Terkini

Ketika Renovasi Masjid di Karang Mumus oleh Pemkot Justru Dianggap Mengangkangi Aturan

person access_time 4 years ago
Ketika Renovasi Masjid di Karang Mumus oleh Pemkot Justru Dianggap Mengangkangi Aturan

Masjid Al-Wahhab di Jalan Jelawat (wahyu musyifa/kaltimkece.id)

Ketika merenovasi dua rumah ibadah di badan sungai, Pemkot Samarinda mengabaikan surat teguran Balai Wilayah Sungai Kalimantan III. Dianggap kontraproduktif dengan program penanganan banjir Samarinda.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Jum'at, 10 Januari 2020

kaltimkece.id Kumandang azan membahana di langit Samarinda yang terik ketika beberapa pekerja bangunan menghentikan sejenak pekerjaan mereka. Tepat di bibir turap beton Sungai Karang Mumus di Jalan Muso Salim, Kelurahan Sungai Dama, Samarinda Ilir, para tukang kembali menggeluti kesibukan selepas waktu zuhur. Mereka tengah merenovasi Langgar Al-Fallah di Jalan Muso Salim yang sudah masuk pekerjaan akhir.  

Kamis, 9 November 2019, Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang mendatangi langgar dan salat zuhur di situ. Tumpukan bahan bahan bangunan masih nampak di pekarangan langgar. Sebelumnya, Jaang juga mendatangi Masjid Al-Wahhab di Jalan Jelawat yang sama-sama direnovasi dan berdiri di tepi sungai.

Sumber dana perbaikan kedua rumah ibadah ini memang dari APBD Samarinda. Untuk Masjid Al-Wahhab, pemkot menggelontorkan Rp 3,5 miliar dengan CV Berlian sebagai kontraktor pelaksana. Sementara pekerjaan di Langgar Al-Fallah ditangani CV Rotan Jaya Utama dengan biaya Rp 2,2 miliar.

Perbaikan rumah ibadah semestinya adalah hal yang biasa-biasa saja. Kecuali ketika rumah ibadah berdiri di tempat yang dilarang. Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, kedua rumah ibadah ini tidak mengikuti pasal 3, pasal 4, dan pasal 5.

Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, Kementerian PUPR, Anang Muchlis, mengatakan telah mengetahui hal tersebut. Anang segera menyayangkan kebijakan Pemkot Samarinda yang bukan hanya membiarkan, tetapi malah merenovasi masjid dan langgar. 

"Kalau dilihat dari aturan, kedua bangunan jelas melanggar. Fondasi bangunan keduanya masuk ke palung sungai sehingga menghambat aliran sungai," terangnya kepada kaltimkece.id. Ia menambahkan, jarak dari bibir tanggul sudah diatur dalam Peraturan Menteri PUPR tadi. 

Balai Wilayah Sungai Kalimantan III sebagai penanggungjawab Sungai Mahakam dan anak-anaknya --termasuk Karang Mumus--, sebenarnya telah menyurati Pemkot Samarinda. Namun, teguran tersebut diabaikan. Belakangan, pendirian bangunan di atas sungai belum dilengkapi izin.

"Intinya harus ada izin. Mekanismenya bisa  dibahas. Faktanya, (renovasi) bangunan sudah mau selesai tapi belum ada izin. Saya belum mengetahui surat izin tersebut. Lagi pula, izinnya 'kan di tempat saya," tegasnya.

Tak Dukung Program Penanganan Banjir

Jika diperdalam lagi, kebijakan pemkot merenovasi rumah ibadah di atas sungai seolah kontraproduktif dengan penanganan banjir Samarinda. Selepas banjir besar pada Juni 2019 lalu, pemerintah pusat telah menetapkan Sungai Karang Mumus sebagai proyek strategis nasional. Sejumlah program normalisasi sungai telah disusun. Pekerjaan normalisasi sungai dimulai tahun ini.

Sesuai kesepakatan Kementerian PUPR dan Pemprov Kaltim, disiapkan Rp 10,5 triliun. Angka tersebut bahkan melebihi kebutuhan untuk proyek yang hanya Rp 6 triliun. Normalisasi Sungai Karang Mumus dianggap pemerintah pusat dan provinsi sebagai skala prioritas. Sungai di tengah kota ini yang meresap air paling banyak.

"Kami ini tetap kembali kepada aturan. Kami melihatnya dari situ saja. Aturan itu 'kan harus dijalankan bersama karena ada kepentingan bersama. Kalau di sekitar sungai itu banjir, masyarakat banyak yang merasakan (kesusahannya)," jelas Anang dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan III.

Sebut Rumah Ibadah Bersejarah

Dalam kunjungannya ke kedua rumah ibadah, Wali Kota Syaharie Jaang membeberkan alasan membiarkan bangunan tetap di atas badan sungai. Jaang bahkan mengaku, dirinya yang meminta kedua bangunan direnovasi. Menurutnya, kedua rumah ibadah ini memiliki nilai historis yang panjang. 

Langgar Al Fallah di Jalan Muso Salim, kata Wali Kota, telah berdiri sebelum masa kemerdekaan, tepatnya pada 1930. Di samping itu, bila kedua bangunan dibongkar dan dipindahkan, warga kesulitan mencari lahan. Kedua sisi sungai merupakan permukiman padat penduduk.

"Tidak ada lokasi di darat jika dipindahkan," jelas Jaang, kemudian berkata, "itu yang menjadi pertimbangan saya. Kami bangun (renovasi), bukan membangun baru."

Wali Kota juga menjelaskan penggunaan APBD untuk merenovasi. Kedua rumah ibadah sebelumnya nampak tak beraturan dan sangat rawan. Kebijakan merenovasi bangunan menjadi upaya pemkot dalam mempercantik estetika kota.

Mengenai kebijakan pemkot yang dipandang kontraproduktif dengan kebijakan pusat dan provinsi dalam menangani banjir, Jaang tak mempermasalahkan. "Kecuali membangun baru. Saya merasa tidak membangun baru. Dari segi fisiknya baru, tetapi bangunan sebelumnya memang ada," jelasnya.

Meski demikian, Jaang mengaku, pekerjaan renovasi kedua rumah ibadah memang tanpa pemberitahuan kepada Dinas PUP2R Kaltim, Dinas Lingkungan Hidup, hingga Balai Wilayah Sungai. Bukan tidak tahu aturan, Jaang mengatakan, dirinya sadar kebijakan tersebut bakal memunculkan protes. Senyampang itu, Wali Kota memberi kepastian bahwa hanya dua rumah ibadah ini yang berdiri di Sungai Karang Mumus. 

"Tidak ada lagi langgar dan masjid di atas sungai. Hanya dua itu." (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar