Hukum

Pesta Pora Batu Bara di Tengah Corona setelah Revisi UU Minerba Disahkan

person access_time 4 years ago
Pesta Pora Batu Bara di Tengah Corona setelah Revisi UU Minerba Disahkan

Aktivitas pengangkutan batu bara di Sungai Mahakam, Samarinda, sebelum pandemi (foto: dokumen kaltimkece.id)

Meskipun hujan protes, revisi UU Minerba tetap disahkan. Perusahaan diberi kemewahan, rakyat disodori penderitaan. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Rabu, 13 Mei 2020

kaltimkece.id Lewat rapat paripurna pada Selasa, 12 Mei 2020, Revisi Undang-Undang 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disahkan. Revisi beleid itu dianggap menguntungkan pemegang izin raksasa. Rakyat yang terdampak pertambangan disebut makin terpinggirkan. 

Rapat paripurna yang mengesahkan revisi UU dipimpin Ketua DPR RI Puan Maharani. Tidak ada perdebatan dalam pandangan fraksi yang disampaikan secara tertulis dengan alasan mempersingkat waktu. Delapan dari sembilan fraksi di parlemen menyatakan setuju. Revisi UU yang disahkan di tengah pandemi itu segera dituding sarat kepentingan. 

"Rapat-rapat panitia kerja RUU Minerba berjalan tertutup, dilakukan diam-diam, dan nirpartisipasi publik. Peraturan yang lahir akhirnya hanya memberi karpet merah kepada pengusaha dan melupakan masyarakat di sekitar lingkar tambang," demikian Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim. 

Sejumlah lembaga nonpemerintah telah mengkaji pasal-pasal bermasalah dalam revisi UU Minerba. Disimpulkan bahwa 90 persen pasal dalam beleid ini hanya menguntungkan perusahaan alih-alih melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Yang pertama adalah pasal 4 ayat 2 yang mengatur pengalihan penguasaan mineral dan batu bara dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Penguasaan yang dimaksud adalah kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Menurut Jatam, urusan pertambangan yang menjadi kewenangan pusat menimbulkan banyak celah. Masalahnya, pemerintah daerah saja kerepotan karena kekurangan pengawas pertambangan.  

"Rakyat pada akhirnya semakin jauh dengan pengambil kebijakan. Tidak ada semangat desentralisasi dalam UU ini," terang Rupang. 

Karpet Merah Pengusaha Tambang

Selebihnya, revisi UU dianggap menguntungkan pemilik modal. Pasal 169, misalnya, mengatur perpanjangan konsesi perusahaan raksasa yang memegang kontrak karya (KK) serta perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Pemegang KK maupun PKP2B dijamin perpanjangan otomatis dua kali dengan durasi 10 tahun masing-masing tanpa pengurangan wilayah tambang. 

"Ini adalah kemewahan bagi pemegang izin karena sebagian besar PKP2B seharusnya berakhir tahun depan," ingat Rupang. 

Sampai hari ini, ada 30 pemegang PKP2B yang beroperasi di Kaltim. Total luas konsesi adalah 1.006.139,63 hektare. Yang terbesar antara lain Berau Coal (118 ribu hektare), Tambang Damai (97 ribu hektare), Kaltim Prima Coal (92 ribu hektare), dan Multi Harapan Utama (46 ribu hektare).

"Kemewahan itu belum ditambah dengan bonus pada pasal 169b yaitu dapat mengajukan permohonan wilayah di luar wilayah IUPK untuk menunjang usaha kegiatan pertambangan," imbuh Rupang.

Selanjutnya adalah pasal 1 ayat 28a yang mengatur wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi. Seluruhnya adalah kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Definisi seperti ini dianggap mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan pertambangan masuk ruang hidup masyarakat.

Dalam pasal berikutnya, pengusaha pertambangan mineral dan batu bara diperbolehkan menguasai lahan lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya, waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah dua tahun. Dengan revisi UU ini, penguasaan tanah dalam skala besar oleh pengusaha tambang adalah delapan tahun dan dapat diperpanjang setahun saban kali perpanjangan. Durasi seperti ini dinilai berpeluang untuk praktik land banking.

Karpet merah berikutnya nampak dari penghapusan pasal 83 ayat 4 UU lama. Pasal ini mengatur batasan luas wilayah IUPK (WIUPK) untuk produksi pertambangan batu bara paling banyak 15 ribu hektare. Tanpa pasal ini, boleh jadi tidak ada lagi batasan maksimal WIUPK. 

Ancaman Hukum bagi Masyarakat

Ketika karpet merah dibentangkan kepada perusahaan, revisi UU Minerba justru menyiapkan "borgol" buat masyarakat. Jatam menyebut bahwa pasal 162 dan 164 membuka peluang kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang. Mereka dapat dikenai pidana tambahan mulai dari perampasan hingga kewajiban membayar kerugian.

Secara lengkap, pasal 162 berbunyi,

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IPR, IUPK, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sementara pasal 164,

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 161A, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa (a) Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; (b) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (c) Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Keberatan lain terhadap revisi UU adalah tiadanya hak masyarakat yang terdampak aktivitas pertambangan. Tidak satu pasal pun, sebut Jatam, yang memberikan ruang bagi partisipasi warga seperti konsultasi dengan masyarakat adat untuk menolak suatu rencana pertambangan.

Anehnya lagi, revisi UU Minerba turut menghapus pasal 165. Padahal, pasal ini mengatur sanksi tindak pidana korupsi oleh pejabat negara dalam proses pertambangan. Sebelum dihapus, pasal ini berbunyi,

Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

"Dengan revisi UU ini, masyarakat yang berada di bawah ancaman penjara hanya akan menyaksikan pesta pora pengerukan batu bara," tutup Rupang. (*)

Baca juga update berita ini:

 

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar