SASTRA
Fenomena Kerajaan Fiktif dan Pentingnya Menulis dan Membaca Literasi di Kaltim
Syafruddin Pernyata (tengah) dalam Bincang Literasi di Taman Salma Shofa, Samarinda (foto: FB Syafruddin Pernyata).
Pengetahuan berdasarkan literasi amat penting. Menjadi petunjuk di tengah ingar-bingar informasi yang kacau sekarang ini.
Ditulis Oleh: Fel GM
Minggu, 19 Januari 2020
kaltimkece.id Pernah pada 1964, keraton Kesultanan Kutai Kertanegara di Tenggarong dirusak dan hendak dibakar. Sebagian menyebut, pelakunya adalah orang-orang Partai Komunis Indonesia.
Profesor Burhan Magenda, dalam disertasinya untuk Cornell University, Amerika Serikat, mengungkap kebenarannya. Hasil penelitian Magenda membuktikan keterlibatan militer dalam peristiwa kelam itu. Perusakan keraton atas perintah Panglima Komando Daerah Militer IX Mulawarman, Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik. Waktu itu, tentara menangkap Sultan Aji Muhammad Parikesit, Bupati Aji Raden Padmo, beserta sejumlah kerabat.
Dalam literasi yang lain, Hario Kecik secara tidak langsung memiliki motif perusakan. Hario Kecik menulis sendiri dalam memoarnya. Ia mengaku antipati kepada Kesultanan Kutai. Sikap Hario ini berdasarkan sebuah cerita bahwa Kesultanan Kutai di Tenggarong merupakan kerajaan buatan pemerintah kolonial Belanda. Cerita yang diklaim sebagai sejarah itu telah menimbulkan tragedi dalam dinamika sejarah Kalimantan Timur.
Adalah karangan sejarah pula yang menjadi landasan orang-orang fenomenal pada dekade kedua abad 21 mendirikan kerajaan-kerajaan fiktif. Motif dari fiksi ini umumnya demi keuntungan materi dengan modus jual-beli gelar kebangsawanan. Mereka yang terkecoh, selain masyarakat awam, adalah lulusan perguruan tinggi atau pejabat tinggi negara.
Baru-baru ini, misalnya, muncul raja dan ratu Keraton Agung Sejagat. Raja-ratu ini mengaku pemilik organisasi dunia, PBB, dan markas pertahanan Amerika Serikat, Pentagon. Mereka diciduk polisi lokal Purworejo. Hanya berselang pekan, muncul lagi kelompok yang mengaku kerajaan Sunda Empire.
Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan betapa penting pemahaman akan literasi. Penulis sejarah lokal, Muhammad Sarip, memaparkan hal tersebut dalam acara Bincang Literasi bertema Mengapa Menulis Novel dan Mengapa Menulis Sejarah di Taman Salma Shofa, Samarinda, Sabtu, 18 Januari 2020.
Sastrawan Syafruddin Pernyata yang juga menjadi pembicara kunci Bincang Literasi, lebih dulu meyampaikan motivasi dan trik menulis cerpen dan novel berbasis kearifan lokal. Mantan kepala Dinas Pariwisata Kaltim ini berterus terang. Ia kerap menangis saat menulis sesuatu yang berkaitan anak dan keluarga.
Kedua narasumber berbeda generasi ini berkolaborasi membagi pengalaman menulis. Para hadirin pun antusias berinteraksi dalam sesi tanya jawab yang dipandu ketua Jaring Penulis Kaltim, Amien Wangsitalaja.
Acara selama empat jam ini berlangsung akrab. Para undangan bukan orang sembarangan dan sangat peduli terhadap literasi. Mereka yang hadir di antaranya Kepala Sub Bagian Publikasi, Biro Humas Sekretariat Provinsi Kaltim, Inni Indarpuri; Kepala Kantor Bahasa Kaltim Anang Santosa, Kepala Dinas Pariwisata Kaltim Sri Wahyuni, dan Sekretaris Kota Samarinda Sugeng Chairuddin.
Ada pula Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unmul, Dahri Dahlan; Ketua KPU Kukar Erliyando, mantan Sekprov Kaltim Rusmadi, mantan anggota DPRD Samarinda Sarwono, Ketua Dewan Kesenian Daerah Kaltim Syafril Teha Noer, Chai Siswandi sebagai pegiat literasi lokal, hingga ketua komunitas pegiat pariwisata Dian Rosita.
Total peserta diskusi literasi ini sekitar 150 orang. Hadirin juga datang dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Kaltim, Bina Seni Budaya Indonesia Samarinda, Jaring Penulis Kaltim, Gerakan Literasi Kutai, Jamming Musik Odah Etam, siswa SMA 10 Samarinda, mahasiswa Unmul, jurnalis, dan pegiat literasi yang lain.
Acara diselilingi seni musik tradisional sampe oleh Kikif Jack and Friend dan Kiki Pratama. Tingkilan dibawakan Asrani dan Asfiannur, sementara tari Leleng kontemporer oleh siswa binaan TBM Iqro pimpinan Rachmawati. (*)