Hukum

Bupati Edi Bisa Maju Lagi?

person access_time 1 year ago
Bupati Edi Bisa Maju Lagi?

Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID

MK mengeluarkan putusan terhadap permohonan Bupati Kukar Edi Damansyah mengenai uji materi UU Pilkada. Apakah ia terhitung baru menjabat satu periode?

Ditulis Oleh: Aldi Budiaris
Kamis, 02 Maret 2023

kaltimkece.id Nama Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah, menjadi perbincangan menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang 10/2016 tentang pilkada. Permohonan Edi Damansyah mengenai definisi masa jabatan kepala daerah ditolak mahkamah. 

Dalam permohonannya, Edi Damansyah mengatakan bahwa ia telah terhitung menjabat sebagai bupati selama satu periode pada periode 2016–2021. Sebagai informasi, seorang kepala daerah dinyatakan melewati satu periode bila menjabat sekurang-kurangnya selama dua setengah tahun. Sebagai wakil bupati yang kemudian menjadi bupati, Edi menjadi pelaksana tugas bupati (10 bulan tiga hari) dan bupati definitif (dua tahun sembilan hari). 

Apabila jabatan plt dan bupati definitif itu dihitung semua, Edi Damansyah telah menjabat selama lebih dari dua setengah tahun atau satu periode. Itu sebabnya, ia memohon kepada MK agar pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada untuk pembatasan masa jabatan kepala daerah selama dua periode hanya berlaku untuk pejabat kepala daerah definitif, tidak untuk jabatan plt kepala daerah.

Kepada kaltimkece.id, Kamis, 2 Maret 2023, Edi Damansyah mengatakan, bukan ranah dan kapasitasnya menjelaskan putusan MK. Akan tetapi, substansi putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 harus menjadi pembahasan seluruh praktisi hukum. 

"Saya melakukan itu (uji materi) supaya menjadi bahan diskusi publik. Jangan hanya dibaca putusannya 'menolak' permohonan, ada substansi yang panjang," katanya. 

Edi Damansyah mengaku, banyak menerima panggilan untuk mengklarifikasi putusan tersebut. Masalahnya, persepsi yang muncul adalah ia terhitung menjabat selama dua periode sehingga tidak bisa maju di Pilkada Serentak 2024. 

Bupati meminta seluruh masyarakat dan jajaran pemerintah daerah tidak terpengaruh. Banyak program kerja yang perlu dituntaskan hingga 2024. Infrastruktur pertanian dan pengentasan kemiskinan daerah adalah contohnya. Infrastruktur listrik di pedesaan juga harus dibangun termasuk penanganan inflasi ekonomi. Semuanya bagian dari meningkatkan kesejahteraan warga Kutai Kartanegara.

"Saya minta kepada seluruh sahabat agar bekerja dengan tenang, sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya," tegas Bupati. 

Penjelasan Kuasa Hukum

Melalui keterangan tertulis, Muhammad Nursal selaku kuasa Edi Damansyah memberikan penjelasan. Sebelum memerinci berbagai logika hukum dalam putusan MK, terangnya, ada baiknya menilik kembali kasus serupa di pilkada lain. Dalam pertimbangan putusan MK, terdapat kalimat, “yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020.” Makna kata ‘dikuatkan’ disebut sama dengan keadaan calon bupati Bonebolango periode 2010-2015, Hamin Pou. Yang bersangkutan menjadi pelaksana tugas bupati selama dua tahun delapan bulan sembilan hari. Hamin Pou kemudian menjadi bupati definitif selama dua tahun tiga bulan 21 hari.

Putusan MK 67/2020 tersebut tidak menyatakan Hamim Pou tak memenuhi syarat sebagai calon bupati periode 2021-2026 karena terhitung dua periode. Hamin Pou akhirnya menjabat Bupati Bonebolango periode 2021-2026.

“Sekiranya MK menyatakan plt juga harus dihitung sebagai satu kesatuan, sudah dapat dipastikan ada pergeseran pendapat. Nyatanya, justru hanya menguatkan,” terang Nursal. 

Contoh lain adalah Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009. Ini merupakan permohonan uji materi yang diajukan Nurdin Basirun. Pada periode pertamanya, Bupati Karimun itu melalui masa jabatan bupati definitif (25 April 2005 sampai 14 Maret 2006). Pada fase kedua, terpilih sebagai Bupati Karimun dan dilantik pada 15 Maret 2006. MK hanya mempersoalkan penghitungan jabatan definitif yang bersangkutan. 

Selanjutnya, pertimbangan hukum atas putusan MK 02/PUU-XXI/2023 sebagai berikut: “Berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan” yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 67/PUUXVIII/2020 yang menyatakan, “...setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan.” 

Dengan demikian, permohonan pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai kepala daerah/wakil selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon kepala daerah/wakil dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif” dengan sendirinya terjawab oleh pertimbangan hukum putusan tersebut,” tulis Nursal. 

Mengenai putusan MK yang dimohonkan Edi Damansyah, terdapat kalimat “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020. Berdasarkan pertimbangan hukum dan amar putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. 

Kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusannya, mahkamah perlu menegaskan maksud masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih. Terutama, menjabat secara definitif maupun penjabat sementara. 

“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, sesungguhnya Edi Damansyah tetap dapat mendaftar sebagai calon Bupati Kukar periode 2024-2029,” tegasnya. Dasar argumentasi ialah, pertama, pembatasan perhitungan satu periode dalam makna dua setengah tahun atau lebih hanyalah pejabat definitif dan penjabat sementara. 

Nomenklatur penjabat sementara dengan pejabat sementara adalah dua hal yang berbeda. Pejabat sementara dalam teori merupakan genus pejabat yang terdiri atas plt, plh, penjabat, dan penjabat sementara. Sedangkan penjabat sementara adalah orang yang mengisi jabatan kepala daerah karena kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif sedang cuti kampanye.

Hal itu ditegaskan pasal 1 angka 6 Permendagri 1/2018. Penjabat sementara yang selanjutnya disingkat pjs adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk menteri untuk melaksanakan tugas kepala daerah atau wakil yang cuti di luar tanggungan negara untuk kampanye. 

Nursal mengatakan, di sinilah yang harus diperhatikan. Edi Damansyah tidak pernah menduduki jabatan sebagai penjabat sementara sebagaimana dimaksud permendagri. Dengan demikian, pembatasan yang dimaksud tidak mungkin berhubungan dengan kondisi jabatan yang pernah didudukinya sebagai pelaksana tugas. 

Edi Damansyah, bupati Kutai Kartanegara. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID
 

Kedua, jika dipaksakan bahwa makna penjabat sementara dalam pertimbangan putusan MK diletakkan sebagai genus dari pelaksana tugas, tidak pula memenuhi perhitungan satu periode Edi Damansyah sebagai plt bupati dan bupati definitif periode 20160-2021. Putusan MK tidak mempertegas masa jabatan plt dan definitif (2016-2021) dihitung sekaligus atau terpisah. 

“Oleh sebab tidak ada penegasan demikian, haruslah dimaknai terpisah. Menjabat plt selama 10 bulan tiga hari, menjabat sebagai bupati definitif dua tahun sembilan hari, adalah kedua-duanya belum ada yang memenuhi selama dua tahun enam bulan,” sambungnya. 

Ketiga, batas menghitung masa dua setengah tahun dimulai pada hari pelantikan sesuai putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009. Perlu diingat, jelas Nursal, dalam UU Pemerintah Daerah maupun peraturan pemerintah, tidak ada ketentuan pelantikan seorang pejabat plt. Ketika seorang plt tidak dilantik, tidak ada batas menghitung limit masa jabatan tersebut.

“Sebagai plt bupati, Edi Damansyah ternyata bukan dilantik tetapi hanya melalui pengukuhan. Sebab, namanya pelantikan, pejabat yang bersangkutan harus dengan mengucapkan lafal sumpah: “demi Allah dan seterusnya,” kata Nursal. 

Keempat, dalam pertimbangannya, putusan MK menguatkan posisi yang sama yang dilalui Hamin Pou sebagai calon bupati Bonebolango periode 2010-2015. 

Pandangan Akademikus Hukum

Akademikus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menjelaskan bahwa putusan MK ini merupakan yang kesekian kali. Menurut dosen yang disapa Castro tersebut, MK menafsirkan ketentuan pasal 7 ayat 2 huruf n UU 10/2016 adalah keputusan mengikat. Perhitungan masa jabatan dimulai dari jabatan plt, pjs, maupun definitif.

Castro mengutip sebagian putusan MK tersebut. “Pertimbangan hukum putusan hakim menjatuhkan putusan, menyebut masa jabatan yang telah dijalani. Dimulai setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan masa jabatan yang telah dijalani. Baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat tugas (plt) didalilkan oleh pemohon.” 

Jadi, sambungnya, baik status pelaksana tugas maupun bupati definitif, dihitung sebagai makna satu tarikan napas masa jabatan. Dengan demikian, jabatan Edi Damansyah sebagai bupati seharusnya sudah dua periode.

"Bahwa masa jabatan itu dihitung saat dia menggantikan bupati sebelumnya," jelas Castro. 

Herdiansyah Hamzah, akademikus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman. FOTO: ARSIP PRIBADI
 

Castro mengatakan, putusan MK mesti dihargai. Walaupun menimbulkan polemik, Bupati Kukar disebut lebih bijaksana apabila berfokus kepada masa jabatan yang tersisa. "Fokus menyelesaikan masa jabatannya dengan baik agar meninggalkan legasi atau warisan untuk warga kukar," terangnya. 

Harry Setya Nugraha, akademikus Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum, Unmul,  menambahkan penjelasan. Bila menelaah putusan MK terhadap permohonan uji materi Edi Damansyah, MK berpendapat bahwa kata “menjabat” memiliki makna yang sama dengan frasa “masa jabatan yang telah dijalani”. MK disebut berpendapat bahwa permohonan Bupati Kukar tidak bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. 

Sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; tidak bertentangan dengan prinsip setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; dan tidak bertentangan dengan hak dan kebebasan setiap orang memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Permohonan Edi Damansyah disebut Harry ditolak MK atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Semua undang-undang dan turunan juga memastikan penolakan MK atas permohonan tersebut. Kesempatan Edi Damansyah untuk maju dalam kontestasi pilkada mendatang pun disebut tertutup. 

"Saya kira, tidak ada dari putusan itu yang memiliki celah hukum. Keputusan MK bersifat final," terangnya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar