Terkini

Mengikuti Unjuk Rasa Mahasiswa di DPRD Kaltim, Terbesar setelah Demonstrasi 1998

person access_time 5 years ago
Mengikuti Unjuk Rasa Mahasiswa di DPRD Kaltim, Terbesar setelah Demonstrasi 1998

Mahasiswa memaksa masuk ke Sekretariat DPRD Kaltim. (Arditya Abdul Azis/kaltimkece.id)

Penolakan besar sejumlah kebijakan negara berlangsung di Samarinda. Mengingatkan memori unjuk rasa pada 1998.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Senin, 23 September 2019

kaltimkece.id Demonstrasi besar terjadi di Samarinda. Melibatkan gabungan mahasiswa dan akademikus dari sejumlah perguruan tinggi Kaltim. Aksi berlangsung depan Kantor DPRD Kaltim, Senin, 23 September 2019. Diperkirakan, 3.000 pengunjuk rasa terlibat.

Gabungan akademikus dan mahasiswa tersebut bernama Aliansi Kaltim Bersatu. Dalam orasinya, massa menolak Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang telah direvisi. Juga Rancangan UU KUHP. Aksi berlangsung selama tujuh jam. Diwarnai bentrok dengan kepolisian.

Semula unjuk rasa dijadwalkan pukul 09.00 Wita. Sebanyak 700 personel dari jajaran Polresta Samarinda sudah berjaga. Terlihat di sekitar gedung parlemen Karang Paci. Berjaga mulai pukul 08.00 wita. Hingga pukul 10.30 Wita, ratusan mahasiswa dari Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara telah berkumpul di Islamic Center, Jalan Slamet Riyadi. Dari titik itulah massa berjalan ke DPRD Kaltim. Tiba pukul 11.00 Wita dan langsung berorasi.

Massa menunaikan salat zuhur setelah satu jam berorasi. Dilangsungkan berjamaah di pinggir jalan. Tepatnya depan gerbang masuk DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar. Sekitar pukul 13.00 Wita, orasi dilanjutkan. Poster-poster berisi penolakan pengesahan RUU KPK kembali dibentangkan.

Tiga hal tertuang dalam tuntutan. Presiden Joko Widodo diminta secepatnya mengeluarkan Perppu UU KPK. Mahasiswa juga menolak segala revisi UU yang melemahkan demokrasi. Termasuk sistem yang terindikasi mengembalikan negara pada rezim Orde Baru.

"Peraturan ini tidak prorakyat. Masih banyak rancangan UU tapi malah UU KPK yang ditetapkan lebih dulu," sesal Sayid Ferhat, humas Aliansi Kaltim Bersatu.

"KPK adalah bentuk harapan untuk reformasi. Yang kami bingung, ini wakil rakyat atau wakil rampok? Kenapa memudahkan orang untuk korupsi? Harusnya diciptakan hal-hal yang mempersulit orang korupsi," sambung Ferhat kepada awak media.

Persoalan RUU KUHP juga begitu krusial. Perubahan tersebut terindikasi mengembalikan negara ke rezim Orba. Salah satu bagian dalam rancangan tersebut adalah kritik masyarakat yang makin terbungkam.

"Kami tidak boleh lagi memberi masukan. Ini berbahaya. Tanpa tolok ukur yang pasti, bisa disebut fitnah dan makar. Ini jelas pembungkaman masa," imbuhya.

Dalam aksi tersebut, mahasiswa berharap legislator di Karang Paci berperan melakukan penolakan. Namun, harapan itu dirasa sulit terwujud. Dalam aksi itu saja, hanya empat wakil rakyat bersedia menemui. Yakni Rusman Yaqub dari Fraksi PPP, Maskur Syarmian Fraksi PKS, serta Jahidin dan Syafruddin dari fraksi PKB.

Massa bereaksi negatif. Aksi saling dorong mulai terjadi. Seluruh personel kepolisian mengamankan keempat anggota dewan tersebut. Aksi makin chaos ketika batu melayang dari kerumunan. Petugas memukul mundur. Gerbang DPRD Kaltim ditutup. Massa terus melemparkan benda-benda keras. Termasuk botol kaca hingga papan nama DPRD Kaltim. Sebagian bahkan memanjat pagar setinggi 5 meter tersebut.

Sekitar pukul 13.30 Wita, anggota dewan dari perwakilan seluruh fraksi akhirnya sepakat menemui massa. Ditemui dari balik gerbang yang tertutup. Bermaksud menghindari bentrokan. Suara wakil rakyat disampaikan dengan pengeras suara dari Polresta Samarinda.

Rusman Yaqub meminta salah satu perwakilan pengunjuk rasa masuk menyampaikan tuntutan. Tapi massa menolak. Para mahasiswa ogah ditemui dalam pagar tertutup. Pengunjuk rasa juga tetap meminta diterima seluruhnya. Karena tak mendapat titik temu, seluruh anggota fraksi meninggalkan kerumunan.

"Kami tidak mungkin melayani semuanya yang berjumlah ribuan orang. Tapi mereka tidak mau. Saya kira kalau soal aspirasinya kami sangat setuju dan wajar. Kalau mahasiswa tidak menyampaikan hal itu, bukan mahasiswa namanya," sebut Rusman Yaqub kepada kaltimkece.id.

Menurut Yaqub, aksi tersebut mestinya terhindar dari praktik vandal. Ia meyakini aspirasi bakal tersalurkan dengan baik ketika disampaikan lewat diskusi yang baik pula. "Ini bukan ranah DPRD provinsi. Tapi kami bisa menjembatani dan kami siap saja. Delapan fraksi ini sudah komit menyampaikan aspirasi mahasiswa dan disampaikan ke pemerintah pusat. Karena tidak mungkin kalau kami yang menganulir itu," imbuh politikus PPP tersebut.

Setelah ditinggal anggota dewan, massa semakin panas. Usaha masuk ke kantor DPRD Kaltim makin keras. Aksi dorong gerbang terjadi. Petugas dengan kendaraan water cannon berusaha mengadang. Tapi upaya itu tak menolong. Gerbang berhasil jebol.

Petugas segera bereaksi dengan tameng dan kayu rotan. Memukul mahasiswa yang berusaha masuk. Korban mulai berjatuhan. Kebanyakan mahasiswa. Sepuluh mahasiswi juga pingsan karena aksi saling dorong. Massa lagi-lagi dipukul mundur.

Setelah rehat sekitar setengah jam, massa kembali berorasi sekitar pukul 16.00 Wita. Aksi dorong pagar kembali terjadi. Kericuhan terulang lagi. Batu kembali beterbangan. Polisi mengerahkan water cannon. Saat pagar kembali roboh, aksi saling pukul pecah lagi. Sejumlah mahasiswa mengalami luka.

Sekitar pukul 16.30 Wita, aparat berhasil menekan dengan tembakan gas air mata. Pengunjuk rasa lari kocar-kacir. Satu per satu berjatuhan akibat sesak napas. Karena hujan batu, korban luka juga berjatuhan. Baik dari kubu aparat dan massa aksi.

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Vendra Rivianto, menyebut empat anggotanya menjalani perawatan karena lemparan batu. "Dua perwira dari polres dan dua brigadir dari polda. Semuanya luka di dada," ungkap Vendra.

Ditegaskan bahwa selama waktu pengamanan, pihaknya melakukan prosedur sesuai standar. Sedikitnya 700 personel dikerahkan. Dari jajaran Polresta Samarinda, Polda Kaltim, dan Brimob Polda Kaltim. "Tidak ada peluru karet. Hanya gas air mata dan itu semua sudah sesuai prosedur," tandasnya.

Korban terbanyak berasal dari kubu mahasiswa. Terhitung lebih 20 orang dilarikan ke rumah sakit dan klinik terdekat. Rata-rata korban mengalami luka di bagian kepala. Juga sesak napas akibat gas air mata.

Sekitar pukul 17.15 Wita, kericuhan mulai mereda. Tapi massa belum bubar. Pengunjuk rasa yang terpencar sempat berkumpul kembali di simpang tiga Jalan Tengkawang. Aparat keamanan dengan atribut lengkap tetap berjaga.

Pada menit akhir sebelum mahasiswa menarik diri, Wakil Rektor III Universitas Mulawarman (Unmul) Encik Ahmad Syaifudin, sekitar pukul 17.45 Wita, tiba di lokasi demonstrasi. Kepada awak media, Encik menegaskan kedatangannya hanya untuk memantau anak didiknya. Memastikan untuk tak melakukan aksi hingga malam. "Saya datang ke sini untuk mengurusi mahasiswa. Dalam rangka sesuai aturan untuk mengamankan mereka," tegasnya.

Encik mengapresiasi mahasiswa Unmul yang turun menyampaikan aspirasi. Namun, ia berharap hak tersebut disampaikan sesuai peraturan. Tidak dengan pola anarkis. Sejumlah dosen terlihat menghadiri aksi tersebut. Aktivitas perkuliahan pun banyak yang diliburkan. Namun, Encik memilih tak berkomentar. Ia hanya fokus kepada mahasiswanya.

"Kalau terbukti anarkis (yang dimaksud vandal), tentu ada sanksinya. Tapi kita harus bisa buktikan dulu. Karena kalau dalam hukumnya, itu orang per orang yang bertanggung jawab," pungkasnya. Pukul 18.00 Wita, massa akhirnya membubarkan diri. Aparat keamanan terpantau masih siaga hingga pukul 19.00 Wita.

Memori 1998

Demonstrasi Senin itu mengingatkan situasi Samarinda dalam demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi pada 1998 lalu. Dilansir dari dari harian Kompas terbitan Sabtu, 9 Mei 1998, bentrokan terjadi setelah mahasiswa berusaha menduduki kantor DPRD pada 8 Mei 1998. Sebanyak 18 korban luka-luka. Enam di antarnya masuk rumah sakit. Sedangkan 16 mahasiswa lainnya ditahan. Tercatat empat mahasiswa dan 32 aparat keamanan luka karena lemparan batu. Unjuk rasa berakhir sekitar 11.10 waktu setempat. Ratusan mahasiswa diangkut belasan kendaraan petugas ke kampus masing-masing.

Jusuf Kuleh adalah salah satu aktivis 98 di Samarinda. Kini menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Unmul. Meski serupa, ia menilai aksi 23 September 2019 tersebut tak sebanyak protes besar-besaran pada 1998. Kala itu, aksi dilangsungkan berkelanjutan. Turun dengan semangat anti orde baru. "Berbeda dengan sekarang ada masalah koridor RUU KPK, UU RKUHP, dan karhutla," sebutnya kepada kaltimkece.id.

Meski demikian, lanjutnya, mahasiswa diingatkan terus merapatkan koordinasi. Apalagi aksi digelar serentak di Indonesia. "Mari kita lihat ujungnya dari demonstrasi ini, apakah pemerintah bergenang atau ada perubahan. Sementara kita tahu RUU KPK sudah jadi UU dan RUU KUHP ditunda," imbuhnya.

Kuleh menilai, penundaan pengesahan sejumlah RUU seperti UU KUHP dan UU Pemasyarskatan oleh Presiden Jokowi sudah tepat. Presiden mestinya mendengar aspirasi rakyat. RUU yang ditunda itu memuat sejumlah pasal yang menimbulkan kekhawatiran.

Kuleh juga mengkritik langkah pemerintah dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan. Peladang kecil yang membakar lahan dalam luasan kecil ditangkap. Sementara perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga membakar lahan, hanya bawahan yang ditangkap. Meskipun dikenai denda yang besar, Kuleh mengatakan, lebih tepat bila pemilik perusahaan yang dihukum.

"Untuk revisi UU KPK, sebagian saya setuju. Misalnya, adanya mekanisme penghentian perkara atau SP3. Kalau demi kepastian hukum, benar saja. Sekelas kepolisian dan kejaksaan pun ada mekanisme tersebut," urainya. Sementara untuk pasal-pasal yang lain, perlu didiskusikan lebih lanjut karena masih banyak pro-kontra. (*)

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar