Terkini

Kondisi Samarinda Penuh Problematika, Akademikus Didorong Ikut Andil di Pilkada

person access_time 4 years ago
Kondisi Samarinda Penuh Problematika, Akademikus Didorong Ikut Andil di Pilkada

Para akademikus didorong ambil bagian dalam pilkada Samarinda tahun depan. (ilustrasi: freepik)

Kaum cerdik pandai didorong maju dalam pentas politik. Bertarung menjadi pemimpin kota yang perlu perbaikan besar.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Jum'at, 18 Oktober 2019

kaltimkece.id Banyak tantangan dihadapi Samarinda. Usianya sudah 350 tahun. Tapi masih sangat sulit mewujudkan semboyannya. Teduh, rapi, indah dan nyaman. Kurun waktu 59 tahun, sudah 10 pasangan wali kota/wakil wali kota memimpin. Tahun depan, sepasang pemimpin kembali dipilih. Tak sedikit figur bermunculan. Dari muka lama sampai pendatang baru.

Figur-figur mengemuka dengan latar belakang beragam. Ada yang politikus tulen, ada pula pengusaha. Namun, bagaimana dengan kalangan akademikus?

Selama 59 tahun Samarinda dipimpin wali kota/wakil wali kota, belum sekalipun merasakan tangan dingin akademikus. Padahal, kalangan terpelajar ini disebut-sebut memiliki kelebihan. Termasuk dalam mengatasi problem pembangunan. Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan bisa jadi contoh.

Nurdin Abdullah, guru besar ilmu pertanian Universitas Hassanuddin Makassar, adalah Bupati Bantaeng 2008-2018. Kabupaten itu sekitar 150 kilometer dari Makassar. Kondisinya dulu memilukan. Masuk jajaran 199 daerah tertinggal di Indonesia.

Nurdin Abdullah yang menempuh S1 hingga doktoral pertanian di Universitas Kyushu, Jepang, mulai memetakan masalah. Membuat konsep dan menyusun rencana penyelesaian. Mula-mula yang ia bedah adalah APBD.

Didapatinya 70 persen kas daerah habis untuk belanja pegawai. Sisanya belanja modal. Berjalannya tahun, rasio belanja modal ditingkatkan. Sumber daya manusia dan alam kemudian dipetakan.

Langkah berikutnya adalah mengembalikan kepercayaan publik. Orientasi birokrasi dalam pelayanan rakyat diperkuat. Dimulai dengan pelatihan tata pemerintahan melibatkan akademikus tempat ia mengajar. Polisi dan kejaksaan diajak menelaah dokumen APBD setiap disahkan.

Pada 2018, APBD Bantaeng naik tiga kali lipat. Pendapatan asli daerah naik empat kali lipat. Jumlah penduduk miskin turun dari 12 persen ke 5 persen. Kini, Nurdin Abdullah adalah gubernur Sulawesi Selatan. Gubernur dari kalangan akademikus lainnya setelah Ridwan Kamil yang memimpin Jawa Barat.

Memang, lain Bantaeng, lain Samarinda. Namun pengalaman di atas bisa jadi contoh. Bahwa “tangan dingin” seorang akademikus di posisi kepala daerah, dapat berbuah manis dalam pembangunan. Tiga akademikus Samarinda inipun sekata akan potensi ilmuwan sebagai kepala daerah.

Menurut Rektor Universitas 17 Agustus, Marjoni Rachman, akademikus sudah dilatih soal pemetaan masalah sampai perumusan. Dengan konsep penyelesaian terukur dan objektif. Inilah yang jadi kelebihan. Keunggulan dari kaum cerdik pandai.

Secara teori, tata kelola pemerintahan sudah matang. Kesehariannya bersinggungan dengan teori dan praktik. Modal lain adalah tempaan tiga etika fungsi akademikus dalam masyarakat. Sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat.

Pilkada 2020 di Samarinda bisa jadi momentum. Saat tepat bagi akademikus turun gunung. Berlaga dan bertarung mewujudkan konsep pembangunan Samarinda. “Akademikus punya konsepsi pembangunan yang lebih komprehensif ketimbang politikus,” ujar Marjoni kepada kaltimkece.id, Selasa, 15 Oktober 2019.

Keikutsertaan figur berlatarbelakang akademikus, diharapkan membawa warna baru. Apalagi, Samarinda digadang-gadang menjadi penyangga ibu kota negara (IKN) di Kaltim. Setidaknya, kata Marjoni, Samarinda yang bakal jadi kota metropolitan, harus membangun fondasi kokoh. Jangan sampai salah pilih pemimpin. Apalagi yang tak memiliki konsep pembangunan jelas.

Komponen ini sudah begitu krusial. Dalam pembangunan, sudah berpuluh tahun Samarinda tak kunjung bebas banjir. Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Daddi Ruhiyat, menilai persoalan itu bukan semata perbaikan infrastruktur. Perlu seorang pemimpin yang mampu mendorong perubahan sosial dan lingkungan. Dimulai dari hulu ke hilir. Misalnya memperbaiki daerah tangkapan air yang beralih fungsi dengan penghijauan.

Pria yang juga ketua Dewan Daerah Perubahan Iklim Kaltim tersebut, mengingatkan juga pentingnya ketegasan pemerintah daerah. Terutama dalam menertibkan bangunan yang berdiri di sempadan Sungai Karang Mumus. Maka, perlu konsep penataan permukiman kumuh. Juga komunikasi antara pemerintah kota, provinsi, dan pusat yang komprehensif.

Kebijakan pro-lingkungan yang dibawa dari figur akademikus, harus didorong komitmen politik yang kuat. “Intinya, perlu konsep dan kebijakan komprehensif. Jangan separuh-paruh,” katanya.

Sependapat, pengamat politik Sarosa Hamungpranoto, menilai sudah saatnya akademikus ikut bertarung di Pilwali Samarinda 2020. Namun, bukan semata teoritikus, melainkan ilmuwan yang juga paham dan berpengalaman. Terutama dalam seluk-beluk birokrasi pemerintahan.

Meski demikian, ia tak menampik logika umum yang terpatri dalam benak pemilih. Yakni popularitas figur dan uang. Akademikus kerap terganjal tipisnya pendanaan menggerakkan mesin politik. Karena itu, ia berharap bakal calon dari latar belakang akademikus, dapat berpasangan dengan figur politisi. Selain lebih mudah menggerakkan mesin politik, kolaborasi tersebut makin menguatkan di pemerintahan.

“Perpaduan akademikus dan politikus bagus. Bukan hanya kuat di birokrasi, tapi juga perencanaan pembangunan. Samarinda perlu sentuhan perpaduan akademikus dan politisi,” imbuhnya.

Samarinda memiliki beberapa perguruan tinggi dan gudangnya akademikus. Tak kurang 50 guru besar plus ratusan doktor berdomisili di Kota Tepian.

Figur akademikus juga langganan dikaitkan setiap pilkada. Dulu, Masjaya yang kini rektor Universitas Mulawarman, sempat mencuat dalam pilwali Samarinda. Namun tak sampai ditetapkan sebagai calon.

Di ajang pemilihan gubernur, Rusmadi yang doktor dari Fakultas Pertanian Unmul, turut serta sebagai salah satu kandidat. Namun masih harus menerima kekalahan dari pesaingnya, Isran Noor. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar