Terkini

Jual Tanah untuk Pemindahan Ibu Kota, Bukti Pemerintah Tak Siap dan Mirip Broker

person access_time 5 years ago
Jual Tanah untuk Pemindahan Ibu Kota, Bukti Pemerintah Tak Siap dan Mirip Broker

Ilustrasi rencana penjualan lahan negara (kaltimkece.id)

Presiden Joko Widodo berencana menjual lahan negara untuk pembiayaan ibu kota. Menuai beragam kritik.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Minggu, 08 September 2019

kaltimkece.id Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo mewacanakan terobosan pembiayaan pemindahan ibu kota negara. Di bidang agraria, presiden mengunggah rencana menjual tanah yang dikuasai negara di sekitar lokasi ibu kota. Luas lahan yang boleh dibeli masyarakat ini adalah 30.000 hektare. Hasil dari penjualan tanah menjadi skema pembiayaan pemindahan ibu kota negara ke sebagian Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara.

Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi menyebut lahan di sekitar lokasi ibu kota dijual kepada masyarakat khusus individu, bukan korporasi. Para pembeli diprioritaskan kaum milenial. Asumsi pendapatan negara dari penjualan ini mencapai Rp 600 triliun, jika tanah dijual dengan harga Rp 2 juta per meter persegi. Dana ini sangat cukup untuk pembangunan ibu kota negara.

Namun, ada syaratnya. Tanah yang sudah dibeli harus dibangun minimal dua tahun setelah transaksi. Jika lewat batas itu, negara berhak mengambil alih lahan melalui badan otoritas ibu kota baru. 

Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud mendukung rencana Presiden. Menurutnya, semua yang diputuskan Presiden pasti berdasarkan pertimbangan matang. "Kami setuju apapun keputusan presiden mengenai ibu kota negara," kata Gafur kepada kaltimkece.id

Bupati mengatakan, rencana penjualan tanah memang masih wacana, belum keputusan mutlak. Lagi pula, Gafur mengaku, belum menerima informasi resmi atau berkomunikasi dengan presiden mengenai wacana ini. "Saya pasti dipanggil jika membahas masalah ibu kota negara, termasuk skema pembiayaan yang melibatkan pemerintah daerah ataupun hal-hal lainnya," tutupnya.

Seperti Broker Tanah

Rencana menjual lahan yang dikuasai negara memantik beragam kritik. Pengamat kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda, Lutfi Wahyudi punya pandangan. Menurutnya, rencana Presiden ini menegaskan pemerintah tidak siap dari sisi pembiayaan. Pemerintah juga seakan menjadi broker tanah. 

"Yang perlu diwaspadai adalah penjualan tanah itu. Saya sebenarnya tidak sependapat," kata Lutfi Wahyudi, Sabtu 7 September 2019. Menurutnya, ada kekhawatiran bahwa lahan tersebut hanya dibeli masyarakat kelas menengah atas yang memiliki uang. Masyarakat ekonomi lemah tak akan mampu. 

Kekhawatiran yang lain, pembangunan ibu kota baru menggunakan dana investasi dalam jangka waktu tertentu. "Ketika jatuh tempo, semisal pemerintah tidak sanggup membayar, bisa jadi muncul tekanan- tekanan dari pihak yang berinvestasi tersebut," jelasnya. Dampaknya adalah ekonomi Indonesia dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan akan dirugikan. Lutfi menilai, pemerintah harus jujur dalam proses pemindahan ibu kota. Baik sisi pendanaan maupun kebijakan. 

Baca juga:
 

Sebagai informasi, sesuai kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas, skema pembiayaan ibu kota negara dibagi empat. Pertama, menggunakan dana APBN untuk pembangunan infrastruktur pelayanan dasar, pembangunan Istana negara, bangunan strategis TNI/POLRI, perumahan dinas ASN dan TNI/POLRI, pengadaan lahan, dan ruang terbuka hijau. Kedua, untuk peningkatan bandara dan pelabuhan, bersumber dari pendanaan BUMN. 

Skema ketiga adalah kerja sama badan usaha atau KPBU. Skema ini mencakup pembangunan gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ada pula pembangunan infrastruktur utama (selain yang telah tercakup dalam APBN), sarana pendidikan, sarana kesehatan, museum, lembaga pemasyarakatan, sarana dan prasarana penunjang dengan skema KPBU.

Skema terakhir adalah dana swasta untuk pembangunan perumahan umum. Termasuk pula pembangunan perguruan tinggi, sarana kesehatan, MICE, dan science-technopark, shopping mall. Total biaya yang diperlukan dibagi dalam dua skenario. Skenario pertama, total dana Rp 466 triliun dan skenario kedua Rp 323 triliun.

Banyak Aturan dan Prosedur

Kembali ke rencana menjual lahan yang dikuasai negara. Pengamat hukum agraria dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Haris Retno Susmiyati, mengingatkan wacana Presiden ini perlu dikaji hati-hati. Utamanya, menyangkut aspek legalitas lahan milik negara. 

Retno memulai penjelasan dengan mengacu Undang-Undang 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Secara garis besar, beleid ini menjelaskan dua makna tanah atau lahan milik negara. Pertama, tanah yang memang dikuasai negara dan belum dilekati hak atas tanah apapun. Kedua, tanah yang dimiliki instansi pemerintah dengan hak atas tanah tertentu seperti hak pakai selama digunakan atau hak pengelolaan. Kedua jenis lahan itu tidak bisa dijual negara begitu saja. 

Untuk jenis lahan negara yang kedua, juga jelas terpampang di UU Pokok Agraria. Hak pengelolaan seperti hak guna usaha (HGU) dan hak pakai diberikan pemerintah untuk jangka waktu tertentu. "Menurut hukum agraria, lahan negara tidak dapat dijual kepada swasta atau perseorangan atau pihak lain," tegasnya.

Jika kemudian terjadi perjanjian jual beli atas lahan, secara otomatis penjualan itu batal atas alasan hukum. “Konsekuensinya, tidak akan ada yang mau membeli lahan tersebut karena tidak bisa memilikinya," terangnya.

Pemerintah seharusnya mendefinisikan dengan pasti maksud lahan negara yang hendak dijual kepada perorangan. "Karena secara hukum, ketentuan itu (tidak menjual lahan negara) berprinsip dilarang dan tidak boleh dilanggar," jelasnya.

Namun demikian, Retno mengatakan, bukan berarti tidak ada jalan. Namun, penjualan lahan negara harus melewati beragam prosedur. Paling utama adalah pengalihan aset negara. Pemerintah harus meminta izin ke DPR RI, sebagaimana amanat Undang-undang. "Bisa saja dijual tetapi harus ada batasan dan prosedur," ucapnya. Bila dijual secara individu, statusnya hak milik. Yang diperbolehkan membeli hanya warga negara Indonesia. 

Retno juga menegaskan, Jokowi tidak bisa serta-merta mewacanakan tanah negara tanpa mencantumkan status lahan. Seharusnya, status tersebut diperincikan. Bila yang ditawarkan di kawasan hutan, faktor Kalimantan sebagai paru-paru dunia harus dipikirkan. Alih fungsi kawasan hutan menjadi non-kehutanan, agar lahannya bisa dijual, juga perlu dipertimbangkan matang-matang.

“Jangan dianggap menjual tanah dan aset negara seenaknya begitu. Tidak bisa. Ada prosedur dan harus ada kajian. Parlemen pun, tidak bisa asal setuju dan tidak setuju. Harus dengan kajian," tutupnya. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar