Terkini

Wajah Muram Kota Tenggarong-5: Bisnis Lendir di Gerbang Kota

person access_time 5 years ago
Wajah Muram Kota Tenggarong-5: Bisnis Lendir di Gerbang Kota

Praktik prostitusi dikenal marak di Jalan Poros Samarinda-Kukar ini. (Fachrizal Muliawan/kaltimkece.id)

Tenggarong kota yang akrab dengan banyak aktivitas keagamaan. Tapi sedari gerbang kota malah berisi praktik prostitusi yang membentang panjang.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Minggu, 28 Juli 2019

kaltimkece.id Semerbak aroma pelembab tubuh terurai di mana-mana di sebuah warung kopi di jalan poros Samarinda-Tenggarong. Pelayan warung itu, seorang perempuan berusia tiga puluhan, rupanya yang memakai pelembab tersebut. Wewangian dari tubuhnya bahkan mengalahkan aroma kopi yang baru ia seduh. Sejak beberapa tahun terakhir, warung kopi “beraroma pelembab tubuh” mulai menjamur di kilometer 10, 12, dan 9, jalan poros Samarinda-Tenggarong. Jalan poros ini adalah pintu gerbang Tenggarong dari arah Samarinda.

Jumat, 12 Juli 2019, kaltimkece.id menemui seorang perempuan di salah satu warung, sebut saja namanya Mami. Mami memiliki tubuh yang sintal. Kulitnya terang, rambutnya tergerai hingga bahu. Wajahnya sedikit bulat. Matanya lumayan besar dinaungi alis buatan yang sangat tebal. Tangan Mami tak pernah melepaskan telepon pintar yang sekali-sekali ia gunakan untuk bercermin. Ketika ada yang memesan minum, Mami buru-buru ke dapur dan menyeduh kopi hitam.

Warung Mami adalah sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Ada beberapa bilik. Dalam satu jam kaltimkece.id di sana, tiga lelaki masuk ke bilik berdinding kayu lapis itu. Tidak ada pintu, hanya selembar tirai yang menutupi kamar.

Mami jarang sendirian. Bersamanya, ada tiga perempuan di kedai bercat merah muda tersebut. Ketika kopi di gelas pelanggan mulai habis, Mami akan mulai bertanya, “Ngopi terus, enggak pengin pijat?”

Reporter kaltimkece.id mengorek informasi dari Mami. Perempuan ini mengaku, warung yang dia sewa tersebut memiliki empat bilik. Untuk sekali “pijat”, tarifnya Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu, bergantung kesepakatan. Para pemijatnya adalah perempuan-perempuan tadi. Mami mengakui, beberapa dari mereka memang datang dari sejumlah lokalisasi di Samarinda dan Kukar.

“Ada yang (sebelumnya bekerja) di Bayur, Loa Hui, dan Solong,” kata Mami menyebutkan sejumlah lokalisasi di Samarinda yang telah ditutup pemerintah.

Perempuan di Bawah Umur

Warung kopi pangku, demikianlah banyak warga menjuluki jejeran kedai di pintu gerbang Tenggarong ini. Konon, istilah ini muncul karena, pada awalnya, banyak yang mengira pelanggan disuguhi kopi dan meminumnya sembari dipangku. Ada pula yang mengatakan, istilah kopi pangku hanya pelesetan dari bisnis esek-esek berkedok warung kopi. Faktanya, memang tidak ada pangku-pangkuan dalam arti sebenarnya di kompleks kedai kopi tersebut.

Pada akhir 2018, sebuah berita mengejutkan datang dari lokasi ini. Ditemukan perempuan di bawah umur yang menjadi “terapis” di sana. Pada November 2018, tepatnya, Polsek Tenggarong Seberang mengungkap kasus human trafficking di kawasan warung kopi. Pemilik salah satu kedai berinisial Wj diamankan. Ia terbukti mempekerjakan anak di bawah umur sebagai pelayan sekaligus pemuas syahwat pelanggan warung. Remaja berusia 15 tahun itu diketahui berasal dari Blitar, Jawa Timur. Wj memberi upah anak tersebut dengan skema bagi hasil dari penjualan minuman, 50:50. 

Kasus ini terungkap ketika sang anak kabur dari warung dan melapor ke kantor polisi. Menurut pengakuan, dia mesti melayani 12 pria hidung belang selama empat hari. Setiap pria membayar Rp 300 ribu, dan anak tersebut hanya diberi Rp 100 ribu. Sisanya diambil oleh Wj sebagai pemilik warung dengan dalih sewa kamar.

Kejadian itu juga diketahui oleh Mami, pemilik kedai yang kaltimkece.id datangi. Dia menuturkan, sebelum peristiwa tersebut terungkap, banyak warung yang menyediakan “terapis” belia. Perempuan-perempuan muda ini disebut datang sendiri. Mereka berasal dari Samarinda dan sekitar Tenggarong. Datang ke warung kopi dengan seribu alasan. Mulai karena sudah menjanda, perlu uang untuk kebutuhan keluarga, hingga terlilit utang.

Keresahan Warga

Meskipun banyak warung kopi menawarkan jasa esek-esek, tetapi tidak semua demikian. Sebagian warung kopi di jalan poros Samarinda-Tenggarong ada juga yang benar-benar berjualan kopi. Tetapi, jumlahnya tidak sebanyak dengan warung kopi plus.

Rahman Sholeh adalah seorang pemilik kedai kopi sungguhan. Rahman telah membuka warung kopi dan toko kelontongan sejak 2010 silam. Dia mengatakan, ada perbedaan mencolok antara warung kopi biasa dan warung kopi pangku. Di warung kopi biasa, tak ada perempuan berpakaian minim. Barang yang dijual juga bermacam-macam termasuk kebutuhan rumah tangga.

“Bisa juga dilihat dari pengunjungnya,” tambah Rahman.

Biasanya, pengunjung kedai kopi biasa adalah warga sekitar. Sementara kopi pangku, kebanyakan bukan warga melainkan pengemudi yang lewat. Rahman mengaku resah dengan kondisi di kampungnya. Citra kawasan lokasi tempat tinggalnya menjadi buruk. “Selain itu, kalau ada operasi, warung saya juga ikut diperiksa,” tuturnya.

Pria berusia 54 tahun ini mengatakan, tak takut bila ada operasi. Namun, dia malas menjelaskan kepada petugas. Rahman bahkan melarang anak perempuannya membantu berjualan di warung. Dalam sebuah operasi, sebutnya, putrinya sempat dikira terapis.

Harus Penertiban Gabungan

Berkali-kali razia aparat diadakan di kawasan kopi pangku. Hasilnya tak bisa maksimal. Razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Kukar, kecamatan, dan kepolisian, kerap bocor. Masalahnya ada di lokasi warung kopi yang sangat panjang, hingga 3 kilometer. Selain itu, deretan warung ini berdiri di perbatasan dua wilayah. Di kedua sisi jalan poros ini adalah perbatasan Samarinda dan Kukar. Sebelah kiri dari arah Samarinda adalah wilayah Kecamatan Samarinda Ulu, di sebelah kanan masuk Kecamatan Tenggarong Seberang.

Pada Desember 2018 lalu, sembilan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Angkatan ke-75 Widya Dhira Brata mengadakan penelitian di lokasi ini. Rekomendasi dari penelitian tersebut adalah Pemkab Kukar mesti menutup praktik prostitusi kopi pangku.

Ketua Kelompok Peneliti STIK, Mohamad Fajar, menerangkan bahwa penelitian menggunakan teori analisis SWOT (strength, weaknesses, opportunities, dan threats --kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan). Berbagai tahapan  mulai penelitian lapangan, teknik pengumpulan data, wawancara, hingga observasi, telah dilakukan. Fajar menyarankan semua pihak serius mengenai strategi penutupan praktik prostitusi berkedok warung kopi, bersama-sama secara berkelanjutan.

Bupati Kukar Edy Damansyah dalam rilis pers mengenai penelitian mahasiswa STIK, tersebut mengatakan, akan menyurati Pemprov Kaltim. Lokasi warung kopi di perbatasan tak bisa diselesaikan satu daerah. “Lagi pula, hal itu menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk tokoh agama dan masyarakat,” terangnya.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kaltim, Gede Yusa, mengatakan akan mengecek hal tersebut. Dalam kasus warung kopi pangku, Pemkab Kukar berkoordinasi dulu dengan Pemkot Samarinda, dalam hal ini Satpol PP Samarinda. “Baru ditembuskan kepada kami,” ujarnya. Gede yang saat dihubungi kaltimkece.id berada di Medan untuk menjalani pelatihan mengatakan, akan menunggu proses tersebut. “Dan tentunya akan membantu dari sisi personel,” jelasnya. (*)

 

Editor: Fel GM

 
Baca juga serial liputan khusus ini:
 
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar