Ekonomi

Meruginya Kaltim karena Royalti Nol Persen dalam Omnibus Law dan Gubernur yang Tak Memahaminya

person access_time 3 years ago
Meruginya Kaltim karena Royalti Nol Persen dalam Omnibus Law dan Gubernur yang Tak Memahaminya

Dua anak melihat aktivitas pertambangan batu bara di dekat rumah mereka di Kutai Kartanegara (foto: arsip kaltimkece.id)

Sejumlah kerugian diderita Kaltim akibat pembebasan royalti bersyarat dalam omnibus law. Gubernur mengaku tidak begitu memahaminya.

Ditulis Oleh: Fel GM
Rabu, 21 Oktober 2020

kaltimkece.id Begitu banyak pihak mengkritik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law. Beleid sapu jagat ini dianggap membentangkan karpet merah kepada pengusaha pertambangan batu bara lewat pembebasan royalti bersyarat. Kaltim sebagai daerah penghasil emas hitam terbesar di Indonesia amat merugi karenanya.

Bagian RUU Cipta Kerja yang disoroti itu adalah pasal 128A. Pasal sisipan antara pasal 128 dan 129 tersebut merevisi Pasal 162 UU 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara. Ayat kedua pasal 128A berbunyi, “Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).” Ayat ketiga, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Merah Johansyah, mengatakan bahwa pembebasan royalti berdampak kepada dana bagi hasil (DBH) minerba Kaltim. Dua kabupaten penghasil batu bara terbesar yakni Kutai Timur dan Kutai Kartanegara paling terpengaruh. Meskipun tidak hilang 100 persen, DBH minerba diprediksi berkurang besar. Pembebasan royalti ini, kata Merah, bergantung perusahaan masing-masing. Korporasi batu bara yang punya industri hilir boleh mengajukan insentif royalti hingga nol persen.

“Padahal, laju pengerukan dan eksploitasi terus digas tanpa rem,” tegas Merah dalam seminar virtual bertajuk Apakah Omnibus Law Menjawab Keselamatan Rakyat Kalimantan Timur? Seminar ini diadakan dalam peluncuran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda oleh Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Selasa, 20 Oktober 2020.

Menengok Keputusan Menteri ESDM Nomor 201K/80/MEM/2019 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan DBH SDA Pertambangan Minerba untuk Tahun 2020, Kaltim adalah penerima DBH minerba terbesar di Indonesia. Pada tahun ini, DBH minerba Kaltim Rp 9,33 triliun sedangkan Kalsel di urutan kedua yakni Rp 6,58 triliun.

Dari Rp 9,33 triliun DBH minerba untuk Kaltim, Kabupaten Kutai Timur menerima bagian terbesar yakni Rp 3,03 triliun. Sementara itu, Kutai Kartanegara sebesar Rp 2,83 triliun dan Berau sebesar Rp 1,72 triliun. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah besaran royalti yang berkurang tersebut sepadan dengan investasi dari hilirisasi batu bara?

Rencana Industri Hilir KPC

Dalam seminar, Merah menyebutkan bahwa PT Kaltim Prima Coal adalah satu di antara perusahaan yang menyiapkan industri hilir. Perusahaan di Kutai Timur ini berencana membangun pabrik gasifikasi (proses mengubah batu bara menjadi metanol) di Kecamatan Bengalon.

Menurut laman resmi Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI), Grup Bakrie berada di balik investasi sebesar USD 2,5 miliar atau setara Rp 36,62 triliun tersebut. Perusahaan bekerja sama dengan investor Amerika, Air Products, untuk mendirikan pabrik gasifikasi di kawasan Batuta Industrial Chemical Park. Proyek ini dimulai pada 2021 dan diklaim menyerap sekitar 5.000 tenaga kerja.

Sementara itu, mengutip Reuters pada 23 Januari 2020, PT Bumi Resources Tbk selaku induk PT Arutmin dan PT Kaltim Prima Coal disebut merencanakan investasi USD 1 miliar atau Rp 14,6 triliun untuk pabrik gasifikasi. Dileep Srivastava selaku direktur perusahaan mengatakan, studi kelayakan pembangunan gasifikasi batu bara diharapkan selesai tahun ini. Apabila merujuk RUU Cipta Kerja, KPC boleh mengajukan insentif royalti nol persen setelah merealisasikan industri hilir tersebut.

KPC sebagaimana laporan perusahaan, membukukan produksi 87 juta ton batu bara pada 2019. Dari produksi tersebut, besaran royalti yang diterima Kaltim diperkirakan Rp 3 triliun berdasarkan DBH minerba yang diterima Kutai Timur. Walaupun tidak seluruh DBH kabupaten tersebut berasal dari royalti KPC, perlu diingat bahwa produksi perusahaan ini adalah yang terbesar di Kutai Timur bahkan Indonesia. Wajar kiranya jika hampir seluruh DBH minerba Kutai Timur berasal dari royalti KPC.

Sebagai informasi pula, Kutai Timur sebenarnya hanya menerima 32 persen ditambah 3,2 persen dari keseluruhan royalti. Komposisi royalti sebagaimana Perpres 97/2016 adalah 20 persen untuk pemerintah pusat, 32 persen buat kabupaten atau kota penghasil, 16 persen untuk pemerintah provinsi, dan 32 persen bagi kabupaten atau kota lain di provinsi yang sama.

Apabila dikomparasikan, pabrik gasifikasi KPC dengan nilai penanaman modal paling sedikit Rp 14 triliun itu setara lima tahun penerimaan DBH Kutai Timur. Padahal, perusahaan diperkirakan masih beroperasi sekurang-kurangnya hingga 20 tahun mendatang. Berdasarkan pasal 169A huruf a UU 3/2020 tentang Minerba yang tidak direvisi RUU Cipta Karya, kontrak atau perjanjian perusahaan yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun. Perpanjangan tersebut dengan mempertimbangkan penerimaan negara. KPC yang kontrak karyanya berakhir 31 Desember 2021 telah mengajukan perpanjangan izin kepada negara beberapa bulan silam.

“Itu artinya, Kutai Timur bisa kehilangan pendapatan hingga Rp 45 triliun dalam rentang 20 tahun mendatang jika KPC diberi fasilitas royalti nol persen,” demikian Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim.

Menurut Rupang, jika pemerintah ingin membuka lapangan kerja di Kaltim, hilirisasi batu bara bukan solusinya. Kaltim sepatutnya melaksanakan transformasi agar keluar dari ekonomi batu bara menuju fondasi ekonomi yang berkelanjutan. Hilirisasi dengan insentif royalti nol persen hanya menguntungkan perusahaan batu bara. Sementara lapangan pekerjaan tidak berubah karena tetap mengandalkan SDA tak terbarukan. Rupang juga menggarisbawahi bahwa aset dan laba dari perusahaan hilirisasi yang “dibangun dari hak warga Kutai Timur” itu akhirnya milik swasta belaka.

“Yang dibutuhkan Kaltim itu pemulihan lingkungan dari kerusakan tambang dengan memanfaatkan uang dari royalti untuk membangun sektor lain, termasuk biaya pemulihan,” tegasnya.

Jatam juga menengarai RUU Cipta Kerja memberi banyak celah buat pengusaha tambang. RUU ini tidak menyebutkan secara tegas klasifikasi “nilai tambah” batu bara. RUU hanya mengamanatkan dalam peraturan pemerintah yang proses pembentukannya lebih tertutup. Hal ini menciptakan celah yang bisa menguntungkan perusahaan manakala jenis hilirisasi di dalam PP ternyata bukan golongan investasi jumbo.

“Kebijakan royalti nol persen untuk sumber daya alam seperti ini hampir-hampir tidak ditemukan di negara lain,” tegas Rupang.

Dampak Lingkungan Semakin Besar

Pembebasan royalti dianggap menghilangkan “kompensasi” dari industri ekstraktif batu bara di daerah. Masih menurut Rupang, dengan pengenaan royalti batu bara seperti sekarang saja, ekologi Kaltim babak belur. Dalam catatannya, ada 1.735 lubang bekas tambang di Bumi Etam. Lubang-lubang itu merenggut 39 nyawa anak-anak sepanjang 2011-2020.

Jatam menilai, pemberian royalti nol persen tidak lain upaya pemerintah menyelamatkan perusahaan tambang yang disebut milik oligarki. Di tengah permintaan emas hitam dunia yang melorot, termasuk harganya yang semakin anjlok, sebagian perusahaan raksasa batu bara Indonesia terlilit utang dan kesulitan keuangan. Koalisi #BersihkanIndonesia merilis utang seluruh korporasi yang jatuh tempo pada 2020, 2021, dan 2022, sebagaimana dicatat Moody’s Investor Services, menembus USD 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Utang tersebut berbentuk kredit perbankan maupun obligasi.

“Ketika royalti dibebaskan dan industri hilir dibangun untuk menampung produksi batu bara, dampaknya adalah eksploitasi yang semakin masif,” terang Rupang kemudian melanjutkan, “Sehingga kerusakan lingkungan kian parah.”

Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Boy Even Sembiring, masih dalam seminar peluncuran LBH Samarinda, menjelaskan bahwa negara sebenarnya sudah mengakui kondisi kritis bahaya kemanusiaan karena kerusakan lingkungan hidup. Pengakuan itu tertuang dalam TAP MPR IX/2001. Namun demikian, negara dalam praktiknya justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti omnibus law yang justru memperparah kerusakan lingkungan hidup.

Sementara itu, akademikus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Haris Retno, membenarkan bahwa RUU Cipta Kerja justru memperkuat UU 3/2020 tentang Minerba. Ia menilai, RUU Cipta Kerja bertujuan memfasilitasi pengusaha pertambangan.

“Barang tentu semakin berdampak buruk bagi lingkungan, kaum perempuan, dan anak-anak,” jelasnya.

Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, mengatakan bahwa UU Cipta Kerja pada akhirnya penuh dengan kecurigaan. Penyesatan logika yang sering diutarakan pemerintah adalah seakan-akan investasi akan membawa kesejahteraan. Padahal, sebagaimana pelajaran dari rezim Orde Baru, investasi justru memperparah kerusakan lingkungan hidup.

“Rakyat juga jauh dari kata sejahtera sementara pemerintahan berakhir dengan utang kepada Bank Dunia dan IMF,” terang Asfinawati.

Gubernur Mengaku Tidak Begitu Paham

Pelbagai kerugian royalti nol persen bagi Kaltim, Rupang dari Jatam Kaltim mengatakan, gubernur Kaltim seharusnya segera berbicara kepada pemerintah pusat. Kaltim adalah korban langsung dari kebijakan tersebut. “Sampai hari ini, kita belum melihat gerakan gubernur,” kritik Rupang.

Ditemui selepas penandatanganan kesepakatan antara Pertamina dan Pemprov Kaltim dalam sinkronisasi data pajak kendaraan bahan bakar kendaraan bermotor, Rabu, 21 Oktober 2020, di Samarinda, Gubernur Kaltim Isran Noor memberikan tanggapan. Isran mengaku tidak begitu memahami kebijakan royalti nol persen tersebut.

“Itu dia, aku tidak begitu paham. Rasanya enggak, lah. Rasa-rasanya, royaltinya masih (ada). Tidak dihapus, kok,” kata Gubernur.

Disinggung rencana KPC membangun pabrik hilirisasi batu bara di Bengalon sehubungan royalti nol persen, Isran membahas perizinannya. “Ya, karena sistemnya beda. Nanti ‘kan, soal perizinannya, kemudian kewenangannya, dan statusnya pun beda. Jadi mungkin, kalau dihitung status yang lama, seolah-olah hilang royaltinya. Tapi ‘kan ada kebijakan lain yang menutup atau menggantikan itu,” terang Isran.

Yang dimaksudkan gubernur sepertinya berkaitan dengan jaminan perpanjangan kontrak karya KPC menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Berdasarkan pasal 169A huruf a UU 3/2020 tentang Minerba yang tidak direvisi RUU Cipta Karya, kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun. Perpanjangan tersebut dengan mempertimbangkan penerimaan negara.

Pada pasal 169 A huruf b, kontrak atau perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK paling lama 10 tahun. (*)

Baca juga:

 

Temui kami di Instagram!

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar