Terkini

Ongkos Politik Menjadi Kepala Daerah Rp 30 Miliar, Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Rawan Bancakan

person access_time 4 years ago
Ongkos Politik Menjadi Kepala Daerah Rp 30 Miliar, Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Rawan Bancakan

Praktik korupsi kerap ditemui menjerat kepala daerah. (ilustrasi)

Tingginya biaya politik menjadi salah satu pemicu tindak pidana korupsi yang menjerat kepala daerah.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Sabtu, 04 Juli 2020

kaltimkece.id Dugaan permainan kotor dalam pengadaan barang dan jasa di Kutai Timur dinilai bukan tanpa latar belakang. Rasuah yang ditengarai melibatkan bupati, ketua DPRD, dan sejumlah kepala organisasi perangkat daerah (OPD) ini hanya berbilang bulan jelang pemilihan kepala daerah. Motif politik di balik perbuatan tersebut diduga sangat kuat.     

“Faktanya adalah politik saat ini berbiaya tinggi. Motif politik ini memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong perilaku korup kepala daerah. Namun demikian, biaya politik yang tinggi memaksa para kandidat calon, khususnya petahana, menghalalkan segala cara,” demikian Sekretaris Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi), Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, dalam keterangan tertulisnya.

Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, untuk menjadi wali kota atau bupati memerlukan biaya Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar. Sementara itu, untuk jabatan gubernur berkisar antara Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Ongkos politik ini tidak akan pernah sepadan dengan gaji yang diterima seorang kepala daerah.

Keinginan untuk mengisi pundi-pundi uang menjelang pilkada juga menimbulkan peristiwa yang lain. Di Kutai Timur, kepala dari tiga OPD ikut menjadi tersangka. Ketiga OPD itu adalah Badan Pendapatan Daerah, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, serta Dinas Pekerjaan Umum.

Menurut Castro, OPD-OPD tersebut telah menjadi sapi perah kepala daerah. Tentu saja,  ada proses tawar-menawar atau transaksi yang saling menguntungkan. Sebagai contoh, proses seleksi untuk memilih kepala-kepala OPD tersebut. Ketika tujuan akhirnya adalah merampok uang negara, situasi seperti ini jelas merusak desain merit system manajemen lembaga pemerintahan. Pada akhirnya, kualitas layanan publik ikut jadi korban.

Pelajaran lain yang bisa diambil dari dugaan korupsi di Kutim adalah kuatnya politik transaksional dalam pengadaan barang dan jasa. Ada semacam jatah preman atau upeti yang diberikan sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa. Tradisi semacam ini jelas melanggengkan tindakan korup dalam pengadaan barang dan jasa.

“Kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa. Perbuatan tersebut demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya,” sambung Castro, panggilan pendek Herdiansyah.

Latar belakang ketiga yang mendorong perilaku korup adalah politik dinasti. Di Kutai Timur, sebut Castro, ketua DPRD adalah istri dari bupati. Politik dinasti disebut memberikan jalan yang lapang untuk merampok keuangan negara. Salah satu dampak negatif dari politik dinasti adalah lumpuhnya check and balances system antara pemerintah dan DPRD.

“Kendali pengawasan berada di tangan satu keluarga sehingga mustahil ada kontrol kuat dan memadai di bawah kuasa politik dinasti,” sambungnya.

Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, meyakini permainan kotor seperti di atas banyak terjadi di daerah lain. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Di samping itu, sudah sepatutnya KPK memperketat pengawasan di daerah yang sarat dengan praktik politik dinasti.

“Kasus OTT (operasi tangkap tangan) ini sebagai terapi kejut agar kepala daerah tidak bermain-main dengan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok lewat cara-cara yang tidak patut atau bertentangan dengan hukum,” terang Castro.

Saran yang terakhir, partai politik sudah sepatutnya mengadakan pendidikan politik kepada masyarakat secara serius. Langkah ini dapat melahirkan pemilih yang rasional. Dengan demikian, politik berbiaya tinggi dalam pilkada dapat ditekan. Upaya pendidikan politik ini termasuk perbaikan pola rekrutmen dan kaderisasi untuk membatasi eksistensi politik dinasti. (*)

 

Editor: Fel GM

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar