Ekonomi

Tertinggi di Kalimantan, Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Masih Semu

person access_time 4 years ago
Tertinggi di Kalimantan, Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Masih Semu

Sektor batu bara memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi Kaltim. (wahyu musyifa/kaltimkece.id)

Fenomena pertumbuhan ekonomi Kaltim. Tumbuh di tengah perekonomian global, nasional, dan regional yang melambat.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Senin, 18 November 2019

kaltimkece.id Ekonomi Kaltim tumbuh di tengah perekonomian dunia yang melambat. Ekonomi Kaltim bahkan menjadi provinsi satu-satunya di Kalimantan yang positif pada triwulan III 2019.

Jika sebelumnya 5,4 persen, pertumbuhan ekonomi Bumi Etam secara year on year (yoy) menjadi 6,89 persen, demikian dilansir Bank Indonesia. Pertumbuhan ini adalah yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Pada triwulan I 2019, pertumbuhan ekonomi Kaltim sebesar 5,36 persen. Lalu, pada triwulan II, hanya 5,43 persen.

Adapun pertumbuhan ekonomi tahunan Kaltim berada di angka minus pada 2015 dan 2016. Sementara pada 2017, ekonomi Kaltim hanya tumbuh 3,13 persen. Tahun lalu, pada 2018, pertumbuhan melorot menjadi 2,67 persen.

Meski indikator ekonomi makro tersebut menggembirakan tahun ini, pertumbuhan ekonomi Kaltim tetap semu. Masalahnya, Kaltim masih bergantung dari satu komoditas: batu bara belaka.

Walaupun demikian, ekonomi Kaltim yang tumbuh triwulan ini tetap sebuah fenomena. Sebagai gambaran, pada triwulan III ini, pertumbuhan ekonomi dunia melambat. Di Eropa, pertumbuhan turun dari 1,3 persen menjadi 1,1 persen. Tiongkok juga senada, melorot dari 6,3 persen menjadi 6 persen.

Perlambatan juga nampak di ekosistem regional. Pada triwulan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Utara turun dari 7,87 persen menjadi 6,53 persen. Kalteng, melorot dari 7,67 persen menjadi 5,31 persen. Kalsel pun demikian, dari 4,20 persen menjadi 3,72 persen.

Faktor Tiongkok dan India

Tumbuhnya ekonomi Kaltim triwulan III didorong sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ini tumbuh 11,46 persen (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan ekspor luar negeri sebesar 15,49 persen (yoy) menjadi penggerak utama ekonomi. Moncernya kinerja sektor ini didorong kenaikan produksi emas hitam dibandingkan triwulan sebelumnya. Faktor cuaca dan penyaluran kredit pertambangan tumbuh positif sebesar 13,2 persen (yoy).

Sebenarnya, sempat muncul kekhawatiran produksi dan serapan ekspor batu bara Kaltim melemah. Tiongkok, salah satu pembeli utama batu bara Kaltim, mengurangi pembelian. Negara itu berencana beralih ke bahan bakar pembangkit non-batu bara yang lebih ramah lingkungan. Selaras dengan program langit biru Tiongkok.

Di sisi lain, harga batu bara di pasar global terus anjlok. Sejak awal Juli hingga akhir Agustus 2019, harga emas hitam di pasar global terkoreksi. Harga tertinggi tercatat pada 10 Juli di level USD 78,3 per ton. Sejak saat itu, harga batu bara anjlok hingga 17,9 persen ke level USD 64,25 per ton pada akhir Agustus.

Kedua faktor itu nyatanya tak banyak berpengaruh. Tiongkok masih menyerap emas hitam Kaltim, ditambah India. Kebanyakan batu bara hasil produksi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Dari usulan 95 juta metrik ton tahun ini, sudah terpenuhi 75 persen.

Sejumlah faktor mendorong tingginya serapan batu bara Kaltim di Tiongkok dan sebagian kecil India. Pertama, Negeri Tirai Bambu sedang menumpuk emas hitam untuk menghadapi musim dingin akhir tahun. Tiongkok dan India juga masih memerlukan batu bara Kaltim untuk bahan bakar pembangkit listrik. Permintaan ini yang mendorong perdagangan antardaerah Kaltim terkontraksi di triwulan III.

 “Walaupun harga batu bara turun, permintaan Tiongkok tinggi. IUP kencang produksi, mereka masih terkompensasi. Pertumbuhan lebih ditentukan dari volume, bukan harga,” tutur Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, Jumat, 15 November 2019, ketika ditemui kaltimkece.id di Jakarta.

Sektor kedua yang cukup berkontribusi yakni permintaan crude palm oil (CPO) ke India dan negara ASEAN. Asia Tenggara masih menjadi pasar utama mencapai 67,5 persen.

Meski diterpa isu miring, Tutuk meyakini, pasar CPO Kaltim bakal tumbuh. Pemerintah mulai menerapakan kebijakan B-20 menjadi B-30. Kedua jenis bahan bakar solar ini mensyaratkan campuran 20-30 persen campuran olahan kelapa sawit.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim dan Bank Indonesia mengenai pertumbuhan ekonomi Kaltim triwulan III serupa. BPS mencatat, tiga struktur ekonomi terbesar dari sisi produksi. Pertama, pertambangan dan penggalian sebesar 45,14 persen, pengolahan 18,01 persen, dan kontruksi, 9,02 persen.

 “Ini, yang memecahkan teka-teki pertumbuhan ekonomi kita tinggi,” katanya.

Tutuk memperkirakan, fenomena ini hanya sesaat. Pertumbuhan ekonomi Kaltim triwulan IV diprediksi tak setinggi triwulan III. Pola konsumsi batu bara sudah memenuhi pasar karena stok tercukupi di triwulan sebelumnya. Akhir 2019, Bank Indonesia pertumbuhan ekonomi Kaltim setahun menyentuh 5 persen. Tak terlalu jauh ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan Semu

Laju pertumbuhan ekonomi bertumpu pertambangan dan penggalian boleh jadi hanya soal angka. Masalahnya, pertumbuhan ini tak berbanding lurus dengan serapan tenaga kerja. Pada triwulan III, sektor pertambahan dan penggalian hanya menyerap 18 persen tenaga kerja di Kaltim. Jumlahnya hanya 145.798 orang. Bandingkan dengan sektor perdagangan besar, eceran, reparasi perawatan mobil dan sepeda motor, yang menyerap 20 persen atau 349.558 tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi bakal berbanding lurus dengan serapan tenaga kerja jika semakin terdiservikasi. Semakin banyak industri turunan, semakin banyak peluang lapangan kerja. Sayangnya, industri di Bumi Mulawarman belum mencapai kondisi itu. Kaltim masih mengandalkan bahan mentah. Provinsi ini masih memerlukan intensifikasi teknologi dan kualitas sumber daya manusia.

 “Jadi pekerjaan rumahnya adalah hilirisasi produk turunan. Lebih luas basis industrinya, lebih banyak serapan tenaga kerjanya,” pesan Tutuk. (*)

 

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar