Hukum

Dugaan Korupsi di Kutim Membuka Kenyataan Pemenang Lelang Bisa Diatur Sepanjang Ada ‘Jatah Preman’

person access_time 4 years ago
Dugaan Korupsi di Kutim Membuka Kenyataan Pemenang Lelang Bisa Diatur Sepanjang Ada ‘Jatah Preman’

Ilustrasi lelang pengadaan elektronik.

Pemenang bisa dikondisikan. Jatah preman pun disiapkan. 

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Sabtu, 04 Juli 2020

kaltimkece.id Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar dugaan rasuah di Kutai Timur menyajikan kenyataan yang lain. Bahwasanya, ketika para petinggi pemerintahan telah bermufakat jahat, pemenang lelang pengadaan barang dan jasa bisa dikondisikan. Pengaturan ini jelas membuka celah untuk mengalirkan jatah preman kepada para pemegang wewenang.

KPK telah menetapkan lima pejabat negara di Kutim karena menerima gratifikasi. Mereka adalah Bupati Kutim Ismunandar, Ketua DPRD Kutim yang juga istri bupati, Encek Unguria Riarinda Firgasi; Kepala Badan Pendapatan Daerah Kutim berinisial Mus, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kutim berinisial Sur, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kutim berinisial ASW. 

Menurut keterangan resmi KPK, Bupati ditengarai berperan memberikan jaminan tidak ada pemotongan anggaran terhadap proyek-proyek yang sudah diatur pemenangnya. Sementara istrinya, Encek Firgasih selaku ketua DPRD, berperan mengintervensi pemenang tender. Adapun Mus, sebagai kepala Bapenda, adalah orang kepercayaan Bupati yang ikut dalam mengintervensi pemenang tender. 

Selanjutnya adalah ASW sebagai kepala Dinas PU yang kebagian peran membagi jatah proyek kepada para rekanan. Yang terakhir, Sur selaku kepala BPKAD, bertugas mengatur penerima hadiah dan janji dari pemenang tender. Bagian yang diberikan kontraktor kepada “kelompok” pejabat negara ini, sebut KPK, sebesar 10 persen dari nilai kontrak.

Baca juga:
 

Dari kesimpulan sementara KPK itu, tersirat bahwa pemenang tender pengadaan barang dan jasa masih bisa diatur. Padahal, proses pengadaan ini telah menggunakan sistem elektronik di seluruh Indonesia. Para penyedia barang dan jasa yang ingin mengikuti lelang pekerjaan dari pemerintah harus memakai aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). Sistem tersebut bertujuan agar proses lelang menjadi transparan dan meminimalisasi permainan culas.

kaltimkece.id meminta pendapat Ketua Dewan Pengurus Daerah Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Kaltim, Slamet Suhariadi. Menurut Slamet, SPSE memang membantu transparansi dalam proses lelang pengadaan barang dan jasa. Namun demikian, bukan berarti peluang korupsi dan pengaturan pemenang seratus persen tertutup. 

“Pasti ada celah untuk itu,” sebutnya.

Celah tersebut muncul karena pejabat yang bertugas di program kerja (pokja) pengadaan diangkat atasannya yakni kepala organisasi perangkat daerah (OPD). Kepala OPD tersebut tentu saja bawahan langsung kepala daerah. Tanpa komitmen dari kepala daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang baik, peluang korupsi tersebut terbuka.

“Sebenarnya ini (peluang korupsi) bergantung komitmen kepala daerah," jelas Slamet. 

Ketika terjadi permufakatan jahat untuk mengatur suatu lelang, Slamet menilai, SPSE pun tidak mampu mencegah. Manusia yang mengoperasikan sistem jelas lebih pintar. Oknum-oknum yang jahat bisa berbuat sedemikian rupa. Sistem akhirnya sebagai formalistas saja untuk proses pengadaan. 

“Bisa jadi, sebelum proses lelang, sudah ada calon pemenang. Sistem pengadaan dijadikan alat legiatimasi saja bahwa proyek di atas Rp 200 juta telah dilelang,” sambungnya.

Jatah Preman

Politik transaksional dalam pengadaan barang dan jasa juga diamini Sekretaris Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi), Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Ada semacam tradisi bahwa harus disiapkan jatah preman atau upeti sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa. Di Kutai Timur, berdasarkan keterangan KPK, upeti tersebut sebesar 10 persen dari nilai kontrak. 

Baca juga:
 

“Kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa. Perbuatan tersebut demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya,” jelas Castro, panggilan pendek Herdiansyah.

Dalam penilaian Castro, ekosistem lelang yang kotor semacam ini tidak hanya terjadi di Kutim. Penegak hukum pun diminta lebih memperketat pengawasan terhadap praktik-praktik seperti ini di daerah lain, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Bagaimanapun, pengaturan pemenang lelang ditambah upeti yang diberikan kepada penguasa akhirnya hanya menyebabkan rakyat menjadi korban.   

Di samping itu, pemenang lelang yang terpaksa harus memberikan jatah preman seringkali membawa kesulitan. Menurut Slamet Suhariadi dari Gapeksindo Kaltim, meskipun kontraktor memperoleh pekerjaan dari kepala daerah atau ketua DPRD, mereka bekerja di bawah pengawasan penuh. Para pengawas itu terdiri dari Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta inspektorat daerah. Masalahnya, hanya inspektorat daerah yang di bawah kekuasaan kepala daerah, tidak dengan BPK, BPKP, maupun KPK. 

“Kontraktor juga kasihan. Pekerjaan mereka harus bagus. Ketika ada temuan, mereka harus kembalikan. Belum lagi ketika tersangkut hukum,” jelas Slamet. Di tengah tekanan seperti itu, para penyedia barang dan jasa ini harus mengeluarkan uang karena menerima pekerjaan dari kepala daerah. Dalam banyak kasus, kata Slamet, kontraktor justru menjadi korbannya. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar