Terkini

Mengapa Menagih Utang di Medsos Bisa Berujung Pidana?

person access_time 5 years ago
Mengapa Menagih Utang di Medsos Bisa Berujung Pidana?

Keberadaan UU ITE membuat siapapun harus bijak menggunakan media sosial. (ilustrasi: mohammad heldy/kaltimkece.id)

Media sosial kini bukan hanya tempat silaturahmi. Keberadaannya kerap jadi lapak berbisnis. Tapi mirisnya, tak jarang jadi sarana persekusi.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Kamis, 22 Agustus 2019

kaltimkece.id Warganet, hati-hati dan bijaksanalah menggunakan media sosial. Tergelincir sedikit saja, urusan pribadi yang berujung ke ranah publik malah membuka gerbang penjara untuk pengunggahnya.

Belakangan media sosial memang bukan hanya sarana bersosialisasi. Tak sedikit menjadikannya tempat mencurahkan isi hati. Termasuk mengumbar permasalahan pribadi dengan seseorang.

Ragam sengketa, mulai utang-piutang hingga kasus penipuan, kerap dijumpai. Dengan kesadaran diunggah ke dinding Facebook maupun grup publik di media sosial tersebut. Tak sedikit pula mengunggah identitas dan foto sosok yang dipermasalahkan.

Saking seringnya dijumpai, persepsi masyarakat mulai menempatkan ulah tersebut sebagai hal biasa. Padahal, pola begini malah rentan bermasalah hukum.

Diungkapkan pengamat hukum Herdiansyah Hamzah, pengguna media sosial yang mengunggah identitas seseorang ketika terlibat permasalahan, tapi tak didasari fakta serta dibumbui hal negatif, termasuk perusakan nama baik. Apabila objek dalam post tersebut tak berkenan, pengunggahnya dapat dilaporkan ke kepolisian. Terancam jeratan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal tersebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik Dokumen Elektronik, dengan memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik. Hukuman minimal lima tahun penjara dikenakan kepada pelanggarnya.

"Identitas yang di-posting itu ‘kan pasti punya tujuan. Jadi, dilihat lagi intensi atau niatnya apa. Umumnya, bila untuk mengancam seseorang, ini yang bisa dikenakan UU ITE tadi," kata Castro, sapaannya.

Membagikan identitas seseorang ketika terlibat permasalahan, termasuk kategori persekusi online. Pola ini juga biasa disebut doxing. Dampak buruk bagi sosok yang dimunculkan, adalah hujatan dari warganet lainnya yang terpancing oleh cerita si pengunggah. Secara hukum, persekusi online ini pula bisa dijerat UU ITE.

Ketentuan itu dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 27 ayat (4) UU 19/2016 tentang perubahan UU 11/2008 tentang ITE. Disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman, terancam hukuman maksimal enam tahun penjara.

Secara umum, persekusi dilakukan oleh oknum yang menganggap diri mayoritas. Punya kuasa dan memiliki kontrol atas modal. "Maka, cara bijak menghadapi persekusi macam ini adalah membawanya ke jalur hukum. Bukan dengan main hakim sendiri melalui persekusi balasan. Malah akan memperpanjang masalah dan memperluas kegaduhan. Terlebih jika tingkat literasi publik yang rendah, hanya akan memicu kebencian, penghinaan, dan pencemaran nama baik," urai Castro.

Bukan Langkah Efektif

Menurut psikolog Ayunda Ramadhani, post bermasalah yang sering terjadi di media sosial kebanyakan perihal utang-piutang. Demikian juga kasus penipuan. Bagi penggunanya, media sosial menjadi alternatif menyampaikan keluhan. Termasuk ketika menghadapi permasalahan dengan seseorang.

"Contohnya, orang yang menagih utang sudah kehabisan akal bagaimana cara menagih, kemudian menggunakan media sosial. Cara ini mungkin dipikir efektif karena orang malu kalau diumumkan utangnya," tutur psikolog yang akrab disapa Yunda tersebut.

Namun demikian, menurut Yunda, hal itu dirasa kurang efektif. Terlebih ketika orang yang dimaksud malah jarang aktif di media sosial. Belum lagi jika si pengutang belum punya cukup uang melunasi pinjaman.

Sedangkan bagi pengunggah, langkah tersebut berujung perasaan lega. Dipicu emosi dan aura negatif karena utang tak kunjung dibayar. Dalam ilmu psikologi, pola begini biasanya dijalankan seseorang dengan sifat agresif. Membagikan cerita ke media sosial, turut dilakukan untuk mendapat perhatian banyak orang. Salah satu tujuannya adalah mendapat bala bantuan dalam menyelesaikan persoalan.

"Pola begini bukan cara efektif. Justru bisa membuat si pengutang makin mangkir. Lalu mencari alasan atau pembenaran. Tidak mau membayar karena dipermalukan di media sosial," tambah Yunda.

Menurutnya, permasalahan begini lebih baik diselesaikan empat mata. Jika terus dipersulit, mintalah bantuan pihak berwenang atau kepolisian. Masalah utang adalah urusan pribadi yang seharusnya tidak terumbar ke publik.

Dalami UU ITE

Diungkapkan Kasat Reskrim Polresta Samarinda, AKP Damus Asa, menghadapi sengketa dengan mengumbar di media sosial bukanlah masalah selama didasari kebenaran dan tanpa dibumbui kebohongan. Kebebasan berpendapat dan menyampaikan hak bersuara dalam media sosial, sudah diatur UU ITE.

"Harus lihat perkara dan letak permasalahannya. Misalkan kena tipu di toko online ketika membeli barang. Tidak masalah selama tidak men-judge atau mengada-ada, mengajak orang lain membenci hal yang tidak benar terjadi," ungkapnya.

Meski begitu, Damus menyadari konflik di media sosial memiliki risiko besar. Warganet diharapkan berhati-hati. Sebelum mengunggah, penting untuk memikirkan dampak yang dapat ditimbulkan. Penting pula memahami UU ITE untuk bermedia sosial dengan aman. “Belum tentu semuanya benar. Pandai-pandailah menggunakan jari," tambahnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar