Terkini

Derita Panti Asuhan di Balikpapan: Hidup Bersesakan, Air Masuk ketika Hujan (Bagian 1)

person access_time 3 years ago
Derita Panti Asuhan di Balikpapan: Hidup Bersesakan, Air Masuk ketika Hujan (Bagian 1)

Suasana di Panti Asuhan Al-Firdaus Balikpapan. (surya aditya/kaltimkece.id)

Di usianya yang remaja, perempuan ini sudah mendedikasikan hidup untuk merawat panti asuhan dengan segala macam masalah di dalamnya.

Ditulis Oleh: Surya Aditya
Senin, 03 Mei 2021

kaltimkece.id Ummi bahagia bukan main ketika empat tahun lalu ditawari mendirikan panti asuhan di bawah Yayasan Anak Al-Kabir Indonesia. Tawaran itu datang langsung dari pendiri yayasan tersebut, Roni Sualang. Ummi yang saat itu masih 22 tahun menyambut tawaran tersebut dengan segera mengurus segala perizinan mengoperasikan panti asuhan ke instansi terkait.

Pada 3 Mei 2017, Panti Asuhan Al-Firdaus yang digarap Ummi bersama suaminya, Adit Andriyansyah, 29 tahun, dan Roni, resmi didirikan. Mereka juga yang mengelola panti asuhan tersebut. Awalnya, ada sekitar 15 anak yatim dan piatu yang dirawat. Semuanya, kecuali Roni, berteduh di rumah kontrakan di Kilometer 9, Balikpapan Utara.

Di panti asuhan tersebut, para penghuni panti diwajibkan bersekolah. Menurut Ummi, pendidikan adalah cara tepat untuk mengusir kemiskinan. “Meskipun kami orang tidak punya, setidaknya, kami harus punya ilmu,” tutur perempuan berkerudung itu kepada kaltimkece.id, Senin, 3 Mei 2021.

Semula, semua berjalan normal. Penghasilan Ummi sebagai guru honorer dan suaminya sebagai petani sawit, cukup untuk mengoperasikan Panti Asuhan Al-Firdaus. Selain itu ada pula tambahan dana dari Roni dan beberapa donatur.

Masalah datang setelah Panti Asuhan Al-Firdaus berjalan satu setengah tahun. Keuangan panti tersebut memasuki masa paceklik. Kata Ummi, duit khas saat itu tidak cukup untuk konsumsi, pendidikan, dan membayar sewa rumah. Apalagi, penghuni panti terus bertambah. Jadilah Ummi muda menghadapi pilihan yang amat sulit. Antara mengorbankan pendidikan atau tidak punya tempat tinggal.

Untungnya, masalah tersebut tidak berlangsung lama. Seseorang menawari Ummi sebuah rumah dengan gratis. Rumah tersebut juga terletak di Kilometer 9. Hanya saja, ada banyak kendala di rumah tersebut. Lingkungan rumah saat itu masih berupa hutan. Rumput-rumput ilalang setinggi sapu lidi tumbuh hingga ke rumah.

Kemudian, luas rumah juga tidak terlalu besar. Hanya sekitar 6x6 meter. Di dalamnya hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Itupun belum termasuk dapur. Tentulah, rumah tersebut bukan tempat nyaman untuk Ummi bersama keluarganya dan anak-anak Panti Asuhan Al-Firdaus bermukim.

Namun, Ummi menolak menyerah. Ia bersama keluarganya dan seluruh anak-anak Panti Asuhan Al-Firdaus lantas membersihkan lingkungan tersebut. Mereka juga membangun kamar baru yang menempel dengan rumah tersebut. Setengah bagian depan kamar tersebut ditutupi bata, setengahnya lagi kayu.

Kayu dan triplek juga menutupi sisi kanan dan belakang kamar tersebut. Sedangkan bagian atapnya ditutupi seng dan talang hujan. Mereka turut membuat ruang-ruang kecil di kamar tersebut sebagai tempat penyimpanan barang, seperti menyimpan kasur.

Setelah jadi, mereka semua pindah dan tinggal di rumah tersebut. Kamar yang baru tadi digunakan kaum lelaki untuk istirahat malam. Sedangkan kamar yang satunya digunakan kaum perempuan.  Masalah baru pun di mulai dari sini.

Ummi bercerita, selama dua tahun tinggal di rumah tersebut, mereka hidup bersesakan. Anak-anak juga kerap kedinginan karena melalui celah-celah kecil di kamar pria, angin selalu masuk. Bahkan, ketika hujan mengguyur, air pasti masuk ke kamar tersebut. Mereka menyiasati dengan menampung air menggunakan wadah. Sambil sesekali memperbaiki atap. Ummi hampir menangis menceritakan kisah ini.

“Saya terima dengan ikhlas rumah ini. Daripada anak-anak kehilangan pendidikannya,” ucap Ummi sambil menahan air matanya.

Saat ini, sudah ada 23 orang penghuni Panti Asuhan Al-Firdaus. Mereka terdiri dari yatim, piatu, yatim dan piatu, serta duafa. Ummi menganggap mereka semua adalah anak-anaknya sendiri. Karena baginya, merawat kaum tersebut adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Apalagi, ayahnya pernah berpesan agar Ummi menjadi manusia yang bisa bermanfaat untuk sesama.

“Itulah yang menjadi alasan saya menerima tawaran mengelola panti asuhan,” terang ibu tiga anak itu. (Bersambung/*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar