Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-26): Asih Sukmawati dan Cum Laude

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-26): Asih Sukmawati dan Cum Laude

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Mata yang berbinar menjadi sendu. Sapaan dan dekapan hangat tak pernah lagi dilakukannya pada Asih. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini). 

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Minggu, 27 Oktober 2019

BAYU, wisudawan yang lulus dengan predikat cum laude, adalah kakak tingkat Ratih di Program Studi Manajemen Pengembangan Destinasi Pariwisata. Ratih selalu termotivasi dan kagum setiap kali mengenal orang-orang sukses, cerdas, dan santun. Kekaguman Ratih biasanya diikuti keinginan untuk berkenalan untuk menimba pengetahuan dan pengalaman orang sukses tersebut.

Maka, saat ia tahu Bayu dinyatakan lulus dengan pujian, ia pun bertepuk tangan sekeras-kerasnya dan lebih panjang durasinya dibanding orang lain. Yang kemudian menyentaknya adalah seusai wisuda. Ia melihat wanita paruh baya yang duduk di kursi roda, dan di belakang kursi roda adalah Bayu, kakak tingkat yang dikenal sekaligus dikaguminya.

Sambil menunggu kendaraan sewa yang menjemput, Ratih berkenalan dengan ibunda Bayu dan menyampaikan ucapan selamat disertai ciuman dan pelukannya. Sungguh, Ratih tidak tahu latar belakang keluarga Bayu. Hari ini, Ratih belajar banyak dan tak henti-hentinya bersyukur, betapa hidupnya jauh lebih baik dari Bayu, sahabat yang juga kakak tingkatnya.

Bayu membiarkan ibunya bercerita kepada Ratih tentang masa lalunya. Ia tidak akan menyela, melarang, dan menutupi kisah ibunya. Ratih mendengar penuh perhatian ketika wanita paruh baya bernama Asih Sukmawati ini menceritakan kisah hidupnya. Ibunda Bayu yang masih tampak cantik di usianya ke-45 ini ternyata memiliki kisah getir dalam kehidupan.

Getir kehidupan sudah menderanya ketika anaknya lahir dari rahimnya yang kemudian diberi nama Bayu. Suami yang begitu dicintainya berubah perangai. Sejak kelahiran Bayu, suami yang periang itu menjadi kuyu. Mata yang berbinar menjadi sendu. Sapaan dan dekapan hangat tak pernah lagi dilakukannya pada Asih. Suaminya itu bagi Asih seperti orang lain. Dingin, hambar, dan tak bersahabat. Kalau ditanya, adakah yang kurang pada diri Asih, ia menggeleng. Asih sendiri pernah menanyakan mengapa suaminya berubah.

Apa jawab suaminya? "Apa yang berubah? Tidak ada yang berubah. Jangan macam-macam. Aku capek. Jangan ganggu aku," begitu kata suaminya.

Asih Sukmawati masih cantik. Asih tak berubah. Ia tetap bangun pagi menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia merawat rumah dan menatanya agar selalu enak dipandang mata. Asih selalu menyambut dengan senyum setiap suaminya pulang bekerja. Ia tahu suaminya lelah karena itu ia sudah siapkan minuman dan handuk setengah basah untuk mengelap tubuh suaminya. Asih sabar walaupun senyum dan sapanya disambut dingin. Dingin.

Jika Asih dengan tulus memelihara dan merawat anaknya, tidaklah demikian pada suaminya. Paling sekedar menengok Bayu sesaat. Itulah yang dilakukan suaminya. Tak pernah mengganti popok apalagi menepuk-nepuk pantat anaknya bila menangis di malam hari.

Bila Bayu menangis, dengan segera suaminya memanggil Asih dengan suara keras agar mengurus anaknya. Perkara mengasuh anak menjadi ihwal yang bisa menyulut suaminya marah. Suatu kali, suaminya marah melewati batas. Ia menampar mulut anaknya. Tak puas, ia pun memukul betisnya.

Bayu tersandar di dinding. Jerit dan teriakannya sampai di tetangga. Bang Biang Ponimparan, demikian nama suami Asih ini, tak cukup puas melihat Bayu yang berdiri kuyu di dinding dengan linangan air mata. Maka, Bang Biang pun meraih gagang sapu di dekat pintu kamar dan plak, plak, gagang sapu itu bersarang di betis anaknya yang masih belia.

Bayu menjerit. Usianya yang baru lima tahun tak mampu menahan betapa pedihnya pukulan itu. Melihat Bayu menjerit, Bang Biang bukan bertambah iba. Ia malah menghardik anaknya itu.

"Kalau kau berteriak, kutampar mulutmu!"

Bayu mencoba mengunci mulutnya. Matanya yang sembab dan basah terlihat kuyu dan tak berdaya. Jerit memang berhasil ditahannya tapi isaknya dan getar bibirnya tak kuasa dihentikannya.

"Diam!" Bentak Bang Biang seraya menyiapkan tangannya untuk memberi tamparan berikutnya.

Asih Sukmawati, istrinya, tak tahan melihat peristiwa itu. Ia tahu, ia bisa jadi korban kemarahan suaminya. Ia siap jadi korban. Ia tidak bisa membiarkan suaminya memukul Bayu. Ia tak sanggup melihat Bayu, buah hati yang ia kandung dan ia rawat, harus menerima hukuman kejam dari seorang ayah kandungnya sendiri.

Maka, ia pun memeluk Bayu dan melindunginya. Ia siap untuk menerima risiko apapun dari seorang lelaki yang ia banggakan ketika mereka masih pacaran.

"Urus anakmu itu!" Bentak Bang Biang kepada istrinya. Ia lalu pergi mengendarai sepeda motor. Entah ke mana.

Asih masih mendekap Bayu. Air matanya pun tak mau berhenti mengalir. Sebagai seorang ibu, ia sudah belajar merawat dan mendidik anak. Di matanya, Bang Biang bukan ayah yang baik. Bukan pula suami yang baik. Apalah artinya kesalahan Bayu yang tidak hati-hati mengangkat dan membawa piring usai makan tadi pagi.

Piring itu jatuh dan pecah. Suaminya marah dan bersungut-sungut bahwa piring itu bukan pemberian toko Atong di sebelah rumah mereka. Piring itu dibeli hasil jerih payahnya selaku pekerja. Itulah pangkal kemarahan suaminya. Itu pula yang menyebabkan betis anak itu dipukulnya dengan gagang sapu.

Peristiwa itu bukan yang terakhir. Suaminya seakan kecanduan. Hal sepele saja bisa membuat ia marah berkepanjangan. Bukan hanya mulutnya yang bicara tapi juga tangannya. Itulah penyebab jika hari-hari berikutnya Asih memilih hidup sendiri. Mencari rezeki sendiri. Mengurus anak sendiri. Menangis sendiri. Ia minta kekuatan kepada Allah untuk membesarkan si buah hati. Ia selalu bangun tengah malam yang sepi kadang hingga dini hari, mengadukan nasibnya dan memohon perlindungan kepada Allah yang ia cintai.

Dengan segenap kasih sayang dan cinta sepenuh hati, ia merawat, mengasuh, dan membimbing Bayu agar bisa tumbuh dan berkembang. Bayu titipan Allah. Bayu adalah amanah. Begitu keyakinan Asih.

Asih tahu cara mendidik anak. Ia mulai dengan memanggil nama anaknya dengan kata-kata yang baik. “Sayang, pintar.” Nama panggilan yang kurang baik akan menyebabkan anak malu dan merasa rendah diri.

Ia selalu mencari waktu untuk memeluk anaknya setiap hari. Anak yang dipeluk setiap hari akan mempunyai kekuatan IQ daripada anak yang jarang dipeluk. Ia selalu menatap Bayu dengan pandangan kasih sayang. Pandangan ini diharapkannya akan membuat Bayu percaya diri. Demikian pula, ia selalu memberikan peneguhan setiap kali Bayu berbuat kebaikan.

Asih tahu bahwa Bayu masih kanak-kanak, belum matang, dan tidak mungkin bisa melakukan perbuatan baik selamanya. Suatu saat, bisa saja Bayu salah, khilaf. Itulah sebabnya, Asih tak bisa membenarkan suaminya menghardik apalagi sampai memukul Bayu.

Menurut Asih, tidak seharusnya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, orang tua mengeluh. Keluhan akan membuat anak-anak merasakan diri mereka adalah beban. Sebagai ibu, ia sudah membiasakan diri untuk mendengar cerita anaknya. Cerita itu tak akan dapat ia dengar lagi pada masa akan datang. Ia sabar menunggu giliran untuk bercakap dengan Bayu. Kata Asih, inilah cara mengajar anak tentang giliran untuk berbicara.

Asih selalu berusaha menenangkan anaknya setiap kali anaknya memerlukannya. Apalagi di saat menghadapi kemarahan ayahnya. Asih selalu berusaha meluangkan waktu bersama Bayu di luar rumah. Ia selalu menuntun tangan anaknya apabila berjalan. Hal itu ia lakukan agar Bayu mengerti betapa pentingnya kehadiran ibu di sisinya.

Ia selalu berusaha menjadi pendengar yang baik akan mimpi-mimpi Bayu karena mimpi bagi Bayu adalah kenyataan; harapan dan keinginan. Tak pernah Asih membiarkan Bayu tidur tanpa ciumannya.

***

Asih menyeka air matanya. Pembawa acara memanggil namanya dan Bayu untuk menerima penghargaan sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cum laude. Ia tak menyangka kasih sayang yang ia tumpahkan kepada Bayu di tengah kegetiran hidup sebagai janda; orang tua tunggal, mampu mengasuh dan memberikan pendidikan terbaik untuk Bayu; anaknya.

Bayu tak segera melangkah menuju panggung kehormatan. Ia malah segera memeluk, bersujud, dan bersimpuh kepada ibundanya. Ia tahu, pengorbanan yang tiada tara itulah yang melahirkan dirinya sebagai sarjana dengan kehormatan; cum laude. Ratusan pasang mata, termasuk mata Ratih, menyaksikan ibu dan anak itu yang sedang diharu-biru karena terharu. Ratusan pasang mata itu tidak tahu bahwa Bayu jadi sarjana dibiayai oleh bundanya yang janda dan mencari nafkah sebagai pembantu.

Pemandangan itulah yang menarik perhatian Ratih. Itulah mengapa dia berusaha agar usai acara, ia ingin mengucapkan selamat kepada Bayu dan ibundanya. Ratih sudah mendengar langsung kisah Asih Sukmawati, ibunda Bayu. Sebelum keduanya masuk ke kendaraan jemputan, Ratih sekali lagi memeluk wanita paruh baya itu.

"Semoga selalu sehat ya, Bu," kata Ratih kepada ibunda Bayu saat mengantar keduanya naik ke kendaraan sewa yang sudah datang. Ratih meninggalkan sahabat-sahabatnya yang masih asyik berfoto-foto. Ia pulang dan ingin cepat-cepat tiba di rumah. Ratih ingin segera memeluk ibunya. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk:
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar