Terkini

Pengumuman Lokasi Ibu Kota di Kaltim, Antara Kelihaian Jokowi dan Menteri yang Keceplosan

person access_time 5 years ago
Pengumuman Lokasi Ibu Kota di Kaltim, Antara Kelihaian Jokowi dan Menteri yang Keceplosan

Presiden Jokowi ketika mendatangi Bukit Soeharto. (Foto: Rusman-Biro Pers Sekretariat Presiden)

Kelihaian Jokowi bisa dibaca dengan jelas. Pengumuman disampaikan seorang menteri dengan tujuan mengetahui respons publik. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Kamis, 22 Agustus 2019

kaltimkece.id Jika mencermati “pengumuman” Kaltim diputuskan sebagai lokasi ibu kota negara, terdapat dua hal yang patut diselisik lebih dalam. Ihwal pertama adalah wara-wara yang sangat penting bagi bangsa Indonesia ini disiarkan pejabat sekelas menteri. Yang kedua, pengumuman itu disampaikan di luar forum resmi.

Kaltim memang berpeluang besar menjadi ibu kota karena jauh unggul dibanding Kalteng. Lokasi ibu kota yang mengerucut ke Kaltim pun sudah diketahui publik. Makanya ketika diwawancarai wartawan di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng Timur, Jakarta Pusat, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil tak ragu menyebutkan Kaltim sebagai lokasi ibu kota.

“Tapi belum tahu lokasi spesifiknya di mana,” kata Sofyan, Kamis, 22 Agustus 2019.

Baca juga:
 

Hanya beberapa jam selepas “pengumuman” oleh Menteri ATR, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan klarifikasi. Bambang Brodjonegoro selaku kepala Bappenas menyatakan, lokasi ibu kota di Kaltim masih kemungkinan. Bambang memberi sedikit bocoran bahwa yang bisa dipastikan adalah lokasi yang dimaksud di luar Samarinda atau Balikpapan.

"Tunggu pengumuman dari presiden," jelas Bambang seperti dikutip dari katadata.

Seyogiayanya, lokasi persis ibu kota memang harus diumumkan oleh Presiden Joko Widodo, seperti kata kepala Bapennas tadi. Jika kemudian ada pembantu presiden yang membocorkan lokasi tersebut, hanya dua kemungkinan.

“Kemungkinan pertama, dibocorkan by design. Yang kedua, menteri yang bersangkutan itu keceplosan,” terang pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Lutfi Wahyudi.

Jika pengumuman itu memang didesain, Lutfi menduga pemerintah pusat dalam hal ini presiden sedang menguji respons publik. Jokowi sengaja meminta Sofyan Djalil menyampaikan lokasi ibu kota kepada media. Selepas itu, mencatat tanggapan masyarakat. Dengan demikian, beban yang disandang ketika Kaltim mendapat respons negatif, tidak terlalu berat. Presiden masih bisa menarik ucapan menteri. Sementara ketika tanggapan positif yang diterima, risiko presiden saat mengumumkan lokasi persis ibu kota semakin kecil.

“Pak Jokowi sangat lihai dalam hal-hal seperti ini. Sudah banyak contoh ketika ada kebijakan penting, Presiden memilih test on the water. Kalau batu yang dilempar sebesar ini, ombak yang muncul sebesar apa,” ulas dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini.

Dalam politik kebijakan, strategi by design sah-sah saja. Masalahnya, jika presiden mengumumkan tanpa tes ombak terlebih dahulu, risikonya sangat besar. Tak mudah menarik keputusan yang keluar dari presiden sebagai orang nomor satu di republik.

“Berbeda ketika menteri yang mengumumkan, presiden masih bisa menganulir di kemudian hari,” jelas Lutfi.

Strategi by design ini makin nampak ketika Presiden Jokowi menjawab pertanyaan media. Kamis malam, Jokowi mengatakan, lokasi pemindahan ibu kota masih menunggu satu sampai dua kajian selesai. Presiden tidak membantah, tidak juga mengiyakan, ketika disinggung pernyataan Sofyan Djalil mengenai keputusan ibu kota di Kaltim.

"Masih menunggu kajian, dua kajian. Akan diumumkan pada waktunya," kata Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, demikian diwartakan CNN Indonesia

Kemungkinan kedua pengumuman ini tidak keluar dari presiden langsung, adalah menteri yang keceplosan. Untuk hal ini, menurut Lutfi, juga bisa dimaklumi. Kaltim memang sangat berpeluang menjadi ibu kota. Cepat atau lambat, keputusan ini diketahui juga.

“Tinggal kita sebagai warga Kaltim menyikapinya. Yang jelas, sepanjang bukan presiden yang mengumumkan, belum bisa lokasi ibu kota baru disebut resmi,” kuncinya.

Pro-Kontra Warga

Munculnya Taman Hutan Raya Bukit Soeharto sebagai calon lokasi ibu kota menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak setuju, ada pula yang tidak. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradharma Rupang, menyorot wacana ibu kota di Bukit Soeharto yang pertama kali diunggah oleh Gubernur Isran Noor.

Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama, kata Rupang, Bukit Soeharto adalah penyimpan air bersih. Kawasan ini menjadi penyangga air bersih di empat wilayah yakni Balikpapan, Kukar, Samarinda, dan Penajam Paser Utara. Pertimbangan kedua adalah ribuan penduduk yang sudah bermukim di sekitar Tahura.

Ketiga, pembukaan hutan dapat mengakibatkan perubahan bentang alam atau bentang kawasan. Menjadi persoalan baru terhadap pertanian dan perkebunan rakyat di sana. Keempat, pembukaan lahan adalah langkah mundur. Pemerintah telah komit mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen. Mengurangi hutan adalah tindakan yang bertentangan.

Jatam menganggap aneh dengan pemilihan Bukit Soeharto yang berstatus hutan konservasi (bukan hutan produksi seperti klaim gubernur). Pasalnya, menurut catatan Jatam Kaltim, 73 persen lahan Kaltim dikuasai izin industri ekstraktif seperti kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Hutan-hutan yang dilindungi, yang semakin tersisa sedikit di Kaltim, justru dijadikan lokasi pengembangan kota.  

Baca juga:
 

Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, turut menyoroti hal-hal yang luput dari rencana pemindahan pusat pemerintahan. Menurutnya, pemindahan ibu kota ke Kaltim justru mengaburkan persoalan pokok di sektor lingkungan hidup. "Pada akhirnya, semua berfokus kepada ibu kota baru tetapi abai dengan sederet masalah Kaltim. Terutama yang ditimbulkan aktivitas industri ekstraktif," kata Castro, panggilan pendeknya.

Persoalan yang Castro maksud adalah banjir, 35 korban jiwa di lubang bekas tambang,  deforestasi, dan konflik tenurial. Pemindahan ibu kota negara juga memberikan dampak terhadap keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup. Laju deforestasi bisa semakin tinggi.

"Para elite yang menyodorkan Bukit Suharto ini seperti kehilangan akal sehat. Anehnya, stakeholder di bidang kehutanan juga ikut amnesia dengan bidang ilmunya. Bukannya berjuang menyelamatkan kawasan konservasi, justru cenderung mengamini," jelasnya.

Farid Nurrahman, pengajar di Institut Teknologi Kalimantan di Balikpapan, dalam posisi setuju dengan pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Tidak mesti di Kaltim karena seluruh provinsi akan menerima dampak baik terutama perekonomian dan peningkatan infrastruktur.

“Jika nanti dibentuk provinsi baru untuk DKI, Kaltim tetap diuntungkan. Peran Kaltim seperti Jawa Barat yang berbatasan dengan DKI Jakarta sekarang,” jelasnya. (*)

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar