Terkini

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kaltim Tertinggi Se-Kalimantan, Mayoritas Pelaku Orang Terdekat

person access_time 4 years ago
Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kaltim Tertinggi Se-Kalimantan, Mayoritas Pelaku Orang Terdekat

Laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim tertinggi se-Kalimantan. (ilustrasi/freepik)

Perlu berbagai pola pendekatan untuk menekan kasus kekerasan perempuan dan anak yang masih ramai di Kaltim.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Rabu, 12 Agustus 2020

kaltimkece.id Kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kaltim merupakan yang tertinggi di Kalimantan. Setidaknya dari pendataan aplikasi Sistem Informasi Pencatatan dan Pelaporan Kasus Kekerasan (Simfoni). Hanya dalam kurun waktu delapan bulan pada 2020, tercatat 262 kasus kekerasan perempuan dan anak di Benua Etam.

Menurut data aplikasi rintisan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tersebut, 112 di antara kasus kekerasan itu adalah kasus kekerasan seksual. Data menunjukkan, dari 173 kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak (0-17 tahun), 60 persen di antaranya usia remaja, 13-17 tahun.

Yang lebih mengenaskan, jumlah kasus maupun jumlah korban tertinggi tidak berasal dari lingkungan asing. Melainkan terjadi di lingkungan rumah tangga.

Hetifah Sjaifudian selaku legislator yang mewakili Kalimantan Timur di DPR RI angkat bicara. Pengamatannya, tren kekerasan seksual terhadap anak di Kaltim tidak pernah kurang dari 100 kasus per tahun. Umumnya terjadi di lingkungan korban. Yakni keluarga.

Sebagai contoh, kasus ayah berulang kali memperkosa anak tirinya sejak 2018 di Kutai Timur. Kejadian ini membuatnya prihatin.

“Hal ini menandakan bahwa diperlukan sosialisasi dan metode perlindungan anak yang lebih efektif di Kalimantan Timur,” ujar Hetifah Sjaifudian melalui keterangan tertulis kepada kaltimkece.id, Rabu, 12 Agustus 2020.

Menyadari kompleksitas yang mendasari tindak kekerasan seksual terhadap anak, Hetifah menekankan upaya pencegahan di unit sosial terdekat. Isu kekerasan seksual memang berakar dari berbagai faktor yang kompleks. Baik itu eksternal seperti ekonomi, media sosial, dan lingkungan; juga faktor internal di keluarga itu sendiri seperti psikologis, biologis, dan moral.

Menangani isu ini dibutuhkan upaya holistic. Baik preventif maupun represif. Beserta sinergi seluruh lapisan masyarakat.  “Akan tetapi, saya percaya bahwa isu ini dapat ditanggulangi secara lebih efektif melalui penekanan terhadap pencegahan yang dilakukan lingkungan terdekat,” ucap Hetifah yang menduduki posisi Wakil Ketua Komisi X DPR RI.

Sri Murlianti, akademikus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman merasa pelaku kekerasan seksual yang kebanyakan orang terdekat korban adalah masuk akal. Rentetan variabelnya dimulai dari kehidupan yang sangat patriarkis. Sistem sosial ini menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi berbagai peran di kehidupan.

Di keluarga, sosok ayah cenderung memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda.

Relasi kuasa ini ditambah pendidikan seks yang masih dianggap tabu. Serta minimnya kehadiran negara yang ia nilai jadi pemicu utama. Akibatnya, sambung dosen Sosiologi ini, kejadian pelecehan dan kekerasan cenderung berulang dan korban tak berani melapor. “Bahkan, kalau melapor pun, sulit mendapat keadilan hukum dan dukungan lingkungan sosial,” katanya.

Makin Banyak Masyarakat Melapor

Hetifah yang juga wakil ketua umum Partai Golkar Bidang Kesra, menambahkan bahwa perlindungan anak merupakan tanggung jawab kemanusiaan seluruh lapisan masyarakat. Ia menekankan lebih baik jangan membatasi tanggung jawab perlindungan anak hanya kepada pihak keluarga dan penegak hukum saja.

Dibutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat bahwa melindungi anak adalah tanggung jawab moral seluruh individu. Sebagai contoh, masyarakat sekitar seperti tetangga maupun guru di sekolah pun harus sadar bahwa mereka wajib melindungi dan melapor apabila melihat tindak kekerasan seksual di sekitar mereka.

Lebih lanjut, Hetifah menyoroti pentingnya empati dan keterikatan masyarakat sebagai solusi bagi tindak kekerasan seksual pada anak. Dia mengapresiasi program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) oleh Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kalimantan Timur yang aktif mengedukasi topik kekerasan seksual kepada masyarakat hingga taraf perkampungan.

Akan tetapi ia menilai, tren jumlah kekerasan seksual terhadap anak yang meningkat dari tahun ke tahun mendorong pentingnya peningkatan aspek program tersebut. Selain pemahaman terkait apa itu kekerasan seksual dan cara menanggulanginya, dia menilai rasa penanaman nilai empati dan keterikatan masyarakat terdekat perlu lebih ditingkatkan.

“Dengan meningkatnya empati dan keterikatan lingkungan terdekat, secara naluriah akan timbul kepedulian untuk saling menjaga,” tambahnya.

Terakhir, Hetifah menambahkan urgensi pengesahan regulasi yang memberikan perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Terlebih saat ini sedang digodok rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). “Bahwa dengan adanya UU PKS yang mencakup pencegahan, penanganan pidana, dan pemulihan korban, sebetulnya dapat menjadi solusi yang komprehensif terhadap kasus ini,” tandasnya.

Kepala DKP3A Kaltim, Helda Arsyad mengakui memang kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Kaltim tertinggi se-Kalimantan. Meski demikian, ia menegaskan, angka itu bukan jadi patokan kegagalan program di dinas yang ia pimpin. Justru ia menganggap banyaknya kasus yang dilaporkan ke berbagai instansi sebagai salah satu indikasi kemajuan edukasi masyarakat salah satunya lewat PATBM. Meskipun, diakuinya, masih banyak potensi kekerasan pada anak dan perempuan yang belum dilaporkan.

“Kekerasan itu banyak ditutup juga, karena dianggap jadi aib,” katanya pada kaltimkece.id.

Meskipun menempati peringkat tertinggi di Kalimantan, Helda mengklaim angka kekerasan selama pandemi Covid-19 di Kaltim trennya menurun terus tiga bulan terkahir. Jauh dibandingkan rata-rata nasional. Data itu, berdasarkan laporan SIMFONI di Kaltim. Mei tercatat ada 22 kasus, Juni 19 kasus, dan Juli 9 kasus. Statistik penurunan ini pun masih jadi pertanyaan DKP3A. Helda punya beberapa analisis terkait ini.

“Mungkin saja orang mengalami kekerasan tak punya akses melapor dan takut. Atau bisa saja, kondisi bekerja di rumah membuat kondisi makin akrab satu sama lain,” katanya. Sejauh ini korban kekerasan sebisa mungkin dapat pendampingan hukum dan psikologis. (*)

 

Editor: Ricardo Lolowang

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar