Ekonomi

Duduk Perkara Terhentinya Direct Call di KKT Balikpapan, Kebanyakan Kargo Masuk Ketimbang Keluar

person access_time 4 years ago
Duduk Perkara Terhentinya Direct Call di KKT Balikpapan, Kebanyakan Kargo Masuk Ketimbang Keluar

Aktivitas di KKT Balikpapan. (istimewa)

Direct call memungkinkan para eksportir memangkas ongkos perjalanan secara signifikan. Tapi pelaku usaha di provinsi ini belum sepenuhnya siap.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Kamis, 31 Oktober 2019

kaltimkece.id Teriakan klakson membahana di areal pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal (KKT), Balikpapan. Sang nahkoda memutar kemudi kapal kargo dibantu dua kapal tugboat. Di pinggir dermaga, sauh kapal berkelir hijau berbendera Portugal dilempar ke dasar perairan. Tanda kapal sandar. Puluhan orang mengerubungi kapal raksasa bernama MV Laila. Panjangnya 215 meter. Lambungnya bisa dimuati 2.800 peti kemas.

Sejurus itu, rombongan truk memanggul kontainer. Bergantian singgah di bibir dermaga. Derek mengangkat dan menyusun peti kemas ke lambung Laila. Total 40 kontainer dikapalkan. Dari Kaltim dan Kaltara. Isinya plywood, cangkang, dan kernel kepala sawit, serta hasil laut. Kargo siap dikirimkan langsung dari Balikpapan ke Pelabuhan Shanghai, Tiongkok. Perjalanan memakan waktu 16 hari. Jauh lebih singkat ketimbang rute transit lewat Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Memakan waktu 24 hari.

Uji coba pengapalan perdana pelayaran langsung atau disebut direct call itu berlangsung Senin, 26 Maret 2018 di KKT, Balikpapan. Dua minggu setelahnya, digelar seremoni peresmian direct call dari pelabuhan Kota Minyak ke Shanghai.

Kapal kargo MV Meratus Tomini berbendera Indonesia sukses mengangkut 100 kontainer berisi komoditas ekspor, kayu olahan, dan sabut kelapa. Dari Shanghai, barang itu dipecah-pecah pengirimannya ke Jepang, Korea Selatan, dan negara sekitar sesuai permintaan.

Direct call diyakini pemerintah memiliki sejumlah manfaat nyata. Mendongkrak volume perdagangan nonmigas dan batu bara. Penurunan biaya dan waktu pengiriman hingga 50 persen. Barang komoditas Kaltim tak perlu singgah ke Surabaya, Semarang, dan Jakarta, sebelum diekspor ke Asia Timur. Semua langsung lewat Balikpapan.

Waktu pengiriman ke Jepang semula 28 hari. Kini bisa 18 hari. Sementara ke Korea Selatan menjadi 17 hari dari semula 26 hari. “Biaya per kontainer pun berkurang drastis. Dari semula Rp 4 juta per kontainer, jadi hanya sekitar Rp 792 ribu per kontainer,” ujar Deputi Bidang Usaha Kontruksi dan Sarana Prasaran Perhubungan Kementerian BUMN, Ahmad Bambang.

Adanya direct call diyakini meningkatkan daya saing pelabuhan. Juga perekonomian Indonesia di ASEAN. Konektivitas antar pelabuhan terbangun. Ekonomi daerah dan nasional tumbuh. Kementerian BUMN mengimbau pemerintah daerah dan eksportir menyukseskan serta menjaga kesinambungan program tersebut. Diharapkan per minggunya ada perjalanan direct call dari Balikpapan.

“Dalam jangka enam bulan ke depan banyak tantangan. Untuk itu perlu dukungan. Tak apa sedikit. Di Makassar dulu 40 kontainer, sekarang bisa 3 ribu kontainer (direct call per bulan),” ujarnya.

Minggu berjalan bulan, belum terdengar lagi kabar direct call dari KKT Balikpapan. Direktu Utama PT Pelindo IV, Farid Padang, yang membawahi KKT Balikpapan, belum dapat dimintai keterangan perihal keberlangsungan direct call tersebut. Telepon dan pesan WhatsApp dari kaltimkece.id dalam dua kesempatan berbeda belum ia respons. Namun, dalam wawancara dengan beberapa media online nasional, Farid menyebut direct call di Balikpapan dievaluasi.

Sejumlah pengusaha komoditas unggulan Kaltim nonmigas dan batu bara angkat bicara soal. Penasihat Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Gapkindo) Kaltim, Azmal Ridwan punya analisa. Ia menyoroti komoditas ekspor Kaltim nonmigas dan batu bara yang lemah. Juga kepastian waktu pengiriman dan armada kapal. Ketiganya jadi komponen dasar keberlangsungan direct call.

Data resmi Dinas Perkebunan Kaltim menyebut 358 perusahaan sawit memegang 329 izin usaha perkebunan seluas 2,58 juta hektare. Sementara, pemegang izin hak guna usaha (HGU) mencapai 184 perusahaan dengan luas 1,14 juta hektare. Terdapat pula perkebunan kemitraan seluas 182,1 hektare.

Sampai 2018, luas lahan Kaltim yang ditanam kelapa sawit menembus 1,19 juta hektare. Dari jumlah itu, 284 ribu hektare adalah kebun rakyat atau plasma. Sepanjang 2018, perkebunan tersebut menghasilkan 13,16 juta ton tandan buah segar. Setelah diperas di 82 pabrik, buah-buah itu menghasilkan 2,89 juta ton minyak sawit mentah atau CPO. Pabrik itu tersebar di Kubar, Kukar, Penajam Paser Utara, Paser, dan Berau.

Industri kelapa sawit Kaltim yang belum terhilirisasi jadi salah satu pangkal persoalan belum bervariasinya produk ekspor. Padahal, ada ratusan produk turunan sawit bisa dikembangkan. Sayangnya, industri di Kaltim masih sebatas mengolah CPO. Padahal, ratusan produk turunan seperti minyak goreng, es krim, sabun, kosmetik, sampai biodisesel, bisa dihasilkan.

Lemahnya industri turunan sawit Kaltim juga persoalan nasional. Catatan Gapki dua tahun lalu, Indonesia hanya punya 47 produk turunan sawit. Sementara negeri jiran Malaysia punya 100. Di level Asia Tenggara, produk inovasi paten Indonesia pun keok. Hanya ada tiga. Padahal Thailand memiliki empat. Lebih-lebih Singapura dengan 34 inovasi paten. Terbanyak Malaysia adalah sebanyak 79 inovasi paten. Di level internasional sedikitnya dua tahun lalu ada 7.456 produk paten turunan sawit. Sayangnya, kebanyakan dimiliki negara bukan produsen sawit. Amerika Serikat adalah negara pemegang paten terbanyak, 55 persen.  “Produk turunan sawit Kaltim baru CPO. Itu yang selalu saya tanyakan, mana hilirisasi,” ucap Azmal.

Ketiadaan industri hilir membuat pengusaha sawit tak punya banyak pilihan menjual produk. Hampir 100 persen CPO Kaltim dibawa ke Surabaya via Muara Berau. Dari sana, CPO dipasarkan ke dalam dan luar negeri. Misalnya via Dumai menuju Singapura, negara Asia lainnya, bahkan Eropa. Jalur rantai pasok konvensional tersebut ia prediksi sulit diubah. Sebab sudah ada kepastian pembeli, waktu, dan armadanya. Dibandingkan jalur direct call via Balikpapan-Shanghai.

Sebenarnya, pengusaha sawit mendukung direct call tersebut. Secara teori bisa efisien waktu dan biaya kirim. Yang masih jadi kendala adalah kepastian jadwal pengiriman dan armada. Jangan sampai, waktu pengiriman molor berujung beban tunggu pengiriman jadi tanggung jawab pengusaha.

“Ada pelabuhan dekat, kenapa jual ke luar? Berarti ada yang salah dengan pelabuhan dekat,” katanya setengah bertanya. 

Berbeda dengan industri kelapa sawit, produsen kayu Kaltim justru menunggu waktu keberlangsungan direct call via Balikpapan. Industri perkayuan Bumi Etam sudah terbangun hilirisasi. Produk kayu logging mampu diolah jadi berbagai produk turunan. Mulai dari moulding sampai kayu lapis kualitas ekspor. Pasarnya menembus Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat sampai Eropa.

Saat ini terdapat 10 pengusaha kayu panel di Kaltim-Kaltara tergabung di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Kaltim. Kesiapan pengusaha kayu olahan Kaltim ditunjukkan pada pengapalan perdana direct call tahun lalu. Kala itu, salah satu anggota Apkindo Kaltim ikut mengirimkan 30 kontainer kargo ke Shanghai. Sembilan perusahaan lain sebenarnya menunggu antrean. Sebelum pengiriman langsung ini terhenti sementara. “Kami menunggu. Ini kan program bagus dan menguntungkan,” sebut Novel, diwawancara kaltimkece.id Selasa, 29 Oktober 2019.

Dari informasi yang ia peroleh, salah satu penyebab terputusnya jalur direct call di Balikpapan waktu itu, disebabkan arus pengiriman yang belum seimbang. Kargo yang masuk diprediksi lebih banyak ketimbang kargo yang keluar. Menyebabkan pengusaha perkapalan dan eskportir pikir ulang. Biaya tunggu dan operasional diprediksi membengkak.

Akibatnya, pengusaha kayu panel di Kaltim-Kaltara terpaksa kembali mengirim via jalur konvensional. Dari Pelabuhan di Samarinda menggunakan feeder lokal ke pelabuhan internasional lain. Seperti Surabaya, Jakarta, atau Makassar. Di pelabuhan internasional, barulah kargo diangkut menggunakan kapal kargo berkapasitas jumbo. Produk moulding dan kayu lapis dipasarkan ke Korea Selatan, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat.

 “Kalau jalur lama bisa sebulan baru sampai. Mahal jalur konvensional. Beban di pemakai jasa,” ucapnya yang belum bisa merincikan berapa biaya pengiriman per kontainer.

Keluhan rendahnya komoditas ekpor nonmigas dan batu bara Kaltim benar adanya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim 2018 menunjukkan ekspor Kaltim memang masih didominasi produk mineral. Batu bara dan migas masih mendominasi. Mencapai US$ 16,93 milyar atau sebesar 92,10 persen dari total nilai ekspor Kaltim. Golongan barang dengan nilai ekspor terbesar berikutnya adalah produk industri kimia senilai US$ 672,22 juta (3,66 persen), lemak, minyak, nabati, dan hewani sebesar US$ 640,79 juta (3,48 persen). Ada juga kayu, barang dari kayu, barang anyaman sebesar US$ 123,04 juta (0,67 persen) dan mesin, perlengkapan, listrik, elektronika senilai US$ 7,71 juta (0,04 persen). Di luar lima golongan barang tersebut, lainnya memiliki total nilai ekspor US$ 8,89 juta (0,05 persen).

Pengapalan dari Pelabuhan Balikpapan pada 2018 hanya USD 1,8 miliar. Kalah jauh dibandingkan Pelabuhan Bontang USD 4,5 miliar dan Pelabuhan Samarinda yang membukukan USD 5,1 miliar. 

Direct Call Menjadi Undirect

Macetnya direct call diakui Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perdagangan dan Koperasi Kaltim, Ali Wardana. Sudah dipetakan sejumlah masalah dan solusi. Masalah pertama, loyonya komoditas ekpor nonmigas dan batu bara di Kaltim. Solusi paling cepat adalah memetakan data inventarisasi produk unggulan Kaltim bernilai ekspor. Proses tersebut melibatkan bupati, wali kota dan eksportir se-Kaltim. Sejumlah komoditas masuk radar. Di antaranya rumput laut, ikan tuna, udang, kelapa segar, bawang tiwai, sampai kopi.

“Perlu koordinasi antar sektor. Kalau ada data itu, kami siap. Perlu koordinasi tim direct call,” katanya.

Setelah data didapat, pemprov bakal mengajak eksportir Indonesia bertemu calon pembeli mancanegara. Meski demikian, upaya itu dinilai belum cukup. Proses menghasilkan komoditas unggulan butuh waktu lama. Saat ini sedang dibahas dua skema. Direct call via Balikpapan atau undirect via jalur konvensional di Pelabuhan di Surabaya.

Jika tetap satu pintu lewat KKT Balikpapan, akan diatur skema pengiriman barang melalui pelabuhan di Kaltim. Pelabuhan lokal dijadikan pengumpul tingkat kota. Barang selanjutnya dikumpulkan di KKT yang dijadikan pelabuhan sentral pengiriman Kaltim-Kaltara. Selanjutnya dikirimkan ke Shanghai. Dari Tiongkok, barang disebar ke berbagai negara Asia lainnya.

Ia akui, untuk sekarang, skema direct call itu masih sulit terealisasi. “Kami masih selesaikan hambatan terakhir, hanya masalah biaya ekspor via KKT yang belum ditemui titik terangnya. Harga yang ditawarkan KKT masih di atas harga yang mereka bayar selama ini (di jalur lama),” ungkap dia. “Jumlahnya saya belum tahu,” sambungnya.

Alternatif yang paling memungkinkan adalah undirect ke pelabuhan Surabaya. Walaupun, harus diakui, barang asal Kaltim tercatat di pelabuhan persinggahan. Otomatis pendapatan ekspor lari ke pelabuhan itu. “Kami belum bisa target. Sebagai pemerintah kita sudah upaya fasilitasi,” kata Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi saat ditanyai kelanjutan direct call. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar