Terkini

Penolakan Protokol Pemakaman Covid-19 di Samarinda Berpotensi Memicu Ketidakpatuhan Publik

person access_time 4 years ago
Penolakan Protokol Pemakaman Covid-19 di Samarinda Berpotensi Memicu Ketidakpatuhan Publik

Prosedur pemulasaran dan pemakaman Covid-19 oleh BPBD Samarinda. (istimewa)

Sejumlah kasus Covid-19 meninggal dunia di Samarinda dimakamkan tanpa mengikuti protokol.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Kamis, 27 Agustus 2020

 

kaltimkece.id Jenazah pasien Covid-19 wajib dikebumikan sesuai prosedur pemulasaran dan penguburan telah diatur Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Satgas Penanganan Covid-19. Namun di Samarinda, setidaknya ada dua kejadian penolakan pemakaman sesuai prosedur. Hal ini bisa menjadi preseden yang berpotensi memicu ketidakpatuhan publik atas prosedur resmi penanggulangan dan pencegahan pandemi.

Kejadian pertama berlangsung pada Jumat, 10 Juli 2020. Seorang pasien meninggal karena positif Covid-19 di sebuah rumah sakit swasta di Samarinda. Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap bergegas ke rumah sakit. Mereka bersiap memakamkan jenazah sesuai protokol Covid-19. Sesuai prosedur itu, jenazah positif Covid-19 harus segera dikebumikan maksimal empat jam setelah pengumuman kematian.

Niat itu urung terlaksana. Pihak keluarga keberatan. Padahal, pemerintah setempat sudah menyiapkan petugas dan lahan pemakaman khusus sesuai protokol kesehatan. Keluarga memilih jasad almarhum dikebumikan di kampung halamannya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Keluarga bersedia menandatangani surat pernyataan penolakan pemakaman jenazah dengan prosedur Covid-19. Surat yang dikeluarkan rumah sakit itu diketahui oleh dinas kesehatan setempat. Belum ada penjelasan resmi dari Satgas Penanggulangan Covid-19 Samarinda mengenai hal tersebut.

Kejadian serupa pada Rabu, 26 Agustus 2020 kemarin. Pasien positif Covid-19 meninggal dunia di RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS). Almarhum mengembuskan nafas terakhir sekitar pukul 09.55 Wita. Kepala Instalasi Humas RSUD AWS, dr Arsyia Adhina, mengatakan bahwa pasien yang meninggal adalah kasus dengan kode SMD 510 berjenis kelamin laki-laki berusia 71 tahun. Nyawanya tak tertolong setelah empat hari perawatan.

“Kami rawat di RSUD AWS sejak 22 Agustus 2020. Hasil PCR positif (terkonfirmasi Covid-19) dengan diagnosis pneumonia Covid-19. Pasien dirawat di ruang isolasi intensif dengan perawatan komperhensif oleh tim Covid-19 RSUD AWS,” terang dr Arysia melalui keterangan tertulisnya.

Sesuai pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19 Kementerian Kesehatan, pasien meninggal dunia yang terkonfirmasi positif virus corona ataupun probable harus melewati pemulasaraan jenazah sesuai protokol Covid-19. Pihak keluarga yang telah diedukasi dan dijelaskan terkait protokol pemulasaran jenazah positif Covid-19, disebut menolak mengikuti prosedur. Keluarga mendiang memilih menandatangani surat penolakan prosedur pemakaman Covid-19.

“RSUD AWS telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Samarinda mengenai penolakan keluarga ini," terang dr Arysia Andhina.

Picu Ketidakpatuhan Publik

Akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyoroti tiga hal dalam kejadian ini. Pertama, tidak konsistennya masyarakat dan pemerintah menjalankan protokol pemakaman pasien positif Covid-19. Hal ini dikhawatirkan berimplikasi buruk terhadap penyebaran pandemi. Castro, sapaan akrab Herdiansyah, menilai bahwa Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 tingkat kota dan provinsi bertanggung jawab penuh atas situasi ini.

“Mereka punya otoritas penuh atas kejadian ini,” kata Castro kepada kaltimkece.id, Kamis, 27 Agustus 2020. Dalam hukum, ia menyebut ada istilah ‘equality before the law principle’ atau asas persamaan setiap warga negara di mata hukum. Secara eksplisit disebutkan dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Dia khawatir, kedua kejadian ini menjadi preseden buruk yang memicu keluarga pasien Covid-19 lain meminta perlakuan sama agar jenazah koleganya dikebumikan tanpa protokol Covid-19. 

“Ini bisa jadi preseden buruk yang memicu ketidakpatuhan publik yang berujung kepada pembangkangan hukum. Tidak akan ada yang taat terhadap protokol sebab publik menuntut perlakukan yang sama,” tuturnya.

“Jangan sampai hanya karena (pasien Covid-19) seseorang keluarga pejabat atau memiliki kekayaan, lantas diberikan pengecualian terhadap protokol. Itu jelas merusak sistem hukum,” sambungnya.

Pria yang kini sedang menyelesaikan studi S3 hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada ini menilai, pelanggaran protokol ini berkonsekuensi potensi pidana. Bahkan bisa dikenakan pasal berlapis. Terlebih, dampaknya dapat membahayakan nyawa dan keselamatan manusia.

Castro menjelaskan, pihak yang menghalangi protokol pemakaman dapat dikenakan pasal 212 KUHP, pasal 14 ayat 1 Undang-Undang 4/1984 tentang Wabah Penyakit. Termasuk pasal 93 Undang-Undang 6/2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Problemnya sekarang, keberanian aparat penegak hukum untuk konsisten dalam menegakkan aturan itu. Jika tidak ditegakkan, kejadian pelanggaran protokol ini akan terus berulang,” tuturnya.

Sekretaris Satgas Penanggulangan Covid-19 Kota Samarinda, Sugeng Chairuddin, meminta kaltimkece.id menghubungi ketua atau wakil satgas yang lain. Adapun Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, Ismet Kusasih, beralasan sedang tidak bertugas seminggu ke depan.

“Ya,” kata Ismet ketika disinggung jurnalis soal rencana penelusuran kontak erat ke keluarga jenazah positif Covid-19 yang menolak dikebumikan sesuai protokol Covid-19. (*)

 

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar