Terkini

Pemkot Anjurkan Rumah Panggung untuk Banjir, Tak Sepenuhnya Salah tapi Sangat Gegabah

person access_time 4 years ago
Pemkot Anjurkan Rumah Panggung untuk Banjir, Tak Sepenuhnya Salah tapi Sangat Gegabah

Ilustrasi rumah panggung (foto: rumahminimalis.com)

Siaran pers Pemkot Samarinda dibanjiri kritik. Wacana gegabah di tengah musibah. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Jum'at, 29 Mei 2020

kaltimkece.id Jagat digital Samarinda berguncang pada Jumat, 29 Mei 2020. Akun resmi Pemkot Samarinda baik di Facebook, Instagram, dan Twitter, memuat siaran pers yang berisi anjuran. Warga disarankan meniru pembangunan rumah panggung untuk menghadapi banjir.

Siaran pers bernomor 1280/KM/KOMINFO/V/2020 itu bertajuk Patut Ditiru, Rumah Panggung Bebas Banjir di Pemuda III. Narasinya berisi deskripsi rumah panggung di Jalan Pemuda III. Rumah seperti ini, sejak zaman dahulu sudah didirikan di Samarinda. Salah satu peninggalannya adalah di pinggiran sungai seperti di Jalan Yos Sudarso, Jalan P Antasari, dan Jalan Abul Hasan.

“Artinya, sejak dulu warga Samarinda sudah mengantisipasi banjir dari pasang sungai dengan rumah panggung. Jadi apa yang dilakukan warga Jl Pemuda III ini patut ditiru, membangun rumahnya berkonsep panggung agar ketika banjir tidak masuk ke dalam rumahnya. Bagaimana dengan yang lainnya? Apa mau merenovasi menjadi rumah panggung atau minimal yang membangun rumah di kawasan rawan banjir bisa membangun konsep rumah panggung,” tulis siaran pers tersebut.

Menjelang petang, unggahan tersebut dihapus di sejumlah akun resmi Pemkot Samarinda. kaltimkece.id berusaha mengonfirmasi Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Samarinda Aji Syarif Hidayatullah. 

“Sebentar, saya koordinasi dulu,” kata Syarif dengan singkat melalui aplikasi percakapan.

Sejarahnya Benar, tapi?

Bahwa Samarinda akrab dengan rumah panggung sejak dahulu kala, sama sekali tidak keliru. Dalam tulisan penekun sejarah lokal, Muhammad Sarip, hampir semua rumah di Samarinda pada akhir abad ke-19 berbentuk rumah panggung. 

Jejak sejarah ditemukan dari karya Carl Bock, seorang Norwegia, yang menulis buku terkenal berjudul The Head-Hunters of Borneo. Saat tiba di Samarinda pada 16 Juli 1879, Bock mendeskripsikan kediaman penduduk melalui goresan pena (ia menggambar karena teknologi kamera waktu itu masih dikembangkan). Menurut lukisannya, rumah penduduk berdinding anyaman bambu. Atapnya dari daun nipah. Yang tidak biasa adalah hampir semua rumah di bibir sungai memiliki tiang yang tinggi, kira-kira 8-10 kaki.

“Sejak lama warga Samarinda menyadari tinggal di dataran rendah, serendah Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus. Rumah panggung adalah bentuk antisipasi warga terhadap banjir,” tulis Sarip dalam Belajar dari Sejarah 140 Tahun Carl Bock ke Samarinda (artikel Samarinda Pos, 2019).

Kepada kaltimkece.id, Sarip mengatakan, ide membumikan rumah panggung sebenarnya bagus. “Hanya waktunya (menyampaikan ide itu) yang tidak bagus,” tuturnya, seraya melanjutkan, “Mestinya dijadikan regulasi sebelum masuk abad ke-21.”

Sarip mengapresiasi bahwa pemkot tidak buta akan sejarah. Sayangnya, pemkot selama ini tidak belajar dari sejarah. “Sejarah memberikan pelajaran kepada manusia, bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah.”

Pengakuan Gagal Mengurus Kota

Siaran pers Pemkot Samarinda juga disoroti sejumlah aktivis dari lembaga nonpemerintah. Koordinator Kelompok Kerja 30, Buyung Marajo, berharap siaran pers tersebut bukan pernyataan resmi pejabat pemkot.

“Kalaupun itu benar, pernyataan tersebut sungguh aneh dan tidak solutif dari pemegang kebijakan,” tuturnya. 

Menurutnya, jika wacana itu dijalankan, pemkot harus menyiapkan anggaran untuk meninggikan rumah setiap warga. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dana tersebut lebih kecil daripada menanggulangi banjir? Jika lebih besar, mengapa tidak fokus saja ke penanganan banjir Samarinda?

“Pernyataan ini sungguh gegabah karena justru membuktikan kinerja kepala daerah dan jajaran, yang dipercaya 10 tahun sebagai wakil wali kota dan 10 tahun wali kota, tak bisa berbuat banyak mengatasi banjir di Samarinda,” tegas Buyung. Janji wali kota menjadikan Samarinda sebagai kota yang layak huni pun disebut gagal.

Pokja 30 menilai, kondisi itu tidak lepas dari kebijakan pembangunan. Sedari perencanaan sampai evaluasi, pemkot tidak melibatkan warga terdampak. Keputusan publik akhirnya tidak menimbang kepentingan publik. Bukannya fokus menyelesaikan banjir, pernyataan ini seperti melemparkan tanggung jawab kepada masyarakat lewat wacana rumah panggung. 

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Pradharma Rupang, juga memberikan pendapat. Menurutnya, ada logika yang keliru dari siaran pers tersebut. Bahwasanya, ada yang salah urus di Samarinda selama ini.

“Zaman dulu (ketika kewenangan perizinan pertambangan batu bara masih di pemkot), pemkot mengubah 71 persen kota menjadi konsesi tambang. Ketika banjir, warga yang disuruh mengatasi dengan membangun rumah bahari,” kritiknya.

Rupang melanjutkan, pernyataan tersebut terkesan cuci tangan pemkot dari tanggung jawab. Di lain sisi, banyak hal mendasar mengenai persoalan lingkungan yang tidak dilakukan. Sebagai contoh, revisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Samarinda.

"Untuk diketahui, Samarinda belum menetapkan kawasan lindung sebagai penyangga lingkungan kota. Bandingkan dengan RTRW Balikpapan, 52 persen wilayah kota ditetapkan sebagai kawasan lindung," jelasnya.

Jatam juga mengkritik kinerja legislatif dalam hal penanganan banjir kota. Setelah berkali-kali bencana lingkungan mulai banjir besar, longsor, hingga hilangnya nyawa di lubang tambang, DPRD tidak menggunakan hak politik seperti interpelasi maupun hak angket. 

"Sudah waktunya kita menyadari bahwa yang paling mendasar dari pembangunan adalah keselamatan publik," tutupnya. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar