Terkini

Antrean Panjang Berebut 237.848 Kiloliter Solar Kaltim, per Oktober 2019 Over Kuota 6 Persen

person access_time 4 years ago
Antrean Panjang Berebut 237.848 Kiloliter Solar Kaltim, per Oktober 2019 Over Kuota 6 Persen

Antren truk raksasa di salah satu SPBU Samarinda. (wahyu musyifa/kaltimkece.id)

Antrean panjang pengisi solar semakin sering ditemui di sekitar SPBU. Menurut Pertamina, kondisi tersebut bukan berarti Kaltim mengalami kelangkaan BBM.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Selasa, 03 Desember 2019

kaltimkece.id Istilah tua di jalan mungkin tak berlaku lagi bagi para sopir truk dewasa ini. Bukan lagi perjalanan yang banyak menyita waktu. Para penunggang kendaraan raksasa, malah sibuk mengantre mengisi solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau SPBU. Bahkan bisa sampai beberapa malam.

Waluyo, 65 tahun, telah 10 tahun terakhir menjalani profesi sebagai sopir truk ekspedisi. Biasa melakoni rute Samarinda-Banjarmasin. Kapasitas truk yang ia kemudikan adalah 250 liter solar.  Per liter biasanya cukup untuk 4 kilometer perjalanan.

"Kami tunggu solar itu, bisa seharian, semalaman. Kapasitas tangki 250 liter sekali jalan untuk rute Samarinda-Banjarmasin,” sebutnya kepada kaltimkece.id, Selasa, 3 Desember 2019.

“Kadang kami terhambat pengiriman cepat karena mengantre pengisian BBM,” sebut sosok yang akrab disapa Yoyok itu.

Jainuddin, 33 tahun, turut mengalami hal sama. Sudah 3 tahun ini ia menjalani profesi sebagai sopir truk ekspedisi. Rute antardaerah dari Samarinda, Tenggarong, Bontang, dan terjauh ke Bengalon, Kutai Timur. Truk yang ia kemudikan berkapasitas standar 100 liter. Untuk mengisi penuh, ia harus meluangkan banyak waktu mengantre.

"Mengantre 2-3 jam. Itu di luar SPBU. Biasanya pas masuk SPBU kami enggak dapat jatah lagi. Daripada keluar antrean, lebih baik bermalam saja di tengah antrean daripada kembali mengantre besok paginya," terang Jay, sapaannya.

Minta Keadilan

Wakil Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DPC Samarinda, Darlan Ibrahim, menyebut masalah Samarinda dan Kaltim secara keseluruhan adalah mendapatkan solar bersubsidi. Kesulitan tersebut sudah terjadi cukup lama. Belakangan semakin parah.

"Anggota kami mengantre 2-3 hari di SPBU hanya untuk mendapat jatah solar. Secara bisnis itu sudah sangat rugi. Kenapa? Karena kita harus antre dan hilang itu ritase. Harapan Kami dengan perubahan kondisi saat ini, ada kepastian saja dari pemerintah. Kalau ada subsidi itu, ada juga barangnya. Jangan ada tulisannya solar bersubsidi tapi barangnya tidak ada," sebut Darlan Ibrahim.

Para pengusaha mengeluhkan kondisi berbeda di Jawa. Tak ditemui antrean seperti ramai di Kaltim. “Berarti ini ada permasalahan. Apakah ada masalah distribusi atau apa itu,” sebutnya.

“Minimal ada keadilan. Kalau ada subsidi, tolong semua dapat. Jangan hanya di Jawa. Kalau bagi pemerintah subsidi berat, silahkan dinaikkan (harga) yang penting barang ada. Tapi tentu ada batasan. Jangan sampai pemerintah ambil untung terlalu banyak jika subsidi itu tidak ada.”

Darlan merincikan, Pelabuhan Peti Kemas Palaran berisi 450 unit trailer. Setiap hari ada pengiriman. Sementara jumlah truk ada 22 ribu. Per hari 13 ribu box container masuk. Asumsinya, 1 hari harus keluar 500 kontainer. Itu pun kalau dalam kota. Kadang ada yang harus keluar kota. Satu mobil per liternya bisa mencapai 2 kilometer, mesti ada juga yang 1,5 kilometer. Adapun saat ini harga solar di SPBU tercatat Rp 5.150.

“Untuk mobil besar 300-400 liter kapasitas per tangki. Kalau keluar kota harus tangki combo, biasanya kalau ke Muara Wahau atau ke Melak, itu harus ada tangki khusus karena jarak tempuh jauh. Tapi ada juga tangki yang hanya kapasitasnya 200-300 liter,” urainya.

Over Kuota

Manajer Komunikasi Relasi dan Tanggungjawab Perusahan Pertamina Regional Kalimantan, Heppy Wulansari angkat bicara mengenai keluhan sulitnya mendapat BBM subsidi di Kaltim.

Ia menilai fenomena kemacetan atau antrean pengisian BBM di SPBU tak serta-merta indikator kelangkaan. Sebab, harus pula dilihat pertambahan kendaraan dan pola penyaluran.

Disampaikannya, pemerintah pusat sudah mengatur kuota solar dan premium di Kaltim. Masing-masing 330.148 kiloliter untuk premium dan 237.848 kiloliter untuk solar. Sepanjang Januari hingga Oktober 2019,tercatat konsumsi solar subsidi di Kaltim mencapai 209.294 kiloliter. "Angka itu, sudah over kuota 6 persen dibanding tahun berjalan," kata Heppy dikonfirmasi Selasa, 3 Desember 2019.

Sementara premium terealisasi sebesar 281.028 kiloliter dan sudah melebihi kuota 2 persen dari tahun berjalan. Dijelaskannya, total kelebihan kuota baru terlihat pada tahun ini. Ia menjanjikan bakal berkoordinasi ke pemerintah pusat dan daerah terkait ketersediaan stok. Apalagi menghadapi lonjakan konsumsi Natal dan tahun baru.

Adapun, konsumsi solar subsidi di Kota Tepian rata-rata 152 kiloliter per hari. Dan premium sekitar 148 kiloliter per hari. "Sehingga saat ini, tak ada pengurangan volume BBM dan penyaluran sesuai volume normal," ucapnya.

Sebagai perusahaan plat merah yang ditugaskan menyalurkan BBM bersubsidi, Pertamina cukup berhati-hati. Sebab, bisa saja pasokan BBM subsidi merembes ke sektor lain yang tak diperbolehkan mengonsumsi.

Apalagi, sudah ada aturan nasional dan daerah soal kendaraan apa saja yang bisa menenggak BBM bersubsidi. Misalnya, revisi surat edaran Badan Pengelola Hulu Migas no 3865/E/K BPH 2019 tentang Pengendalian BBM tertentu Tahun 2019. Revisi tersebut memperbolehkan angkutan barang dan dump truck mengkonsumsi solar subsidi. Kecuali yang beroperasi di  sektor pertambangan dan perkebunan.

Di Samarinda, sejak 27 Desember 2018, Pemkot Samarinda menerbitkan surat edaran bernomor: 156.65/3632/012.01 tentang Larangan Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi di Bidang Kegiatan Batu Bara, Perkebunan dan Jenis Kendaraan Pribadi Tertentu.

Edaran tersebut melarang kendaraan perkebunan roda enam, truk tangki modifikasi, kendaraan dinas mengisi BBM berulang sehingga memicu pengepul dan penimbunan.  Jika ada oknum melanggar terancam sanksi. Mulai peringatan sampai pencabutan izin usaha pertambangan dan surat izin tempat usaha.

Dicantumkan pula sanksi pidana dalam edaran ini. Pelanggar bisa dikerangkeng 3 bulan dan denda Rp 50 juta. Oknum yang mengangkut BBM tanpa izin usaha bisa dipidana 4 tahun dan denda Rp 4 miliar. Penimbun pun terancam pidana 3 tahun dan denda Rp 30 miliar.

Untuk memastikan BBM subsidi tepat sasaran, Pertamina terus melakukan berbagai upaya antara lain: rutin sosialisasi peraturan terkait ketentuan penyaluran BBM bersubsidi kepada SPBU, melakukan monitoring dan kunjungan sidak ke SPBU, memberikan sanksi tegas kepada SPBU yang terbukti melakukan pelanggaran dalam penyaluran BBM Subsidi, mewajibkan SPBU memasang CCTV dan berkoordinasi dengan aparat.

Bahkan dalam waktu dekat, Pertamina akan segera melakukan digitalisasi SPBU dan menerapkan sistem survey solar untuk pendataan setiap kendaraan yang mengisi solar dengan aplikasi online di beberapa SPBU yang banyak pertambangan/industri di sekitarnya.

Pertamina terus mengimbau masyarakat dan semua pihak melaporkan ke aparat jika ada indikasi penyimpangan BBM subsidi. Termasuk jika ada indikasi keterlibatan oknum pengelola SPBU dan pihak lain yang tak berhak. 

"Masyarakat bisa menginformasikan ke Pertamina jika ada pelayanan yang kurang baik maupun jika ada kecurangan yang terjadi di SPBU melalui call center di nomor 135," tandasnya. (*)

 

Dilengkapi oleh: Giarti Ibnu Lestari

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar