Terkini

Kegagalan Program 2 Juta Ekor Sapi, Kebutuhan Kaltim per Tahun Hanya Terpenuhi 25 Persen

person access_time 4 years ago
Kegagalan Program 2 Juta Ekor Sapi, Kebutuhan Kaltim per Tahun Hanya Terpenuhi 25 Persen

Populasi sapi di Kaltim masih jauh di bawah kebutuhan. (nalendro priambodo/kaltimkece.id)

Ketika Kaltim memasuki level swasembada jika memiliki 600 ribu ekor sapi.  Dulu yang ditargetkan mencapai 2 juta.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Sabtu, 12 Oktober 2019

kaltimkece.id Berbagai upaya dijalankan agar populasi ternak sapi potong di Kaltim meningkat. Pada 2013, populasi sapi potong di Benua Etam hanya 95,085 ekor. Melihat kondisi itu, Gubernur Kaltim kala itu, Awang Faroek Ishak, mencanangkan program 2 juta ekor sapi.

Sayang, hingga 2018 target itu gagal tercapai. Padahal, banyak upaya dilakukan. Lantas, bagaimana program mengejar pemenuhan daging sapi potong provinsi ini? Apalagi jelang pelaksanaan kepindahan ibu kota negara (IKN).

Sebelum lebih jauh, marilah kita memeriksa program 2 juta ekor sapi. Program terobosan meningkatkan populasi ternak dengan intensifikasi kawin alami ataupun inseminasi buatan. Terbagi dalam beberapa pekerjaan.

Paling anyar, pada 2018, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim menargetkan menjaring 7.050 sapi betina produktif. Dari target itu, 5.262 sapi bunting dengan jumlah kelahiran 4.421 ekor. Pada 2017, realisasi sapi bunting 10.237 ekor. Sebagai pembanding, populasi sapi potong pada periode 2009 sampai 2016 meningkat. Dari 77.272 ekor menjadi 118.712 ekor pada 2016.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim juga bekerja sama dengan pemerintah Northern Territory Australia. Kerja sama sejak 2010 tersebut berupa pengadaan sapi indukan jenis brahman cross (BC) pada 2015 sebanyak 11 ribu ekor.

Pemprov Kaltim juga menjalin mitra dengan University New England, Australia. Kerja sama berupa penelitian dan pendataan perkembangan indukan BC di Penajam Paser Utara dan Paser.

Pekerjaan terintegrasi lainnya, yaitu melibatkan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. Kerja sama dengan perusahaan pertambangan emas hitam diwujudkan dengan memelihara sapi potong di lahan reklamasi. Lahan itu ditanami rumput dan dijadikan peternakan sapi. Melibatkan warga sekitar. Beberapa perusahaan di Kutai Timur, Berau, Kukar sudah menggalakkan upaya tersebut.

Langkah integrasi selanjutnya antara peternak sapi dan perkebunan kelapa sawit. Program integrasi sapi-sawit ini berbentuk 1 hektare lahan kebun sawit diisi tiga ekor sapi. Kaltim, kala itu, memiliki lahan perkebunan sawit seluas 1,2 juta hektare. Maka, secara konsep program 2 juta ekor sapi mampu terwujud. Menurut target, program sawit dan sapi menghasilkan 267.188 ekor sapi per tahun. Program itupun diklaim saling menguntungkan. Kotoran dan urine sapi menjadi pupuk. Sementara, limbah kelapa sawit seperti pelepah dijadikan pakan. Tak hanya itu, pemprov mencanangkan lahan peternakan seluas 732,5 hektare (Dokumen Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim, dikutip dari buku Derap Langkah Pembangunan Kaltim 2008-2018 halaman 161).

Sayang, program 2 juta ekor sapi potong jauh dari ekspektasi. Tercatat pada 2017, populasi sapi potong di Kaltim hanya 316.947 ekor.

Pelaksana Tugas Sekretaris Provinsi Kaltim, M Sabani, mengakui kegagalan itu. Sabani yang mewakili gubernur Kaltim menutup acara puncak Bulan Bhakti peternakan Kesehatan Hewani 2019 di halaman parkir Stadion Sempaja, Samarinda, Sabtu, 12 Oktober 2019 punya pendapat.

Dalam pandangannya, kegagalan tersebut lebih banyak disebabkan kelalaian perusahaan. Rincian dia sederhana. Jika ada 1,2 juta hektare lahan perkebunan sawit di Kaltim dan semua mengintegrasikan 3 ekor sapi per hektare, maka akan ada 3,6 juta ekor sapi di Kaltim. Itu belum ditambah 800-an perusahaan tambang batu bara di Kaltim. “Jadi, waktu minta izin itu diprasyaratkan berpartisipasi dalam pengembangan peternakan. Tapi dari laporan yang kami terima, mereka sedikit abai dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani di awal,” ungkap Sabani.

Belum terpenuhinya target, terlebih swasembada daging sapi potong, diakui Kepala bidang Pembibitan Budidaya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim, IG Made Jaya Adhi. Saat ini, ia menyebut populasi sapi di Kaltim hanya 125 ribu ekor. Didominasi sapi betina indukan yang tak boleh dipotong. Sementara, kebutuhan tahunan sapi potong per tahunnya mencapai 60 ribu ekor. Itu dengan berat rata-rata 400 kilogram per ekor.

“Dari 60 ribu itu, baru 25 persen saja, sekitar 15-25 ribu ekor sapi potong yang ada di Kaltim. Sisanya didatangkan dari luar,” katanya, sehari sebelumnya. Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Pulau Jawa, merupakan daerah pemasok sapi-sapi di Kaltim. Termasuk 10 persen daging sapi impor dari Australia. “Padahal, di Nusa Tenggara Timur, daerahnya kering, Tapi, sapinya banyak banget,” kata dia sambil geleng-geleng kepala.

Sebenarnya, Dinas Perkebunan Kaltim sudah menawarkan 320 ribu hektare lahan perkebunan sawit yang bisa diintegrasikan ke peternakan sapi. Sayangnya, setelah survei ke berbagai perkebunan, Made dan rekan-rekannya belum menemukan perkebunan sawit yang mau bekerja sama. Kendala ada di kecocokan harga. “Investor mampu Rp 3 juta saja per hektare,” katanya.

Padahal, ia menilai, konsep integrasi sawit-sapi cukup menjanjikan. Pelepah dan limbah sawit lainnya bisa dijadikan pakan. Kotoran dan urine sapi bisa jadi pupuk bernilai ekonomi tinggi. Perusahaan dan peternak bisa mengatur skema bagi keuntungan.

Walaupun dinilai gagal, tampaknya peta jalan budidaya sapi potong Kaltim masih mengacu program warisan 2 juta ekor sapi. Hanya saja, Made menambahkan, lima tahun ke depan, mereka bakal menggalakkan program seribu mini ranch. Atau peternakan kecil seluas 5-20 hektare. Bekerja sama dengan peternak rakyat ataupun perusahaan batu bara. Lahan peternakan itu adalah bekas areal tambang batu bara yang ditanami rumput pakan ternak. Sapi di peternakan kecil sengaja dilepas dan mencari makan sendiri. Ini bisa mengurangi biaya penjaga dan pakan.

“Tahun ini kita ada lima mini ranch dilaksanakan perusahaan tambang batu bara. Tersebar di Tenggarong Seberang, Jonggon, dan Kubar,” urainya.

Diakuinya, peternakan sapi di Kaltim masih semitradisional. Banyak peternakan rakyat memandang sapi sebagai tabungan. Belum sebagai budidaya potensial. Contohnya, sapi baru dijual ketika si pemilik butuh uang untuk hajatan atau sekolah anak. Ini yang membuat pengembangbiakan sapi terhambat. “Masih banyak yang jadi usaha sampingan,” katanya.

Kekurangan pasokan sapi, lanjut Made, harus dilihat sebagai peluang. Terutama bagi peternak lokal. Terlebih, dengan dipilihnya Kaltim sebagai ibu kota negara. Potensi permintaan daging sapi potong bakal semakin meningkat.

Penduduk Kaltim yang kini 3,5 juta, diproyeksi berkembang. Ditandai dengan 1,5 juta jiwa yang eksodus ke Kaltim dalam pemindahan IKN.

Pasar menggiurkan bagi penyediaan protein hewani. Banyak lapangan usaha dari bisnis peternakan sapi. Mulai penyediaan indukan, pakan, penggemukan, sampai penjualan.

“Jadi, kita mesti punya indukan sapi produktif 600 ribu ekor untuk swasembada. Kita masih 125 ribu ekor. Kalau punya 600 ribu ekor, kita bisa swasembada,” imbuhnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar