Terkini

Burung Seharga Ratusan Juta Disita, Ancaman Pidana di Balik Merdunya Kicauan

person access_time 4 years ago
Burung Seharga Ratusan Juta Disita, Ancaman Pidana di Balik Merdunya Kicauan

Puluhan burung kategori dilindungi diamankan petugas. (nalendro priambodo/kaltimkece.id)

Petugas menyita 97 burung seharga ratusan juta. Ancaman pidana menanti oknum yang meniagakannya.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Senin, 18 November 2019

kaltimkece.id Kicauan burung dalam sangkar besi dan bambu makin tak karuan ketika belasan penegak hukum gabungan datang. Sang pemilik kios burung berinisial EP, 38 tahun, kaget luar biasa. Wajahnya pucat begitu petugas menjelaskan bahwa satwa yang ia jual masuk kategori yang dilindungi. EP hanya pasrah manakala petugas menyita 53 burung miliknya.

EP tak sendirian. Selang beberapa jam pada akhir Oktober 2019, petugas menyita 44 burung berstatus dilindungi yang dikuasai P, 41 tahun. EP dan P berjualan di lokasi yang berdekatan di Jalan Soekarno-Hatta, Kilometer 5, Balikpapan Utara. Tak ada perlawanan ketika petugas membawa 97 burung dilindungi dari kedua lapak.

Setelah diidentifikasi, ke-97 burung itu terbagi dalam beberapa jenis. Di antaranya cecak hijau, tiong mas, poksai sumatra, nuri maluku, dan kaktua jambul kuning. Hanya cecak hijau dan tiong mas yang diketahui hidup di hutan Kalimantan.

Petugas tak  menahan EP dan P karena dianggap kooperatif. Meski demikian, keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, 6 November 2019. Mereka diduga menyimpan, memelihara, memiliki, dan memperniagakan satwa yang dilindungi. Keduanya diancam pasal 21 huruf a, juncto pasal 40 ayat 2, Undang-Undang 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Ancaman hukumannya paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Penangkapan ini merupakan kali pertama dari kolaborasi Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Polda Kaltim. “Waktu ditangkap, penjual sampai menangis. Dia mengaku, baru sekali ini jual. Kapok dan tidak mau berjualan (burung yang dilindungi) lagi,” ucap Kepala Seksi Wilayah II Kalimantan, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Annur Rahim, kepada kaltimkece.id, Minggu, 14 November 2019.

Petugas masih mendalami asal-usul burung-burung dilindungi itu bisa sampai ke Kota Minyak, Balikpapan. Habitat burung yang diperdagangkan ini dari Sumatra, Sulawesi, Maluku, termasuk Kaltim. Penyidik belum dapat menyimpulkan taksiran tangkapan. Namun, dari berbagai laman jual beli burung, untuk kakatua jambul kuning, bisa dibanderol Rp 2,5 juta per ekor.

“Kami masih kembangkan. Jaringan penjualan satwa ini sistemnya putus jaringan. Bisa lewat pengiriman mana saja,” sebut Rahim.

Aparat berharap, penegakan hukum ini menjadi efek jera. Termasuk pembeli karena menyimpan, memelihara, memiliki, dan memperniagakan satwa yang dilindungi jelas dilarang undang-undang.

Saat ini, ke-97 burung itu dibawa ke Samarinda. Sedang dikomunikasikan bersama BKSDA Kaltim untuk dilepas ke habitat aslinya.

Masih ramainya peredaran satwa dilindungi, terutama burung, ditengarai karena masih terbukanya pangsa pasar. Mulai dari penghobi burung berkicau sampai kolektor domestik maupun internasional.

Gafuri Ahmad adalah pemerhati lingkungan yang juga fotografer profesional alam liar. Menurut alumnus Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda, ini, jaringan ilegal internasional kebanyakan dari Tiongkok. Mereka tak segan memodali pemburu lokal. Biasanya, burung yang dicari adalah rangok badak asal Kalimantan.

“Kadang mereka memberi senjata angin. Pemburu lokal diberi pinjaman, akhirnya mereka mau berburu,” ulasnya.

Perburuan liar ini mengancam ekosistem hutan. Burung adalah salah satu indikator kesehatan lingkungan. Burung karnivora bertugas menggendalikan populasi serangga di alam. Sementara, burung pemakan biji bertugas menyebar biji-bijian di hutan. Benih itulah yang disebarkan burung ke penjuru belantara. Misalnya, biji kapuk, rambutan hutan, meritam, sampai langsat hutan. Berkurangnya populasi burung berdampak kurangnya pasokan makanan bagi satwa lainnya.

“Fungsi itu diistilahkan petani hutan.Jika penyebaran benih terganggu, keseimbangan ekosistem terganggu juga,” ucap Gafuri.

Ia menyarankan tiga hal agar peredaran satwa khususnya burung dilindungi terpangkas. Pertama, penegakan hukum lintas lembaga. Kedua, pengawasan ketat peredaran satwa dilindungi. Ini harus dilakukan dengan pendataan populasi dan jenis satwa. Sayangnya, data ini, masih sulit didapat. Ketiga, mengedukasi konsumen agar tak membeli satwa langka. (*)

 

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar