Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-20): Akan Kuselidiki

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-20): Akan Kuselidiki

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Sebuah kejutan yang tak disangka. Mengundang lagi syak wasangka.
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini). 

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Senin, 21 Oktober 2019

PEREMPUAN tua itu tak segera melepaskan pelukan Ratih. Sementara Ratih tak kuasa menghentikan isaknya. Lebih dari setahun sudah, perempuan itu membuka lapak di pasar kampung ini tanpa sepengetahuan anak dan suaminya. Semua atas dasar cinta. Sebagai seorang ibu, ia tak mau melihat buah hatinya berhenti kuliah hanya karena ketidakmampuan biaya. Ia percaya, Allah memberinya rezeki melalui lapak ini.

Jika demi anak satu-satunya ia rela menjadi pembantu saat suaminya dipenjara, berjualan sayur di pasar sungguh tak memberatkan tugasnya. Tugas sebagai istri dan sebagai ibu. Ia percaya yang dilakukannya adalah ibadah karena mencari rezeki adalah perintah Allah.

"Cukup aku saja yang tamat SMP. Ratih harus lulus perguruan tinggi meski hanya diploma III," kata Maryati, wanita paruh baya yang menikmati pekerjaannya sebagai pedagang sayur di pasar kampung ini.

Sementara itu, Ratih tak kuat meredam sedihnya. Ia baru tahu bahwa tujuan kepergian ibunya setiap hari ke pasar bukanlah sekedar membeli keperluan dapur. Selama ini, itulah alasan ibunya. Ratih kadang bertanya-tanya dalam hati, mengapa ibunya selalu lama bila berbelanja ke pasar?

"Entah apa alasan ibu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Apakah ibu khawatir aku akan melarangnya?" Tanya batin Ratih.

Ratih jadi ingat, lebih setahun lalu ia tertidur di kursi beranda depan karena lupa membawa kunci. Waktu itu, ia baru pulang dari studi lapangan di Muara Badak. Ia tak menemukan ayah maupun ibunya. Yang diketahui Ratih ayahnya bekerja. Ibunya ke pasar. Selepas zuhur, barulah ibunya tiba.

Sama sekali di luar pikiran Ratih bahwa keterlambatan ibunya pulang ke rumah bukan karena berbelanja melainkan berjualan. Ratih juga tidak tahu bahwa ibunya sudah membuka lapak di pasar. Sekarang, barulah Ratih sadar mengapa ibunya selalu pergi pagi-pagi dari rumah. Kadang-kadang lebih dulu daripada Ratih yang pergi kuliah.

"Ini anak saya," kata Maryati kepada sahabatnya sesama pedagang sayur di pasar itu. Mereka mengerumuni Maryati karena melihat seorang gadis tiba-tiba memeluk Maryati.

"Oalah. Saya kira siapa dan ada apa, kok, tiba-tiba ada anak gadis memelukmu, Mar," ujar seorang sahabat Maryati.

"Cantik anakmu, Mar. Pulang kerja?"

"Dia masih kuliah."

Ratih duduk di samping ibunya. Belum sepatah pun kalimat keluar dari mulutnya. Ia membiarkan ibunya melayani pembeli dan tak mau mengusiknya. Matahari bergeser ke tengah. Sebentar lagi tepat di atas kepala. Matahari itu tak bisa menyentuh langsung tubuh ibunya karena terhalang payung parasut berwarna-warni. Persis pelangi. Sahabat-sahabat ibunya yang membuka lapak di trotoar itu juga berpemandangan sama. Trotoar itu mirip barisan payung yang berjajar rapi.

Sesekali Ratih membetulkan posisi duduknya. Ia juga tak sungkan membantu ibunya memasukkan belanjaan pembeli ke kantong kresek. Tak ada lagi sisa air mata di matanya meskipun kesedihan masih meliputi jiwanya. Ia tak menduga sama sekali betapa berat pengorbanan ibunya membantu memenuhi keperluan keluarga, terutama keperluan biaya kuliah Ratih.

Seandainya Ratih tahu, tentu ia tidak mengizinkan ibunya yang sudah berusia lebih setengah abad itu berjualan sayur di pasar. Apalagi sekarang, Ratih sudah punya penghasilan setiap bulan. Uang itu adalah imbalan dari Haji Acok karena Ratih mengembangkan usaha pariwisata di Muara Badak. Ratih sudah dianggap tenaga ahli di usaha Haji Acok tersebut.

Imbalan dari Haji Acok itu cukup untuk biaya kuliah Ratih, baik untuk biaya praktik, buku, dan transportasi. Uang kuliah di semester akhir ini pun sudah ia lunasi. Masih ada sisa yang ia tabung untuk keperluan berjaga-jaga, misalnya, untuk biaya pengobatan bila ada yang sakit.

Ratih ikut membantu ibunya menyimpan barang dagangan. Dua buah labu merah. Hanya itu yang tersisa. Labu itu dimasukkan ke karung goni dan dititipkan di kios milik seorang sahabat ibunya. Ratih akhirnya tahu mengapa ibunya tidak membawa apa-apa setiap kali ke pasar. Rupanya barang dagangan itu ia beli dari para pengepul yang cukup banyak di pasar. Para pengepul itu membeli dari para petani. Mereka sudah bekerja sejak pukul 3 dinihari. Para pengepul inilah yang menjual barangnya kepada para pengecer.

"Bu, mulai besok ibu tidak usah berjualan di pasar lagi. Saya sudah dapat pekerjaan," kata Ratih kepada ibunya sesaat mereka tiba di rumah. Ibunya tak segera menjawab. Ia menghidupkan kipas angin. Dibiarkan angin itu mendinginkan tubuh dan tenggorokannya yang gerah. Udara begitu panas selama ia berjualan di pasar sejak pagi tadi.

"Besok, saya akan ambil uang saya di tabungan. Akan saya serahkan pada ibu. Insya Allah, gaji saya cukup mengganti pendapatan ibu di pasar."

"Kamu malu karena tahu ibumu berjualan sayur di trotoar?"

"Bukan itu masalahnya. Ratih minta maaf. Ibu sudah tua. Biarlah di rumah saja."

"Kamu ingin melihat ibumu menunggu hari tuanya di rumah hingga suatu saat ibumu meninggal dunia?"

Ratih terkejut atas ucapan ibunya. Segera ia berlutut di depan ibunya. Ia pegang kedua tangan ibunya.

"Maafkan Ratih, Bu. Maksud Ratih, biarlah Ratih yang bekerja."

"Ibu senang berjualan di pasar. Banyak teman. Di rumah ibu bingung. Kamu tidak mau ibumu senang?"

Ratih tak ingin memperpanjang percakapan itu. Ia takut ibunya malah tersinggung. Ia tidak ingin ibunya kecewa. Akan tetapi, ia pun merasa berdosa jika ibu yang telah melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendidiknya itu harus terburu-buru bangun subuh hari. Lalu memasak dan menyiapkan sarapan untuk ayah dan dirinya setelah itu buru-buru ke pasar. Bukan untuk berbelanja melainkan berjualan. Di trotoar lagi. Meski menggunakan payung, tetap saja panas. Selalu diterpa debu. Apalagi ibunya sudah tidak muda lagi. Usianya sudah lebih setengah abad.

"Ayah tahu ibu berjualan di pasar?"

"Tidak."

"Mengapa ibu tidak memberi tahu ayah?"

"Kalau dia tahu, pasti dia akan melarangku. Seperti juga kamu."

"Kalau begitu, Ratih yang akan memberitahu ayah."

"Jangan. Jangan, Nak. Biar ibu saja yang akan memberitahu ayahmu. Nanti, ada saatnya."

Ratih tak mau berdebat dengan ibunya walaupun ia tidak sependapat sikap ibunya yang menyembunyikan pekerjaannya. Menurut Ratih, setiap istri harus meminta izin kepada suami apabila ke luar rumah. Apalagi untuk bekerja.

Bekerja mencari rezeki adalah menjadi kewajiban suami. Suami adalah kepala rumah tangga. Istri adalah ibu rumah tangga. Keduanya memiliki peran yang berbeda. Kalaulah dulu ibunya terpaksa menjadi pembantu, itu bisa dipahami karena ayahnya tengah menjalani hidup di penjara.

Sekarang? Ayahnya sudah bekerja. Setiap hari pergi bekerja dengan pakaian rapi. Sudah pula menerima gajinya yang pertama dan sebagai tanda syukur membelikan anak dan istrinya makanan yang paling disukai ibunya. Sate Pak Hery, sate terenak di Loa Bakung.

Akan tetapi, nanti dulu. Tiba-tiba Ratih terbayang sesuatu. "Ayah kerja apa, sih?" Ratih bertanya dalam hati. Pengalamannya hari ini membuat ia bertanya-tanya apa yang dikerjakan ayahnya. Setiap kali ditanya, ayahnya selalu menjawab bekerja di kantor perusahaan. Jika ditanya, kerja di bagian apa, selalu dijawab tidak tahu bagian apa. Dia hanya tahu pekerjaannya macam-macam.

"Jangan-jangan ayah jadi kuli di pelabuhan? Tapi bajunya selalu tampil rapi. Mustahil kuli seperti itu. Tapi kan bisa saja ia bersalin baju jika sudah di tempat pekerjaan. Atau ayah hanyalah pekerja bangunan. Peluluh semen. Pengangkut bata. Tukang plaster. Tukang cat. Pemasang instalasi air. Tukang bobok. Atau ayah pencatat barang keluar-masuk di gudang?"

Ketidakterusterangan ibunya, menurut Ratih, bisa juga dilakukan ayahnya demi menjaga perasaan Ratih. Ayah dan ibunya mungkin saja beranggapan bahwa Ratih seperti kebanyakan anak-anak sekarang. Anak-anak yang malu kepada kawan-kawannya karena orang tuanya adalah kuli dan ibunya adalah pembantu.

"Aku bukan seperti itu. Aku tahu betapa berat pengorbanan ayah dan ibu. Aku tidak akan pernah malu terhadap kondisi keluargaku. Aku tidak malu mengakui bahwa ayahku memang dipenjara, setiap kali ada kawanku bertanya, benarkah ayahku narapidana. Aku kuat." Bisik batin Ratih.

Saat ayahnya di penjara, setiap Sabtu dan Minggu siang, Ratih menemani ibunya menjenguk ayahnya. Ayahnya memang salah dan melanggar hukum karena mengambil uang perusahaan yang bukan haknya untuk membiayai ibunya yang sakit. Di mata Ratih, ayahnya tetaplah pahlawan. Ratih dan ibunya tidak tahu sampai seperti itu yang dilakukan ayahnya. Tapi sudahlah. Itu sudah terjadi dan tidak boleh terjadi lagi.

Ratih masih duduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya di kursi tempat ibunya duduk. Ia memijat-mijat kaki ibunya. Ia sangat mencintai ibunya. Ia tahu benar betapa berat beban yang disandang ibunya baik sebagai ibu juga sebagai istri. Karena itulah, ia tak ingin ibunya harus berjerih payah lagi di masa tuanya.

"Istirahatlah, Nak. Ibu mau memasak dulu."

"Ibu yang istirahat. Hari ini saya sudah berniat untuk memasak sayur kesenangan ayah dan ibu. Makanya tadi Ratih ke pasar," kata Ratih sambil memandang wajah ibunya. Dipeluknya sekali ibunya.

Sebenarnya Ratih ingin bertanya pada ibunya, apakah sesungguhnya yang dikerjakan ayahnya. Jangan-jangan pekerjaan ayahnya sama dengan apa yang dipikirkannya. Tapi pertanyaan itu urung ia ajukan setelah dilihatnya dari sudut mata ibunya yang terpejam itu ia lihat butiran air mata.

"Istirahatlah, Bu, di kamar," ajak Ratih. Ibunya tak menjawab. Ia hanya memberi isyarat melalui tangannya bahwa dia ingin tetap duduk di kursi yang tak jauh dari dapur itu. Kursi kayu itu sudah tua. Kata ibunya, kursi itu peninggalan neneknya.

Ratih menuju dapur. Sebagaimana niatnya, hari ini ia akan memasak sayur santan labu merah, membakar ikan terkulu, dan sambal cabai rawit yang diulek dengan mangga muda cincang. Itu makanan kesukaan keluarga. Kesukaan dirinya, ibunya, apalagi ayahnya. Meskipun ia sibuk dengan urusan dapur, tetap saja berbagai pertanyaan menyeruak dalam batin Ratih. Apakah yang sesungguhnya dikerjakan ayahnya.

Kenyataan hari ini sangat menyedihkan hatinya. Sama sekali tidak terpikir oleh Ratih bahwa ibunya bekerja di pasar, membuka lapak sayur, sejak pagi hingga siang, saat ia kuliah dan ayahnya pergi bekerja.

Ratih tak ingin kenyataan tadi pagi ternyata tak lebih jauh dengan keadaan ayahnya yang selalu menghindar setiap kali ditanya. Jawabnya selalu saja di kantor. Pekerjaannya macam-macam.

"Akan kuselidiki sendiri, apa yang dikerjakan ayahku. Akan kuminta ayah berhenti bekerja jika pekerjaannya terlalu berat dan tidak sesuai dengan usianya," kata Ratih dalam hati. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim. 
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar