Terkini

Di Balik Kedatangan Jokowi di Bukit Soeharto, Sinyal Kuat Ibu Kota Negara di Kaltim

person access_time 5 years ago
Di Balik Kedatangan Jokowi di Bukit Soeharto, Sinyal Kuat Ibu Kota Negara di Kaltim

Foto: Anggun (humas Sekretariat Kabinet RI)

Kaltim menjadi provinsi pertama calon ibu kota negara yang didatangi Presiden Jokowi. Berpeluang besar gantikan Jakarta. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 07 Mei 2019

kaltimkece.id Rencana besar memindahkan ibu kota negara terus dirintis Presiden Joko Widodo. Selasa, 7 Mei 2019, Jokowi memulai perjalanan mengunjungi sejumlah lokasi yang menjadi calon ibu kota. Kaltim menjadi provinsi pertama yang ia datangi. 

Dalam lawatan ke Kaltim, Presiden selama setengah jam melihat keadaan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Persisnya di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Lokasi ini disebut sebagai alternatif ibu kota negara seperti termuat dalam dokumen kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diterima kaltimkece.id

Sesuai dokumen tadi, lokasi calon ibu kota diperkirakan di dalam hutan konservasi seluas 67 ribu hektare tersebut. Kemungkinan terbesarnya di bagian barat Bukit Soeharto yakni perbatasan Penajam Paser Utara (PPU) dengan Kutai Kartanegara (Kukar). Lebih detail lagi yaitu di perbatasan Kecamatan Samboja, Kukar, dengan Kecamatan Sepaku, PPU. 

Baca juga:
 

Di luar fungsi hidrologi sebagai penyimpan air bersih bagi Samarinda, Balikpapan, dan pesisir Kukar, Bukit Soeharto memang sangat strategis. Kawasan ini terletak di tengah-tengah dua kota utama di Kaltim yakni Balikpapan dan Samarinda. Menjadikan Bukit Soeharto sebagai ibu kota dapat berarti menciptakan Balikpapan, Penajam, Samarinda, dan Tenggarong, sebagai kota satelit. Sama halnya dengan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai kawasan satelit DKI Jakarta. 

Kelebihan lain Bukit Soeharto adalah status lahan. Sebagai hutan negara, pemerintah tidak perlu mengeluarkan ongkos pembebasan lahan jika ingin menggunakannya untuk kepentingan negara. Kondisi ini sekaligus memperkecil ruang gerak spekulan tanah menjelang penentuan lokasi ibu kota baru.  

Bukit Soeharto juga memiliki keuntungan infrastruktur. Kawasan ini dilintasi dua jalan poros termasuk jalur pesisir Samboja, Muara Jawa, Sangasanga. Kelak, Bukit Soeharto juga dilewati jalan tol. Selain itu, lokasi ini hanya berjarak 56 kilometer dari Bandara Internasional Sultan AM Sulaiman Sepinggan di Balikpapan. Sementara dari Bandara APT Pranoto di Samarinda, sekitar 76 kilometer. 

Bukit Soeharto juga diapit dua pelabuhan. Pertama adalah Terminal Peti Kemas Kariangau di Balikpapan berjarak 45 kilometer. Adapun pelabuhan kedua adalah Terminal Peti Kemas Palaran di Samarinda, kira-kira 65 kilometer jauhnya. 

Baca juga:
 

Dari kondisi infrastruktur tersebut, Presiden Jokowi menyatakan Kaltim cukup layak sebagai ibu kota negara. "Artinya, itu (jalan tol, bandara, dan pelabuhan laut) akan menghemat banyak biaya," jelas Jokowi, Selasa, 7 Mei 2019, di Bukit Soeharto, sebagaimana keterangan resmi Sekretariat Negara. 

"Saya bicara apa adanya bahwa fasilitas di Kaltim sangat mendukung, terutama airport. Jalan tol sudah ada. Tahun ini tol sudah jadi," sambung Presiden. Jokowi menambahkan, sejumlah lokasi calon ibu kota sudah dipelajari selama satu setengah tahun terakhir. Kaltim adalah salah satunya. 

Sebagai negara besar, lanjut Jokowi, Indonesia ingin memiliki pusat pemerintahan yang terpisah dengan pusat ekonomi, bisnis, perdagangan, dan jasa. Meski demikian, Presiden menuturkan bahwa kajian lokasi ibu kota tidak melulu urusan infrastruktur. Ada pula kajian sosiologis dan sosio-politik yang perlu dipertajam.

"Ini harus sangat terencana dan matang sehingga saat memutuskan betul-betul benar," katanya. 

Dalam penilaian yang dibuat Tim Nawa Cipta untuk Bappenas (dokumen PDF, 2018), Kalimantan memang meraih skor tertinggi sebagai ibu kota baru dibanding pulau-pulau lain di luar Jawa. Keunggulan Kalimantan adalah lahan yang sangat luas, potensi ekonomi sangat besar, aman dari bencana alam, dan strategis dari keadaan geografisnya (pertahanan dan keamanan).  Sementara yang menjadi kelemahan Kalimantan adalah kekuatan budaya masih terbatas, infrastruktur lemah, dan kerawanan bencana sosial. 

Dengan kekuatan itu, Kalimantan mendapat skor 91, dari rentang penilaian 0-100. Di posisi kedua adalah Sumatra dengan skor 87, diikuti Sulawesi (79), dan Papua (71). 

Lawatan RI 1

Presiden Jokowi tiba di Balikpapan pukul 11.55 Wita. Rombongan segera menuju lokasi pembangunan jalan tol di Kilometer 48, kawasan Bukit Soeharto. Di tengah perjalanan, rombongan presiden menunaikan salat zuhur di Masjid Nurul A’la, Jalan Soekarno Hatta, Kilometer 17, Karang Joang, Balikpapan Utara.

Presiden tiba di lokasi jalan tol pukul 13.40 Wita. Ia didampingi sejumlah menteri antara lain Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil. 

Rombongan presiden disambut Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi beserta jajaran Pemprov Kaltim. Ada pula Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah beserta jajaran pemkab.

Jokowi kemudian berdiskusi bersama Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi selama 20 menit. “Informasi dari Pak Gubernur (Isran Noor), lokasi ini (Bukit Soeharto) bebas banjir. Luas areanya juga mencukupi. Tinggal penataannya nanti,” kata Jokowi selepas diskusi.

Penilaian Akademisi

Sejumlah pendapat terurai dalam rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Chairil Anwar, mengibaratkan sebuah negara adalah tangan. Semakin ke ujung jari, pembangunan semakin buruk. Posisi Kalimantan di tengah-tengah Nusantara diharapkan mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh negeri.

Dampak ekonomi bagi Kalimantan bila menjadi ibu kota negara diperkirakan luar biasa besar. Pegawai pemerintah pusat berbondong-bondong dipindahkan. Dengan migrasi 8 juta sampai 10 juta orang (sesuai perhitungan Bappenas), akan mencetak permintaan dalam skala besar. Mulai kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, hingga kebutuhan sekunder dan tersier seperti otomotif dan pariwisata. Permintaan sedemikian besar otomatis membuat sektor informal gilang-gemilang.

Bukan tanpa dasar Chairil memprediksi demikian. Dalam pandangannya, pusat perekonomian negara-negara di Asia memiliki ciri khusus. Kebanyakan kegiatan ekonomi negara Asia berdekatan dengan pusat pemerintahan. Hal ini berbeda dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang pusat ekonomi dan pemerintahannya terpisah. Jika Indonesia juga memisahkan keduanya, simpul-simpul ekonomi baru di ibu kota tetap saja tercipta meskipun tidak sebesar Jakarta yang kokoh sebagai pusat perekonomian. 

"Pemindahan ibu kota di Indonesia akan sangat berbeda dengan Malaysia. Di Malaysia, hanya pusat perkantoran pemerintah yang dipindah dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Masih satu kawasan dan satu pulau,” jelasnya. 

Pengamat ekonomi lingkungan dari Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda, Bernaulus Saragih, mengajukan opini berbeda. Menurutnya, pemindahan ibu kota bukanlah solusi terbaik. Pemindahan ibu kota, kata Bernaulus, hanyalah bentuk ketidakmampuan pemerintah mengatasi persoalan di Jakarta. 

“Bahkan, bagi saya, hanya bentuk kepanikan atas ancaman-ancaman lingkungan yang dihadapi Jakarta,” terangnya. Seluruh pernyataan Bernaulus telah dikirim secara resmi kepada Bappenas. 

Menurut Bernaulus, jika ingin perekonomian dan pembangunan tidak terpusat di Jakarta, masih banyak solusi. Salah satunya adalah Jokowi mesti konsisten dengan cita-cita reformasi yaitu desentralisasi kekuasaan ke daerah. Sayangnya, justru pada era Jokowi-lah pemusatan kekuasaan semakin kuat ke pusat. Sebagai contoh, beragam undang-undang yang memberangus wewenang bupati dan wali kota. Mulai undang-undang keuangan hingga dana perimbangan. 

“Sehingga yang kita lihat setiap hari adalah ribuan eksekutif dan anggota legislatif daerah mondar-mandir ke Jakarta. Macam-macam urusannya, mulai bimtek, negosiasi pencairan anggaran, konsultasi, lobi-lobi, dan ratusan alasan lain,” sambungnya.

Sentralisasi kekuasaan seperti ini membuat pemindahan ibu kota negara dianggap tidak berarti. “Indonesia mestinya belajar dari Amerika di mana setiap negara bagian berkembang sejajar. Daerah atau negara bagian bahkan jauh lebih maju dan modern daripada Washington DC sebagai district capital (ibu kota federasi),” pesan Bernaulus. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar