood yang tutup itu.

Kesabarannya, keuletannya, ketabahannya, telah mengubah warung tenda itu kini menempati bangunan permanen milik sendiri. Hasil berhemat. Nyaris seperempat abad ia menggeluti usaha ini. Selepas subuh, ia sudah berbelanja ke pasar. Bersama istrinya, ia menghabiskan hari-harinya di warung ini. Semua dikerjakan berdua.

Lima tahun terakhir, Nanang sudah punya tujuh karyawan. Masing-masing punya tugas. Seorang di antara karyawan itu adalah Ratih yang bekerja lebih dari setahun. Sebagai karyawan di bagian pelayanan, Ratih yang masih belia dan berparas cantik itu membawa berkah. Usaha Nanang semakin hari semakin banyak pelanggan. Nanang Yusran yang miskin itu sekarang sudah nyaman hidupnya. Orang-orang kampung pun memberi tambahan 'Kaya' kepada namanya.

Nanang tak berpuas diri atas pencapaiannya. Ia tetap bekerja sebagaimana karyawan lain. Ia masih ke pasar selepas subuh. Istrinya tidak lagi memasak dan mencuci piring. Ia duduk di meja kasir.

Purwati, demikian nama istri Nanang Kaya. Ia wanita paruh baya yang ramah dan santun. Ia sangat penyabar. Ia melengkapi kehidupan Nanang yang disiplin dan tak suka menunda-nunda pekerjaan. Purwati menjadi air pegunungan yang sejuk bila dilihatnya Nanang marah kepada karyawan karena suatu kesalahan.

Ia juga melihat suaminya yang marah kepada Ratih namun tak berani menyela. Purwati tahu kapan waktunya mendinginkan amarah Nanang dan kapan harus diam. Menyela pada waktu yang tidak tepat justru membuat Nanang menaikkan nada suaranya dan berpanjang-panjang omelannya. Bisa pula melebar ke mana-mana.

Ratih menunggu belas kasihan majikannya. Nanang tetap teguh kepada kata-katanya. Nanang mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang 500 ribu rupiah dan menyerahkannya kepada Ratih.

"Rezekimu tidak hanya di sini. Carilah pekerjaan di tempat lain. Jadikan pelajaran apa yang kamu dapatkan di sini," kata Nanang seraya menyerahkan uang itu.

"Beri saya kesempatan lagi, Pak. Saya berusaha untuk tidak melakukan kesalahan."

Nanang tak menyahut. Ia pergi meninggalkan Ratih. Ia memeriksa apakah semua jendela warung itu sudah dikunci. Ia lalu mematikan semua lampu kecuali menyisakan sebuah lampu dekat pintu keluar.

Purwati memeluk Ratih. Ia menyayangi karyawannya yang berparas cantik, pintar, dan ramah ini. Ratih memang bukan sekali ini saja berbuat salah. Ia kadang terlambat kerja. Kadang minta izin tidak masuk karena keperluan keluarga. Pernah pula tidak bersih mengelap meja sehingga seorang pelanggan pernah meminta Ratih agar membersihkan meja itu kembali.

Ratih mencium tangan istri majikannya. Ia meminta maaf atas kesalahannya. Wanita paruh baya itu tahu bahwa keputusan suaminya sangat menyakitkan Ratih. Ia tahu bahwa Ratih menjadi tulang punggung keluarganya. Ia tahu, ayah Ratih belum mendapatkan pekerjaan tetap sejak keluar penjara setahun silam. Purwati tahu latar belakang pekerjanya. Tapi ia bukan penentu. Ia hanyalah istri yang selalu sabar dan setia menemani suaminya, membesarkan usaha mereka.

***

Ini adalah makan malam ketiga bagi Ratih bersama ayah dan bundanya. Biasanya, ia makan di warung tempat dia bekerja. Karyawan pagi dijamin makan siang. Karyawan sore dijamin makan malam.

Malam ini adalah malam ketiga pula ia meneteskan air mata yang tak mampu ditahannya. Air mata itu seakan tak pernah habis bila di depan ayah dan bundanya, saat mereka makan bersama.

"Tidurlah. Ayah tahu perasaanmu. Ayah minta maaf kepadamu yang telah bersusah payah membantu ayah dan ibumu untuk keperluan hidup dan kuliahmu. Berdoalah untuk ayah agar ayah segera dapat pekerjaan yang lebih baik," bisik ayahnya.

Di beranda depan, saat istri dan anaknya lelap tertidur, Perwira memeluk sunyi malam dengan dada yang bergemuruh. (bersambung)

Berikutnya ketuk:
 
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar