Terkini

Detik demi Detik Unjuk Rasa di DPRD Kaltim, Tabir Surya di Sekujur Tangan dan Pelajar yang Susah Diatur

person access_time 5 years ago
Detik demi Detik Unjuk Rasa di DPRD Kaltim, Tabir Surya di Sekujur Tangan dan Pelajar yang Susah Diatur

Massa terus bertahan di depan DPRD Kaltim meski berulang kali dihantam water cannon dan gas air mata. (Wahyu Musyifa/kaltimkece.id)

Aksi penolakan terhadap sejumlah kebijakan negara yang bergulir dimotori kalangan mahasiswa. Warga sipil hingga pelajar memilih ikut berkontribusi.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Jum'at, 27 September 2019

kaltimkece.id Tit tit tit tit, tit, tit tit tit. Suara mirip nada dering telepon seluler era monophonic membahana sepanjang Jalan Juanda, Samarinda Ulu, Kamis pagi, 26 September 2019. Lalu lintas padat merayap. Nada itu berasal dari klakson barisan sepeda motor yang ditumpangi ratusan mahasiswa. Mayoritas beralmamater kuning.

Warga di sepanjang jalan mengabadikan lewat foto dan video dari ponsel pintarnya. “Hidup mahasiwa! Mantap kalian,” seru seorang ibu berdaster kembang-kembang. Orang di sekitarnya ikut melambaikan tangan dari pinggir jalan. “Restui kami berjuang, Bu,” sahut mahasiswa disambut senyum.

Iring-iringan mendadak terhenti di depan sebuah hotel. Masih di jalan yang sama. Tak jauh dari Universitas 17 Agustus Samarinda. Seorang perempuan paruh baya tampak membagikan berdus-dus air mineral botol. Menumpuk penuh di mobil berpenggerak roda ganda yang dikemudikan suaminya. Mahasiswa antusias berebut minuman.

Sedianya, minuman itu disajikan untuk tamu hotel yang ia kelola. Namun, melihat massa mahasiswa melintas hendak berdemonstrasi, menolak isi revisi Undang-undang KPK dan aturan lainnya, memorinya seperti terulang di peristiwa Gejayan, Jogjakarta, 1998 lalu. Pada 2019, aksi menolak hasil revisi Undang-undang KPK bertemakan ‘Gejayan Memanggil’. Naluri semangat perjuangannya muncul kembali.

Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 1995 tersebut yakin mahasiswa beridealisme lah yang menjaga bangsa tetap di jalur terbaik. Tugas utamanya memang belajar. Tapi, di bahu merekalah nasib bangsa ditentukan. Karena itulah, Nita tak keberatan mengizinkan anaknya yang sedang berkuliah di Universitas Gadjah Mada ikut aksi serupa. “Saya izinkan, karena itu cara dia mencari jati diri,” katanya.

Iring-iringan mahasiswa tiba di Islamic Center, Jalan Slamet Riyadi, Samarinda, Kamis, 26 September 2019 sekira pukul 10.04 Wita. Di halaman parkir masjid terbesar Asia Tenggara itu, sudah menunggu ribuan rekan sesama mahasiswa. Dari berbagai kampus swasta dan negeri di Samarinda. Halaman parkir penuh sesak sepeda motor. Ribuan mahasiswa mengular dari pintu masuk hingga keluar. Tak satupun bendera organisasi. Hanya bendera merah putih berkibar di kerumunan.

Sekitar 45 menit kemudian, koordinator lapangan di atas mobil pikap, disebut mobil komando, menyeru maju ke tujuan demonstrasi. DPRD Kaltim di Jalan Teuku Umar. Di barisan depan, tersusun ratusan mahasiswa. Membentuk empat baris menutup seluruh jalan. Disebut barisan pelopor. Bertugas membuka jalan bagi ribuan massa di belakang. Sekaligus berhadap-hadapan dengan siapapun yang menghalangi. Konsepnya mencontoh barisan pelopor dari serikat buruh di kawasan industri Jabodetabek.

Berturut-turut, disusul mobil komando dan massa aksi. Uniknya, di barisan depan massa, bersusun puluhan siswa berseragam abu-abu. Membentangkan spanduk bekas berukuran 3x1 meter. Dicat hijau bertuliskan Aliansi Siswa Samarinda. Beberapa di antaranya mengenakan baju batik. Ditutup jaket agar tak terlihat benar mana asal mereka.

“Teman kami banyak yang mau ikut. Tapi tadi pagi kena sweeping di dekat fly over Juanda sama polisi. Yang enggak pakai baju sekolah lolos dan ikut aksi,” kata Arman salah satu siswa.

Lagu-lagu perjuangan membahana sepanjang 2 kilometer jalur long march dari Jalan Slamet Riyadi ke Gedung DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar. Misalnya Internationalle, Darah Juang, Indonesia Pusaka, sampai Buruh Tani. Di antara banyak syair, chant atau yel-yel bertema sindiran kepada polisi paling sering dinyanyikan.

 “Tugasmu mengayomi… Tugasmu mengayomi… Pak polisi, pak polisi, jangan tembaki kami,” teriak para siswa. Chant tersebut merupakan gubahan lirik yang dipopulerkan Serdadu Tridatu–suporter klub sepak bola Bali United. Persisnya, saat menjamu klub Bhayangkara FC dalam lanjutan kompetisi Liga 1 PSSI di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Sabtu, 21 Juli 2018. Yel-yel tersebut menyindir lembaga polisi yang ikut campur dalam turnamen sepak bola. Lirik aslinya “tugasmu mengayomi… tugasmu mengayomi… Pak polisi, pak polisi, jangan ikut kompetisi’. Para siswa yang mempopulerkan yel-yel tersebut berpendapat, sedari awal mereka mengingatkan polisi akan tugasnya.

Massa tiba di depan gerbang utama Gedung Karang Paci--sebutan kantor DPRD Kaltim, sekira pukul 11.14 Wita. Sejam orasi di bawah terik matahari, massa mulai gerah. Keringat sebesar biji jagung bercucuran. Beberapa mahasiswa mencoba mendorong dan membuka pagar DPRD Kaltim.

Yel-yel ‘pak polisi’ seketika bergema dari barisan siswa. Disambung lirik ‘buat apa rusuh, buat apa rusuh, rusuh itu tak ada gunanya’. Seruan siswa dan mahasiswa itu untuk meredam emosi. Massa telah mengular dari depan gerbang DPRD Kaltim hingga lampu merah samping Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kaltim. Suasana pun kembali kondusif.

Dukungan buat Kakak-Kakak

Keikutsertaan puluhan pelajar SMA yang tergabung dalam Aliansi Siswa Samarinda bukan kebetulan. Sejak ramai pemberitaan di media sosial dan media online beberapa pekan terakhir, nyali para pelajar bangkit. Mengorganisasi diri, diskusi, dan ikut demonstrasi. Juga diskusi bersama mahasiswa dan orator lain di Samarinda. Pengetahuan mereka terbuka atas kondisi bangsa.

“Tadi malam kami organisir 300-an pelajar lintas sekolah. Kami buat grup percakapan,” kata pemuda 18 tahun, sebut saja Aco, yang jadi salah satu motor aliansi. Ia meminta identitasnya dirahasiakan.

Kesepakatannya malam itu, adalah ikut aksi mendukung mahasiswa yang berjuang. Mereka merasa terpanggil. Prihatin mahasiswa kena pukul petugas. Modal aksi pun disiapkan. Mulai banner bekas untuk spanduk, juga poster dari karton dan kardus air mineral.

Di atas mobil komando, Aco berorasi pentingnya menolak pelemahan KPK. Menolak pengesahan RKUHP dan melawan rasialisme di Papua. Dia mengajak siswa lain tak perlu takut jika kelak dipersoalkan pihak sekolah. Menurutnya, sekolah perlu mengajarkan pikiran kritis untuk pelajar. Bukannya menakut-nakuti. “Jika kami, teman-teman siswa, sudah turun, artinya Indonesia sedang tidak baik-baik saja, kawan-kawan,” seru dia disambut sorak-sorai massa mahasiswa.

Sepanjang aksi, Aco dan beberapa rekannya terlihat berupaya menenangkan situasi. Ketika ada potensi kontak dengan petugas, mereka langsung meneriakkan yel-yel bernada positif.

Beda lagi dengan Zea. Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman tersebut ikut aksi karena menolak RKUHP. Pasal yang ia maksud yakni pembatasan perempuan keluar malam. Bagi perempuan 19 tahun berambut pirang sebahu itu, pasal tersebut bakal mengganggu pekerjaannya. Sebab, sehari-hari untuk kuliah, ia bekerja di sebuah cafe hingga tengah malam.

Sama dengan kebanyakan mahasiswa lain, Zea tertarik ikut dimotori keramaian dan keseruan demonstrasi yang membanjiri linimasa media sosialnya. Aksi itupun merupakan demontrasi kali pertamanya. Bersama teman-teman sekelas, ia ikut membuat spanduk dan rela berpanas-panasan. Tak ketinggalan, masker serta lotion tabir surya ia lumuri ke sekujur tangan dan leher. Khawatir kulit putihnya terpanggang terik matahari. “Karena hidup cuma sekali, kenapa enggak ikut demo,” katanya sambil melayani ajakan foto teman-temannya kala aksi. Karena padatnya massa, sinyal telekomunikasi data hampir tak berguna.

Bolak-Balik Rusuh

Istarahat selepas salat dzuhur dimanfaatkan benar kedua kubu yang saling berhadapan. Polisi dan massa sama-sama atur strategi. Korps Bhayangkara menugaskan seorang personelnya. Mengimbau lewat pengeras suara agar massa tak berbuat vandal. Tak mau kalah, massa makin meninggikan volume orasi. Disambut teriakan ‘huuuuu’.

Massa di barisan depan pagar mulai terpancing. Merobohkan kawat berduri dan merangsek maju menggoyang-goyangkan pagar kantor DPRD Kaltim. Seperti aksi tiga hari sebelumnya, mahasiswa berhasil naik pagar kayu ulin setinggi 4 meter. Sambil berteriak dan membentang spanduk. Sesekali mereka menggoyang-goyangkan pagar dengan harapan rubuh dan merangsek masuk ke DPRD Kaltim.

Tapi kali ini berbeda. Semua besi pagar dilumuri grease–pelumas mesin licin dan lengket. Di bagian atas dipasangi kawat berduri. Massa tak bisa berbuat banyak.

Adrenalin mahasiswa yang terlibat adu mulut dengan polisi di gerbang utama membuncah. Tiba-tiba datang puluhan pemuda bercelana abu-abu. Masuk ke barisan dan disambut tepuk tangan mahasiswa. Dua kelompok tersebut berhadapan dengan tameng polisi. Hanya dipisahkan pagar.

Anggota DPRD Kaltim, semisal Rusman Yuqub dan Samsun yang menemui, tak digubris. Leglislator Bumi Etam tersebut hanya menawarkan aspirasi disampaikan ke DPR RI, selaku pengesah undang-undang.

Massa yang sedari awal membentang spanduk mosi tak percaya kepada wakil rakyat, kukuh tak menerima tawaran. Beberapa orator di mobil komando berpedapat, aspirasi DPRD Kaltim tak bisa berbuah apa-apa. Semua pengambil kebijakan ada di pusat. Mereka tetap pada sikap bertahan di luar gedung. Memberi tekanan ke pusat.

Massa pun terpecah. Sebagian tetap ingin menyampaikan aspirasi ke DPRD Kaltim. Para demonstran akhirnya jenuh dan bingung. Beberapa oknum pengunjuk rasa usil melemparkan gelas air minum ke barisan polisi. Mayoritas massa langsung menghardik si pelempar. Yel-yel ‘pak polisi’ kembali membahana.

Kebingungan kembali muncul. Massa yang sebagian besar baru beberapa kali ikut demonstrasi, tak bisa menahan kesabaran. Pagar kembali digoyang. Berharap masuk ke gedung wakil rakyat.

Imbauan berganti salawat. Diperdengarkan polisi lewat pengeras suara. Tapi nyaris tak ada yang menghiraukan. Massa tetap asyik berorasi.

Polisi pun menyemprotkan air melalui dua mobil meriam air yang berjaga di dua pintu masuk DPRD Kaltim sekitar pukul 14.18 Wita. Air menyembur hingga menyeberang jalan. Menembak ke berbagai penjuru. Bukannya menghindar, demonstran malah girang. Sambil memunggungi semprotan mereka berteriak: ‘lagi-lagi’. Saat itu Samarinda memang sedang panas. Terik matahari begitu menyengat. Tapi semprotan air sempat membuat pengeras suara tak berfungsi. Pusat arahan nyaris lumpuh.

Bersamaan itu, muncul sekelompok pemuda. Berpakaian abu-abu khas pelajar SMA. Beberapa tak mengenakan baju. Kepalanya ditutupi helm setengah wajah. Tambahan massa tersebut langsung bergabung ke baris depan. Beberapa saat kemudian, gelombang massa bercelana kelabu kembali datang.

Aksi dorong tak terhindarkan. Sebuah benda dilemparkan ke arah polisi. Massa meneriaki terduga pelempar. Berseragam celana abu-abu tapi bertato. Rambutnya sebahu. Pria itupun diusir. Apesnya, siswa lain ikut kena usir. Mereka berpindah ke pintu gerbang Karang Paci yang menghadap permukiman.

Setelahnya, masa kembali bingung. Balik kanan meminta arahan koordinator lapangan yang berganti-ganti. Sang korlap memerintahkan massa maju. Kerumunan mengikuti lalu menggoyang-goyang pagar. Bahkan sedikit terbuka. Tapi polisi bertameng langsung mengayunkan pentungan. Teriakan massa tak terhindarkan. Saling cemooh dari kedua pihak. Hingga akhirnya terdengar suara ledakan disusul gas air mata.

Massa kocar-kacir ke berbagai penjuru. Lalu membalas dengan lemparan batu. Botol air mineral pun diberdayakan. Sayangnya, pasta gigi yang diusapkan ke dagu dan sekujur wajah tak banyak membantu. Air mata tetap bercucuran. Napas tercekat hingga muntah. Beberapa mahasiswa ditandu karena pingsan menghirup gas air mata.

Semakin sore, rombongan siswa SMA dari sekitar Karang Paci berdatangan. Bukan dari Aliansi Siswa Samarinda. Katanya terpanggil setelah melihat unggahan di media sosial. Gelombang kedua itupun susah menerima komando. Jika gas air mata dilemparkan, kelompok tersebut dan sebagian massa aksi bereaksi dengan membalas serangan. Baik melempar balik gas air mata ke arah polisi atau melempar benda lain di sekitar.

Beberapa kali terlihat pria bertato berteriak: ‘mana bensinya?’ Ada juga pria paruh baya dengan perut buncit dan berbadan tegap, meminta seorang pelajar mengumpulkan batu dalam sebuah wadah. Maksudnya untuk dilempar balik. Dan begitu saja saran itu dituruti. Pelajar ini tampak belum terbiasa dipimpin perangkat aksi.

“Aku mau ikut aksi buat meramaikan saja. Aku masih kesal sama polisi. Pernah ditangkap pas ngumpul bemotoran. Enggak kapok aku,” kata seorang pemuda berseragam salah satu SMK di Samarinda kepada kaltimkece.id. Ia kemudian mengoleskan pasta gigi ke wajahnya dan bersiap menghadapi polisi lagi.

Aksi bentrok hanya berhenti saat adzan salat asar dan magrib berkumandang. Gas air mata hilang. Massa kembali maju. Begitu seterusnya hingga pukul 18.00 Wita.

Setelah seharian aksi, seorang ibu yang mengaku penjual nasi di sekitar lokasi, datang menghampiri petugas. Ia mengeluhkan perubahan undang-undang yang membuat mahasiswa berdemonstrasi. Dagangan nasi campurnya jadi sepi. “Saya maunya tenang,” kata Jumeya, disambut tepuk tangan mahasiswa. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar