Terkini

Mimpi Swasembada ketika Produksi Padi Kaltim Tak Sesubur Hasil Panen di Tanah Jawa

person access_time 4 years ago
Mimpi Swasembada ketika Produksi Padi Kaltim Tak Sesubur Hasil Panen di Tanah Jawa

Hasil panen padi lokal hasil persilangan yang dikerjakan oleh Profesor Rusdiansyah, Dekan Fakultas Pertanian Unmul (Rusdiansyah untuk kaltimkece.id).

Kondisi alam membuat padi Kaltim sulit tumbuh sesubur di Pulau Jawa. Namun, formulasi sesuai tetap memungkinkan Bumi Etam mencapai level swasembada.

 

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Minggu, 01 Maret 2020

kaltimkece.id Rusdiansyah berlari sambil beteriak. Meninggalkan istri di dalam mobil ketika melihat hamparan padi sawah Desa Karang Tunggal, Kecamatan Tenggarong Seberang. Si empunya lahan bernama Tugino, tersenyum lebar mengakui galur padi lokal hasil persilangan varietas Pandan Ungu dan Cihereng bernomor galur 204 yang dikembangkan Dosen Fakultas Pertanian Unmul itu, hasilnya luar biasa. Mengalahkan hasil panen varietas padi unggulan yang biasa petani datangkan dari Pulau Jawa.

Panen memperbanyak bibit pada 23 Februari 2020 itu diperkirakan menghasilkan 7,3 ton gabah kering per hektare. Jauh meninggalkan hasil panen varietas unggulan asal Jawa yang mentok di angka 4 ton per hektare jika ditanam di Kaltim. 

“Itu belum kita berlakukan pupuk. Hanya kita tanam begitu saja. Setelah ini baru kita atur pemupukan,” ucap Rusdiansyah yang juga dekan Fakultas Pertanian Univerisitas Mulawarman, ditemui di ruangannya, Rabu, 26 Februari 2020. “Saya pandangi terus fotonya sampai sekarang,” ucapnya tersenyum lebar sambil menunjukkan foto hasil panen beberapa waktu lalu kepada kaltimkece.id.

Niat dan perjuangan Rusdianyah menemukan calon varietas padi lokal Kaltim berlangsung belasan tahun. Di mulai sejak 2003. Mengeksplorasi dan mengidentifikasi padi sawah di pedalaman Kecamatan Krayan, Nunukan. Berbatasan dengan Malaysia. Berlanjut eksplorasi serupa di Kecamatan Tana Tidung, Kalimantan Utara (waktu itu masih masuk Kabupten Bulungan sebelum mekar menjadi kabupaten tersendiri di Kaltara).

Rusdianyah yang saat itu ditunjuk sebagai anggota tim percepatan pembangunan calon provinsi termuda di Indonesia, menyempatkan blusukan ke sejumlah kampung di Tana Tidung. Mencari varietas padi lokal yang biasa ditanam etnis Tidung dan Dayak. Pencariannya selama 13 tahun menemukan 23 kultivar padi lokal sawah pasang surut yang dibudidayakan petani setempat secara turun-temurun.

Sayangnya, seiring masuknya varietas unggulan yang dipasok dari Pulau Jawa, keberadaan padi lokal ini terpinggirkan. Petani di sana, kata Rusdiansyah, banyak tergiur label varietas padi unggulan dengan masa panen yang lebih pendek dan tahan hama penyakit. Padi lokal macam Pandan Ungu, Roti, Kambang, Amas dan padi merah bernama Sikin Merah mulai digantikan varietas unggulan asal Jawa seperti, IR 64, Cihereng, Impari dan lainnya. “Unggul, belum tentu cocok dengan lingkungan baru. (Iklim dan tanah) di Jawa berbeda dengan Kalimantan,” kata doktor pemuliaan tanaman jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang saban minggu selama 18 tahun terakhir rutin menyuluh petani di Kaltim dan Kaltara.

Pernyataan Rusdianyasah didasari sejumlah riset yang ia lakukan selama belasan tahun terakhir. Faktor pertama yang sangat memengaruhi benih padi varietas unggulan asal Jawa kurang cocok di Kaltim adalah tanah. Tingkat kesuburan dan keasaman tanah di Kaltim dan Kaltara cenderung rendah. Kondisi ini dimaklumi, sebab, mayoritas sawah di Bumi Etam dicetak di lahan bekas rawa-rawa. Sawah bekas rawa memiliki karakter kandungan hara dan keasaman rendah. Sementara, saat sawah kekeringan, kandungan zat besi (Fe) yang teroksidasi oksigen menguat menjadi pirit. Dalam kondisi ini, padi seringkali mengalami defisiensi hara dan keracunan Fe.

“Kalau kena pirit, tinggal berdoa, padi bisa panen apa enggak. Biasanya kelihatan keracunan (pirit) pas usia tanam 45 hari,” ucapnya.

Percampuran tiga faktor tadi ditambah kurangnya kandungan seng (Zn) dalam tanah membuat padi tak bisa beranak. Kalaupun beranak, berpotensi besar menyebabkan padi hampa tanpa isi beras. Ujungnya, hasil panen berkurang.

Faktor internal lainnya, Kaltim memiliki iklim tropika lembab dengan curah hujan tinggi 2,000-4,000 mm/tahun. Sementara, karena kondisi selalu berawan, penyinaran hanya 48 persen atau berkisar 5 sampai 7 jam per hari. Kondisi ini, jauh berbeda dengan Jawa yang memiliki lama penyinaran matahari 80 persen atau di atas 10 jam per hari dengan kelembaban udara 80 persen. Perbedaan intensitas cahaya ini sangat berpengaruh pada sedikit banyaknya proses fotosintesis dalam pertumbuhan tanaman.

“Kaltim, berat ikuti produktivitas padi di Pulau Jawa yang sampai 8-9 ton (gabah kering giling) per hektare. Sampai kiamat enggak akan dapat,” ucap Rusdianyash menceritakan alasan ilmiah mendesaknya merakit varietas unggulan spesifik memanfaatkan plasma nutfah padi sawah lokal Kaltim. Padi jenis ini dianggap telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan tanah Kaltim.

Proses perakitan varietas unggul memanfaatkan padi lokal dimulai 2016. Ada 23 varietas padi ia kumpulkan. Lima padi lokal lolos. Di antaranya, Pandan Ungu, Kambang, Amas, Roti yang dikenal harum dan pulen. Sementara, Sikin Merah dikenal sebagai beras merah yang baik untuk penderita diabetes melitus. Kelima padi yang sudah didaftarkan ke Pusat Pendaftaran dan Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT) itu disilang tunggal dengan varietas unggulan Cihereng. Padi jenis ini terkenal tahan hama seperti wereng.

Hibridasi itu, menghasilkan 5 jenis galur padi. Empat galur padi Pandan Ungu bersilang dengan Kambang, Amas, Roti dan Cihereng. Serta, Sikin Merah dan Cihereng. Proses perakitan varietas tak hanya berlangsung di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Melainkan di sejumlah desa, kebanyakan di Kutai Kartanegara. Meminjam sawah petani, proses pemuliaan dan seleksi tanaman dimulai dari penanaman perdana pada 2016. Proses ini disebut F1. Membutuhkan empat tahun atau delapan kali penanaman (dua kali tanam setahun) hingga sampai ke fase bibit F8.

Kesimpulan awal, diperoleh 24 galur harapan. Di antaranya, 17 galur dari persilangan padi putih dan 7 lainnya dari beras merah. Kesimpulan sementara, galur harapan hasil hibridasi sesama padi lokal memiliki potensi lebih baik dibandingkan persilangan dengan varietas unggulan luar Kaltim. Hasil persilangan sesama bibit lokal menghasilkan beras yang harum, pulen dengan malai panjang bisa sampai 30 sentimeter. Jauh mengungguli hasil benih unggulan sepanjang 22,3 sentimeter. Sebagai catatan, hasil panen tiap galur padi hasil persilangan masih berbeda-beda karena faktor cuaca dan tanah. Padi dengan kualitas terbaiklah yang akan dijadikan benih unggulan.

Tak hanya itu, ukuran beras tergolong besar. Mencapai 33 gram per seribu butir. Padi itupun cocok dengan iklim dan tahan penyakit. Hibridasi beras putih Pandan Ungu dan Amas bisa menghasilkan 5,6 ton gabah kering giling per ton. Bahkan, Sikin Merah dan Cihereng bisa menghasilkan 6,5 ton. Lagi-lagi, penanaman itu sengaja tak menggunakan pupuk kimia, hanya mengandalkan pupuk organik yang terkandung di tanah.

“Masa panen hanya 90-95 hari. jauh dibanding varitas unggulan yang panennya 120 hari. Jadi, lebih hemat biaya perawatan,” serunya.

Meski di atas kertas unggul, butuh satu tahapan lagi sebelum benih hibrida yang dikembangkan Rusdiansyah memperoleh sertifikasi bibit unggulan spesifik Kaltim dari Kementerian Pertanian. Kandidat varietas unggulan itu, harus melalui uji multilokasi penanaman di delapan lokasi berbeda di Kaltim. Uji ini, untuk melihat apakah benih itu tahan hama wereng cokelat dan hawar daun. Dia berharap, uji coba terakhir berlangsung tahun ini hingga memperoleh sertifikat Kementerian Pertanian pada 2021. Sayangnya, menjelang tahap akhir, Rusdiansyah menemui hambatan.

“Saya kepepet enggak punya dana, uang hasil sisihkan gaji Rp400 juta habis. Saya khawatir, benih tak bisa lama disimpan,” ucap Rusdianyah sambil mengurut keningnya.

Uang ratusan juta rupiah itu habis dikeluarkan mencari dan menyeleksi padi di seantero Bumi Etam. Pada tahap pemuliaan, ia menyewa lahan petani, perawatan sampai membantu membiayai 34 mahasiswanya yang ikut meneliti hingga tuntas skripsi bertema padi unggulan. “Saya ikhlas, enggak dibawa mati juga uangnya,” katanya tersenyum. 

Dia sangat berharap gubernur atau Pemprov Kaltim membantu proses akhir ini. Jangan sampai, cita-cita mendorong swasembada beras di Bumi Etam tinggal kenangan saja. Terakhir Kaltim swasembada beras pada 1996 dengan produksi gabah kering giling 408 ton. Dan 24 tahun setelahnya, pasokan beras Kaltim selalu bergantung Sulawesi dan Jawa.

Sampai 2015, Kaltim hanya mampu membukukan 408 ribu ton gabah kering giling atau setara 261 ribu ton beras. Kaltim hanya mampu memenuhi 67,4 persen keperluan beras. Masih jauh dari swasembada karena kekurangan 126 ribu ton per tahun atau sekira 28 ribu hektare sawah (derap langkah pembangunan Kaltim 2008-2018 halaman 144).

Hal itu diamini Rusdiansyah. Bahkan, lanjut dia, dipilihnya Kaltim sebagai calon ibu kota negara dengan perkiraan 1 sampai 1,5 juta penduduk baru jadi tantangan persiapan logistik yang harus diselesaikan. Kaltim, kata dia, tetap punya pilihan. Bergantung pasokan daerah lain atau mengejar swasembada. Minimal mencukupi.

Jika mengambil pilihan menanam sendiri, setidaknya dibutuhkan tambahan minimal 200 ribu ton beras. Dengan asumsi per hektare menghasilkan minimal 4 ton beras sekali panen misalkan dengan varietas unggul spesifik Kaltim (dua kali panen setahun) dibutuhkan minimal 50 ribu hektare lahan sawah baru. Rerata, 1 hektare dikerjakan seorang petani penggarap.

“Maka akan ada 50 ribu calon petani baru. Masalah lanjutan tinggal siapa yang mau jadi petani dan lahannya di mana,” ucapnya.

Rusdiansyah yang pada 2019 lalu memperoleh gelar professor bidang pemuliaan tanaman di Fakultas Pertanian Umum ini, bakal menyerahkan hasil penelitiannya ke rektor Unmul dan diserahkan ke Pemprov Kaltim. Memberi kesempatan gubernur memberi nama varietas unggulan itu. “Siapa saja silakan jadi produsen dan perbanyak bibit (hasil perilangan saya),” ucapnya setengah berkaca-kaca.

Alumnus Fakultas Pertanian Unmul yang kini menjabat Gubernur Kaltim, Isran Noor, sangat mengapresiasi hasil riset Professor Rusdiansyah. Menurut dia, penemuan seperti inilah yang sangat dicari pemerintah untuk memajukan daerah. Sambil tersenyum Isran menangapi soal kekawatiran mandeknya riset karena kekurangan dana. “Belum ada bicara sama saya,” ucap Isran, Kamis, 27 Februari 2020, sambil memasuki lift di Kegebernuran Kaltim. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar