Terkini

Kisah Atlet-Atlet Kaltim di Palu: Tersapu Tsunami, Kelaparan, dan Waswas Dijarah

person access_time 6 years ago
Kisah Atlet-Atlet Kaltim di Palu: Tersapu Tsunami, Kelaparan, dan Waswas Dijarah

Foto: Dokumen pribadi

Tiga klub airsoft gun dari Kaltim terjebak di Palu ketika gempa dan tsunami tiba. Melewati hari-hari kelam yang mencekam.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Kamis, 04 Oktober 2018

kaltimkece.id Jarum waktu menunjukkan pukul 17.45 Wita ketika Aji Andri Fabiani memasang mode kamera di Samsung Note FE miliknya. Setelah beberapa kali jepret, lelaki berusia 38 tahun dari Samarinda itu akhirnya mendapatkan foto terbaik dari panorama Pantai Kampung Nelayan, Palu, Sulawesi Tengah. Andre –sapaannya-- segera melempar foto ke Instagram setelah diedit sedikit-sedikit. Ia tak tahu bahwa foto itu adalah rekaman terakhirnya sebelum gempa dahsyat menghantam kota.

Jumat, 28 September 2018, Andre bersama beberapa kawannya masih bercengkerama di tepi pantai. Mereka membeli kudapan sebagai teman bersantai. Seharian tadi, Andre dan kolega mengikuti technical meeting di Hotel Wina Beach, Palu. Mereka adalah atlet airsoft gun yang mewakili Kaltim dalam kompetisi airsoft gun Maleo III, rangkaian dari Festival Pesona Palu Nomoni. 

Perbincangan hampir berakhir ketika sayup-sayup azan magrib berkumandang tepat pukul 17.57 Wita. Andre yang baru menghabiskan kudapan di atas piring plastik hendak beranjak dari pantai. Tiba-tiba, bumi bergoyang. Gempa berkekuatan 7,4 skala Richter menerjang Palu dan sekitarnya. 

“Yang kami lihat kemudian, sungguh sangat mengerikan,” tutur Andre bergidik, ketika ditemui kaltimkece.id di Samarinda, Rabu, 3 Oktober 2018. Pria bertubuh gempal itu menyaksikan aspal jalanan seperti karpet yang dikibas. Tanah bergerak-gerak. Andre seperti merasa di atas perahu yang terombang-ambing gelombang. Bermenit-menit lamanya dia disergap kepanikan. 

Gempa akhirnya reda. Tapi itulah awal musibah berikutnya. Andre segera memandang ke pantai. Air laut rupanya surut dengan cara yang tidak biasa. Andre pernah mendengar tanda-tanda seperti itu setelah gempa. Instingnya bekerja dengan cepat untuk menyimpulkan satu kata; Tsunami!

Tanpa banyak membuang waktu, Andre mengajak orang-orang di sekitarnya lari ke bukit. Dataran tinggi itu berjarak 1 kilometer dari tepi pantai. Andre dan kawan-kawan tak mau ambil risiko. Mereka lari sekencang-kencangnya dan sesekali menoleh ke belakang. Tak sampai satu menit, gulungan ombak setinggi lebih dari 2 meter telah menguntit mereka. Gelombang tsunami melibas apapun yang dilewati. Termasuk tempat Andre dan kawan-kawan bercengkerama tadi. 

Tersapu Tsunami

Tak jauh dari Andre, teman seklub airsoft gun-nya yang juga dari Samarinda masih di dalam hotel. Namanya Ahmad Rendi Saputra. Lelaki yang tengah menanti kelahiran anak ketiganya itu sedang mencabut nomor undian. Rendi ditunjuk klub Detasemen Samarinda Airsoft (DSA) mengikuti technical meeting sampai tuntas. 

“Ketika gempa, semua peserta keluar dari kafe Hotel, tempat technical meeting,” terang Rendi menambahkan kisah Andre. Dia sempat berlari namun teringat tas selempang kecil bermerek Helikon miliknya di atas meja kafe. Rendi hendak menggapai tas abu-abu itu namun gemuruh air menerjang daratan sudah terdengar jelas. Dia kebingungan menyelamatkan diri. Sebagian besar bangunan Hotel Wina Beach sudah ambruk. Mata Rendi tertuju ke sebuah tiang kayu. Lelaki berjanggut itu segera memeluk tiang bersisi tajam itu sekuat-kuatnya. 

Tsunami pun menyapu ratusan orang di tepi pantai Palu. Demikian tubuh kecil Rendi, terempas besarnya gelombang. Rendi hanya bisa memeluk tiang erat-erat. Kaki kanannya bertumpu di kaca jendela hotel yang setengah pecah. Sayup-sayup, ia mendengar jerit perempuan meminta tolong. Perempuan itu mengenakan jilbab hitam, kemeja putih, dan celana kain hitam. Dari pakaiannya, Rendi tahu bahwa dia adalah karyawan hotel.

“Bertahan saja di pohon itu,” pekik Rendi kepada perempuan di dekatnya tadi. Sepuluh detik berikutnya, detik-detik terlama dalam hidup Rendi, air menyapu segalanya. Tembok, balok kayu, hingga sebuah mobil putih, terseret di sebelah Rendi. Aliran listrik masih menyala ketika air setinggi 2 meter menggenangi hotel.

Gelombang tsunami pertama itu akhirnya berakhir. Beberapa atlet airsoft gun asal Bandung mengajak Rendi naik ke lantai dua hotel. Rendi menolak dan memilih menjebol pintu belakang. Begitu dia keluar, hamparan bukit di belakang hotel sudah penuh dengan kawan-kawannya yang mengungsi. Rendi segera naik ke bukit seiring kedatangan gelombang kedua yang lebih besar dan mematikan. 

“Alhamdulillah, kami semua selamat. Hanya beberapa kawan dari klub SS1 yang cedera tertimpa bangunan,” kenang Rendi.

Penyintas dalam Kekacauan

Malam mulai menyergap tetapi bumi Palu terus berguncang. Di antara gempa susulan yang mulai menyusut, kontingen airsoft gun Kaltim turun dari bukit. Andre dan Rendi segera merasakan situasi kota yang begitu mencekam. Listrik sudah padam dan teriakan minta tolong terus tersiar di antara kegelapan. Banyak sekali orang yang terjebak di dalam gedung. Andre dan Rendi terus berjalan sejauh 10 kilometer menuju Guest House Asni, tempat mereka menginap. 

Setelah menyusuri jalan selama empat jam, mereka tiba. Penginapan tidak rusak berat, hanya beberapa genteng yang jatuh. Tiga klub airsoft gun dari Kaltim yakni DSA, SS1, dan Red Zone, akhirnya menanti pagi di sana. Semua menunggu di halaman parkir untuk menghindari gempa susulan. 

Bola mata Andre, Rendi, dan kawan-kawan, tidak bisa terpejam. Perut mereka lapar tak karuan. Hanya beberapa kaleng biskuit dari Festival Maleo III yang sempat mereka bawa. Kerongkongan mereka kering sekali. Tidak ada air bersih. Di tengah kantuk, haus, dan lapar, Andre dan Rendi harus menjaga barang-barang mereka. Di sekitar penginapan, penjarahan mulai menjadi-jadi. Minimarket di seberang jalan telah habis dijarah. Mereka mendengar beberapa kali teriakan, “Air naik!” Penduduk setempat yang panik segera meninggalkan rumah. Beberapa saat kemudian, sekelompok orang menjarah bangunan kosong yang tak berpenghuni itu. 

Tertahan di Bandara

Pagi yang dinanti pada Sabtu, 29 September 2018, akhirnya tiba. Kontingen airsoft gun Kaltim memutuskan mencari cara apapun agar bisa pulang. Mereka menunggu informasi di kantor Wali Kota Palu. Kontingen menerima kabar mengenai evakuasi jalur udara. TNI mengirim pesawat. Di tengah kemalangan yang bertubi-tubi, Andre dan Rendi menemukan sebuah keberuntungan. Jarak penginapan dengan Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie hanya 2 kilometer. Mereka bergegas menuju lapangan terbang. 

Matahari pada Ahad, 30 September 2018, menyingsing dengan sinar yang gemilang. Unit airsoft gun kontingen Kaltim telah tiba di bandara. Tapi keadaan di sana kacau balau. Sesak dengan manusia yang ingin masuk ke lapangan terbang. Rombongan atlet airsoft gun diminta TNI membantu barikade pintu masuk bandara. Mereka ikut menyortir orang yang ingin masuk. Anak kecil dan perempuan harus didahulukan.

“Saat itu, gempa susulan masih terus datang. Suasana semakin kacau,” ucap Rendi melanjutkan ceritanya. 

Setelah membantu TNI, nama para atlet didaftarkan di dalam manifestasi pesawat evakuasi. Rendi dan kawan-kawan akhirnya bernapas lega. Menurut jadwal, akan ada beberapa penerbangan pesawat Hercules. Namun, kelegaan itu hanya sementara. Kekacauan belum berakhir di bandara. Warga yang berebut naik pesawat semakin banyak. Pukul 14.00 Wita, sebuah pesawat mendarat. Baling-baling burung besi pabrikan Lockheed Martin Corporation itu belum berhenti ketika pengungsi berebut untuk naik pesawat angkut TNI AU itu. Kontingen Kaltim lagi-lagi tertahan di bandara.

Baca juga:
 

Andre dan Rendi hanya memiliki secercah harapan. Penerbangan Hercules terakhir pada sore hari. Seorang anggota TNI berkata kepada mereka bahwa tersedia kursi buat 14 orang. Kontingen pun berembuk. Mereka memutuskan tim SS1 yang naik ke pesawat karena beberapa anggota cedera. 

“Kami meneteskan air mata begitu pesawat itu lepas landas. Sungguh, kami tak tahu kapan pesawat selanjutnya akan datang,” kenang Andre. Mereka yang tertinggal akhirnya menunggu dua hari lagi di bandara. Di tengah-tengah kekacauan kota. Pada Selasa, 2 Oktober 2018, tim baru bisa keluar dari Palu dengan pesawat Hercules yang lain. Andre dan Rendi akhirnya mendapat giliran terbang. Keduanya pergi dari tanah Palu dengan membawa sederet kisah pilu. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar