Terkini

Eksekusi Pembongkaran Rumah Warga di Jalur Hijau Bantaran SKM Tak Berjalan Mulus

person access_time 4 years ago
Eksekusi Pembongkaran Rumah Warga di Jalur Hijau Bantaran SKM Tak Berjalan Mulus

Aksi penolakan warga dalam pembongkaran bangunan RT 28 Kelurahan Sidodadi, Samarinda Ulu. (giarti ibnu lestari/kaltimkece.id)

Warga mengadang pembongkaran bangunan di jalur hijau SKM dengan mengemukakan sejumlah tuntutan.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Selasa, 07 Juli 2020

kaltimkece.id Selasa pagi, 7 Juli 2020, pembongkaran bangunan Jalan Pahlawan RT 28 Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Samarinda Ulu, diwarnai penolakan. Warga dari RT 26, 27, dan 28 mengadang penertiban yang dilakukan Pemkot Samarinda tersebut.

Keramaian pun mengular di depan Pasar Induk Segiri sampai sepanjang Jalan Dr Sutomo. Akses dari simpang empat Mal Lembuswana pun ditutup. Hanya satu jalur tetap dibuka seperti biasa.

Situasi ini berlangsung hingga sore. Pukul 15.34 Wita, ekskavator perlahan mundur. Warga-warga juga mulai membubarkan diri. Berganti petugas kebersihan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda mulai membersihkan puing-puing sisa rumah yang sempat dibongkar. Beberapa warga juga mulai membantu petugas membersihkan badan jalan yang kotor.

Dalam aksi pagi itu, Forum Komunikasi Warga Pasar Segiri RT 28 mengemukakan tuntutan kepada pemerintah. Yang pertama adalah penjelasan terkait program dari normalisasi tersebut. Yakni jarak dan luasan yang ditertibkan. Selain itu kepastian ganti rugi yang sesuai. Secara transparan dan berprikemanusiaan.

Pemkot Samarinda juga dituntut memberikan jaminan tempat tinggal atau hunian sementara bagi warga yang terkena dampak normalisasi Sungai Karang Mumus (SKM). Pemkot juga diminta menjamin pembayaran benar-benar sampai di tangan warga RT 28.

Ketua Forum Warga Segiri, Andi Samsul Bahri, mengatakan bahwa pihaknya belum menerima transfer seperti dijanjikan Pemkot Samarinda terkait santunan penertiban. Andi menyayangkan pola yang diterapkan Pemkot. Menurutnya, warga siap mendukung program pemerintah namun mesti duduk bersama dulu dengan pemerintah.

Sudirman, warga RT 28 yang telah 31 tahun tinggal di sekitar Pasar Segiri, termasuk pemilik bangunan yang akan dibongkar. Ia mengaku lahir dan besar ditempat yang ia huni sampai saat ini. Bersama kedua orangtuanya yang merupakan pedagang Pasar Segiri. "Kami termasuk keluarga perintis Pasar Segiri. Merupakan pindahan dari Pasar Pagi pada 1975,” sebutnya.

Menurutnya, tanah lingkungan tempat ia tinggal merupakan milik seseorang bernama Haji Wahab. Sedangkan bangunan huniannya adalah miliki keluarga. Klaim ini bertentangan dengan pernyataan pemerintah bahwa tanah tersebut miliki Pemkot Samarinda. Pun kriterianya yang berada di jalur hijau.

“Kalau kami warga ilegal dari dulu kami digusur. Upaya yang dilakukan pemerintah tak berprikemanusiaan, tidak adil," sebut Sudirman.

Rumah Sudirman termasuk yang bakal dibongkar dalam normalisasi ini. Ia juga salah satu yang sudah menandatangani perjanjian dengan Pemkot Samarinda. Namun belum membuat rekening sebagai syarat pencairan santunan.

Soal santunan, ia juga merasakan kejanggalan. Lantaran baru dicairkan pada hari pembongkaran. Sementara awalnya dijanjikan sepekan sebelum eksekusi. Dipergunakan untuk pembongkaran dan pembersihan. “Dijanjikan Rp 4,5 juta. Seharusnya Rp 3 juta dulu lah ditransfer. Sisanya Rp 1,5 juta dibayar kemudian. Dan Kalau dipikir, Rp 4,5 Juta cukup untuk apa?”

Sekretaris Kota Samarinda, Sugeng Chairuddin, menyebut bahwa tujuh rumah telah dibongkar merupakan miliki warga yang telah menerima santunan. Sedangkan 19 lainnya direncanakan besok. Termasuk pencairan santunannya. “Kenapa menggunakan rekening? Karena aturannya begitu. Kami tidak berani cash. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ucap Sugeng Chairuddin.

Di lokasi pembongkaran, Sugeng pun menjawab hal-hal yang menjadi keluhan para warga. Menurutnya, tuntutan terhadap Pemkot Samarinda bukan hal tepat. Warga meminta ganti rumah dan ongkos pindahan Rp 7,5 juta. “Kalau berdiri di tanah beliau (warga) oke, lah. Tapi ini tanah kita (Pemkot Samarinda). Selama 30 tahun ditinggali cuma-cuma dan sekarang kita perlukan karena banjir intensitasnya sudah tidak beraturan lagi,” terang Sugeng.

Banjir menjadi persoalan yang banyak merugikan warga Samarinda tahun ke tahun. Dan belakangan keadaannya kian memburuk. Salah satunya disebabkan penurunan fungsi dari Sungai Karang Mumus. Normalisasi SKM berarti menertibkan bangunan-bangunan liar di sekitarnya yang merupakan jalur hijau. “Kalau itu (bangunan di atas SKM) dibongkar, dilebarkan, kemudian dikeruk agar bertambah dalam, banjir akan berkurang. Letak salah kita membongkar dimana?” pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar