Ekonomi

Lesunya Industri Hilirisasi di Kaltim, Pemda dan Investor Beda Pandangan soal Clean and Clear

person access_time 3 years ago
Lesunya Industri Hilirisasi di Kaltim, Pemda dan Investor Beda Pandangan soal Clean and Clear

Aktivitas pengerukan batu bara di Kaltim. (arsip kaltimkece.id)

Proses hilirisasi yang memakan banyak waktu membuat Kaltim sulit beralih dari industri ekstraktif.

Ditulis Oleh: Muhammad Rizki Al Hadid
Sabtu, 27 Februari 2021

kaltimkece.id Sebagai daerah yang bertopang dengan sumber daya alam, industri hilirisasi menjadi keharusan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi Kaltim. Namun demikian, upaya pengembangan industri hilir sampai saat ini belum memuaskan.

Mengambil contoh produk hilirisasi crude palm oil (CPO), Kaltim telah menghasilkan biodiesel, gliserol, ethylene glycol, dan asam stearate. Selain itu ada lemak nabati non-makanan, bahan kimia pewangi dan kosmetik, bahan sabun, serta surfaktan. Namun demikian, jenis produk berbasis CPO tersebut masih relatif sedikit. Bahkan belum sampai kuadran III seperti produksi Sumatera Utara dan Riau.

Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Kaltim, Tutuk SH Cahyono, proses hilirisasi memakan banyak waktu. Sehingga tak bisa Kaltim serta-merta beralih dari industri ekstraktif. Apalagi meninggalkan bisnis batu bara. Secara jangka pendek, sektor ini masih menjadi andalan.

Perusahaan Bakrie Group tengah mengembangkan proyek methanol yang akan selesai pada 2024. Investasi ini bisa memberikan nilai tambah dari batu bara. Investor yang masuk Kaltim tak lagi mengambil batu bara mentah. Harus terlebih dahulu dihilirisasi dengan dijadikan methanol. Pemprov Kaltim menyambut peluang tersebut. “Pemprov telah memasukkan hilirisasi sebagai paket kebijakan yang harus didorong,” sebut Tutuk.

Meski demikian, wacana ini bukan tanpa hambatan. Ketersediaan listrik di Kaltim masih jadi perdebatan. Investasi methanol memerlukan listrik yang besar. Belum lagi kebutuhan air tawar untuk mendinginkan mesin. Pemprov Kaltim harus bisa menyediakan.

Adapun penentu hilirisasi adalah faktor value chain global dan nasional, ketersediaan mother vessel dan jalur ekspor, serta infrastruktur. Sedangkan kendala hilirisasi di Kaltim saat ini, menurutnya, cukup kompleks. Mulai regulasi, lahan, pengelola, infrastruktur, dan lainnya.

Mengambil contoh daerah lain yang berkembang, penyebabnya adalah ketersediaan infrastruktur. Termasuk jalur ekspor, direct call, kapal besar, dan lainnya. “Kariangau sudah berapa tahun, apakah sudah ada tenant? Apa karena sewa lahan mahal? Apa regulasi atau pengelolanya belum ada?” lanjut Tutuk.

Untuk masalah regulasi, menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu solusi memangkas regulasi panjang. Yang terpenting, tata kelolanya bisa dijaga.

Menarik investasi, Tutuk mencontohkan Vietnam yang memberikan tax holiday atau insentif pajak. Harga tanah dibuat lebih murah, bahkan digratiskan. Kaltim didorong bisa menyaingi pola tersebut. Memberikan karpet merah bagi investor.

Sejak tahun lalu, BI Kaltim mendampingi pemerintah daerah (pemda) bersama Kamar Dagang Industri (Kadin) Kaltim membuat proposal proyek untuk ditawarkan kepada investor. Sudah dipetakan pula potensi investasi di sembilan daerah di provinsi ini. Dua berpotensi bisa mendatangkan investor. “Saat ini masih menunggu kabar baiknya,” ungkap Tutuk.

Meskipun, Tutuk mengaku masih banyak yang perlu diperbaiki di proposal proyek itu. Misalkan definisi clean and clear. Selama ini pemda meyakini sudah clean and clear. Tapi dari teropong investor malah sebaliknya. “Kami sudah mendatangkan pihak yang ikut menilai proyek-proyek berpotensi. Ini untuk membantu OPD (organisasi perangkat daerah) dan stakeholder daerah membuatnya semakin menarik,” sebutnya.

Pakar ekonomi Kaltim, Aji Sofyan Effendi, mengatakan bahwa sejak awal kepemimpinan gubernur Kaltim sebelumnya, program hilirisasi selalu digaungkan. Ditandai dengan dibangunnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy, Kariangau, dan Buluminung. Investor luar banyak yang berminat. Namun kepastian regulasi, infrastruktur, dan lahan memegang peran penting.

Menyikapi hal ini, Sofyan menilai eksekutif dan legislatif bisa menuntaskan masalah regulasi yang mengganjal. Namun kenyataannya, hal itu belum juga dilakukan.

Di sisi lain, pengusaha cenderung terjerat di zona nyaman. Sehingga enggan membangun industri hilir. Salah satunya dipicu kebutuhan ongkos yang besar. Membuat para pengusaha lebih menyukai industri ulu. Apalagi dengan margin keuntungan yang sudah cukup tinggi. “Pengusaha belum berani ambil risiko dan pemda belum ada political will yang kuat,” ujar Sofyan.

Sementara itu, Sekretaris Komisi II DPRD Kaltim Bagus Susetyo mengatakan bahwa kawasan ekonomi khusus yang telah dibangun, sudah cukup luas untuk mengundang beberapa investor manufaktur. Namun masalah utama saat ini adalah kesiapan infrastruktur. Investor sangat membutuhkan listrik, air bersih, lahan yang sudah clean and clear, serta kepastian hukum. “Sebenarnya sudah tertuang di RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah),” ujarnya.

Bagus pun mengusulkan dibentuk badan atau kelompok kerja khusus untuk mempercepat program hilirisasi tersebut. Tim itu yang ikut memasarkan ke berbagai daerah, termasuk ke luar negeri. “Bikin pameran dan pemaparan di Jakarta dan Singapura. Seperti yang dilakukan Kalimantan Utara,” paparnya.

Ia juga berharap diberlakukan tax holiday sebagai insentif. Sehingga sebelum produksi dimulai, tak boleh menarik pajak. Serta harus ada pula timeline kerja yang jelas. “Jangan seperti dulu, ada investor dari Rusia datang mau bikin kereta api, kemudian hilang. Ini harus jadi target,” pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar