Terkini

Ibu Kota Baru di Kaltim, Tak Berarti Memindahkan Seisi Jakarta dan Problematikanya

person access_time 5 years ago
Ibu Kota Baru di Kaltim, Tak Berarti Memindahkan Seisi Jakarta dan Problematikanya

Situasi lalu lintas yang akrab terjadi di Jakarta. (Bay Ismoyo/AFP/Getty Images)

Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Akankah ibu kota baru kelak sama kejamnya?

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Selasa, 30 Juli 2019

kaltimkece.id Seperti banyak terjadi di ragam kebijakan, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan menuai pro dan kontra. Banyak sambutan positif. Tapi nada kontra tak kalah masif. Banyak kekhawatiran pemindahan ibu kota membawa seluruh permasalahan Jakarta ke daerah pengganti nantinya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro pada Senin, 29 Juli 2019, membeberkan bahwa Presiden Joko Widodo sudah menyetujui lokasi ibu kota Indonesia yang baru. Kalimantan menjadi pulau yang ditetapkan. Namun detail provinsi masih dirahasiakan. “Provinsinya menyusul,” ujar Bambang saat diwawancara awak media di Hotel Shangri-La, Surabaya.

Baca juga:
 

Permasalahan yang kini menjadi momok Jakarta tak lain kepadatan penduduk. Demikian juga polusi udara, kemacetan, hingga masalah sosial lain. Tak heran, wacana pemindahan DKI disebut-sebut berbarengan dengan kondisi kota metropolitan, bahkan megapolitan seperti Jakarta. Seperti kata pepatah, sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota.

Namun demikian, pengamat tata kota Farid Nurrahman, melihat ketakutan tersebut tak berdasar. Mesti diluruskan bahwa yang pindah sebatas ibu kota pemerintahan. “Bukan Jakarta,” tegas dosen Institut Teknologi Kalimantan itu.

Beberapa permasalahan khas ibu kota memang berpeluang turut serta. Namun untuk Kalimantan, lanjut dia, diyakini terhindar dari masalah-masalah di Jakarta. Apalagi jika di Kaltim kelak, bukan Samarinda dan Balikpapan ditetapkan sebagai lokasi. “Lokasi DKI nanti berada di daerah baru yang dibuka,” ujarnya.

Dia mengambil contoh pemindahan ibu kota pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Pada akhirnya, permasalahan di Kuala Lumpur tak juga ikut ke Putra Jaya.

Dari kacamata Farid, permasalahan ibu kota di Jakarta banyak didasari faktor kependudukan. Luas Jakarta adalah 662,33 kilometer persegi, termasuk Kepulauan Seribu. Sedangkan jumlah penduduk pada 2017 sudah 10,3 juta jiwa sesuai pendataan Badan Pusat Statistik pada 2018.

Dibandingkan Kaltim, luas daratan hanya 127,2 ribu kilometer persegi. Jumlah penduduknya pada 2017 sekitar 3,5 juta.

Antisipasi Tata Kota

Kementerian PPN/Bappenas menyiapkan dua skenario untuk pemindahan ibu kota. Dalam skenario pertama, total penduduk migrasi ke ibu kota baru adalah 1,5 juta orang. Terdiri dari 195.550 tenaga lembaga negara di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan skenario pemindahan TNI/Polri adalah 25.660 orang. Ditambah estimasi pelaku ekonomi mencapai 393.950 orang.

Estimasi terbanyak dari skenario I adalah adalah anggota keluarga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan TNI/Polri. Diestimasikan empat orang per keluarga. Memunculkan angka hingga 884.840. Dengan formasi tersebut, total kebutuhan lahan ibu kota baru mencapai 40 ribu hektare. Dihitung berdasar luas kebutuhan gedung pemerintah sesuai Perpres 73/2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Angka yang jauh lebih kecil berada di skenario II. Di sini, penduduk kategori eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dipindah hanya 111.510 orang. Sedangkan TNI/Polri tetap dengan angka di skenario I. Dengan skema ini, estimasi kepindahan anggota keluarga terpangkas menjadi 480.244 orang. Ditambah 184.150 pelaku ekonomi, total jumlah penduduk yang pindah hanya 870 ribu dengan kebutuhan lahan 30 ribu hektare.

Menurut Farid, tambahan maksimal 1,5 juta jiwa tak terlalu membebani Kaltim. Apalagi provinsi ini memiliki luas puluhan kali dari Jakarta. Meski demikian, dua kota besar di dekat DKI tetap mesti bersiap. “Kecenderungannya, orang tak akan langsung tinggal di lokasi baru tersebut. Makanya dua kota mesti bersiap di sisi tata kota,” ujarnya.

Selama ini, hal yang sering diperhatikan adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW). Lantaran Samarinda dan Balikpapan bersinggungan langsung, maka dokumen turunan RTRW, yakni rencana detail tata ruang (RDTR), mesti diperhatikan. “Dalam RDTR akan disusun detail zonasi di masing-masing kecamatan,” terangnya.

Banyak Efek Domino

Menurut Chairil Anwar, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul), yang juga penting dipikirkan untuk calon ibu kota baru, adalah keamanan VIP dan VVIP. Sebagai DKI, tentu kelak tamu-tamu penting kenegaraan bakal sering berkunjung ke Kalimantan.

Di sisi lain, pengamanan ideal juga penting dalam jalannya ekonomi negara. Dengan kondisi ibu kota kondusif, nilai tukar rupiah akan stabil. Pemerintahan daerah di Kalimantan pun lebih efisien dengan dekatnya jarak ke pemerintah pusat.

Daerah yang kelak ditunjuk menjadi ibu kota pun mesti bersiap. Ketika daerah baru dibuka, permintaan barang dan jasa ikut bertambah. Selama ini, kebutuhan harian Kaltim cukup bergantung suplai dari Jawa dan Sulawesi. Sektor perkebunan, peternakan, serta jasa, menjadi komponen yang wajib mendapat peningkatan.

Dalam timeline yang dirancang Bappenas pada 2017 hingga 2019, progres pemindahan ibu kota adalah penyusunan dan penyelesaian kajian. Baru tahun depan tahapan memasuki proses legislasi, penyiapan regulasi, dan kelembangaan. Termasuk penyusunan master plan kota dan perencanaan teknis kawasan.

Ground breaking pembangunan ibu kota negara baru dilakukan 2021. Seiring dengan itu, pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan dan sebagian kawasan ibu kota negara, dilangsungkan mulai 2022. Dari timeline itu, 2024 menjadi awal pemindahan ke ibu kota baru. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar