Hukum

Vonis Mati Empat Terdakwa Narkotika, Pertama Kali di Samarinda, Kuasa Hukum Ajukan Banding

person access_time 4 years ago
Vonis Mati Empat Terdakwa Narkotika, Pertama Kali di Samarinda, Kuasa Hukum Ajukan Banding

Para terpidana ketika ditangkap BNN pada Oktober 2019 silam (foto: dokumen kaltimkece.id)

Empat orang yang terlibat kasus narkotika divonis hukuman mati. Kuasa hukum mengajukan banding.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Senin, 08 Juni 2020

kaltimkece.id Empat orang yang duduk di kursi pesakitan terpekur begitu hakim mengetuk palu. Burhanuddin selaku ketua majelis, didampingi Hasrawati Yunus dan Budi Santoso sebagai hakim anggota, menjatuhkan hukuman mati. Vonis terberat dalam sistem peradilan Indonesia itu adalah yang pertama kali dikeluarkan pengadilan tingkat pertama di Samarinda.  

Selasa, 2 Juni 2020, di Pengadilan Negeri Samarinda, empat terdakwa yang menerima hukuman mati adalah Aryanto Safutro, Tanjidillah, Firman Kurniawan, dan Rudiansyah. Vonis tersebut sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dian Anggraeni. Keempatnya terbukti melanggar dakwaan primer Pasal 114 Ayat 2 UU 35/2009 tentang Narkotika. 

“Benar, hukuman mati ini yang pertama dikeluarkan sepanjang Pengadilan Negeri Samarinda berdiri,” tutur Hakim Juru Bicara Pengadilan Negeri Samarinda, Abdul Rahman Karim, kepada kaltimkece.id, Senin, 8 Juni 2020. Abdul Rahman telah mengecek Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) untuk memastikan hal tersebut. Adapun perkara keempat terpidana mati ini sehubungan narkotika jenis sabu-sabu seberat 41 kilogram. 

Setelah vonis pada 2 Juni 2020, para terpidana diberi tenggat untuk pikir-pikir selama tujuh hari. Tenggat tersebut berakhir Selasa, 9 Juni 2020. 

Sehari sebelum tenggat habis, Abdul Rahman Karim menambahkan, keempat tersangka mengajukan upaya banding lewat kuasa hukum masing-masing. Upaya hukum tersebut diajukan pada Senin, 8 Juni 2020. 

PN Samarinda selanjutnya membuat laporan atas upaya hukum tersebut. Hakim banding kemudian akan mengeluarkan penetapan penahanan terhadap para terpidana.

“Berkas (upaya banding) secepatnya dikirim ke pengadilan tinggi. Perkara tersebut selanjutnya diperiksa kembali oleh majelis hakim tinggi,” terang Abdul Rahman. Selambat-lambatnya, lanjut dia, 14 hari sejak permintaan banding diajukan, berkas harus dikirim ke Pengadilan Tinggi Kaltim. 

Kronologi Kasus

Sebermula dari komunikasi seluler antara Aryanto Safutro dengan H Asri pada pertengahan September 2019, narkotika jenis sabu-sabu dipesan. Aryanto, selaku pemesan, meminta narkoba tersebut dikirim ke Samarinda. Sebulan kemudian, sabu-sabu diberangkatkan dari Tarakan, Kalimantan Utara. Tanjidillah alias Tanco yang mengantarnya melalui jalur darat. 

Bagi terpidana mati Aryanto Safutro, pesanan begini bukan yang pertama. Ia pernah memesan narkotika pada Januari 2019 seberat 4 kilogram. Pada Juni 2019, pesanan berikutnya seberat 6 kilogram. Yang terakhir, Oktober 2019, ia memesan lebih besar lagi  seberat 41 kilogram. Setiap gram sabu-sabu dihargai Rp 460 ribu. Dari dua kali pengiriman, Aryanto memperoleh laba Rp 100-150 juta. 

Pada transaksi ketiga, Aryanto sempat mentransfer uang Rp 600 juta kepada H Asri (masih buron). Paket 41 kilogram tersebut dibagi dalam tiga karung dan disembunyikan di tumpukan tali kapal. Setiba di Berau, Tanco meminta bantuan Firman Kurniawan, terpidana mati yang lain, mengantar barang haram sampai ke tangan Aryanto. 

Setelah di tangan Firman, sabu-sabu dikemas dalam sebuah peti kayu. Firman berangkat ke Samarinda mengendarai Ford Ranger nomor polisi KT 8464 BO pada 3 Oktober 2019. Ia akan menerima sisa upah Rp 5 juta. 

Setibanya di Samarinda, Aryanto selaku pemesan meminta bantuan Rudiansyah untuk memeriksa barang tersebut. Kepada Rudiansyah, Aryanto menjanjikan upah Rp 5 juta. Belum setengah perjalanan, Firman dibekuk Badan Narkotika Nasional di Bengalon, Kutai Timur. Pengungkapan kasus ini adalah yang terbesar dalam sejarah di Kaltim.  

Baca juga:
 

Tiga orang yang lain dibekuk di tempat berbeda. Tanjidillah ditangkap sebelum naik pesawat di Bandara SAMS Sepinggan, Balikpapan. Rudiansyah yang menunggu sabu-sabu dari Tarakan ditangkap di SPBU Pelita II, Sambutan, Samarinda. Si pemesan, Aryanto Safutro, diringkus ketika sedang bersantai di kedai kopi di sebuah mal di Samarinda. 

Pernyataan Kuasa Hukum

Yahya Tonang adalah ketua tim kuasa hukum terpidana Aryanto Safutro dan Tanjidillah. Ia mengatakan, sabu-sabu seberat 41 kilogram pada prinsipnya memang merugikan masyarakat. Yahya menilai, vonis hakim secara hukum sudah tepat. 

“Namun demikian, berdasarkan materi pembelaaan, kami berharap (kasus ini) jangan berhenti di mereka. Tinggal selangkah lagi bisa ditemukan produsen barang itu,” terang Yahya kepada kaltimkece.id, Senin, 8 Juni 2020 

Ia menambahkan, para terpidana bisa diberi dispensasi untuk mengungkap kasus ini hingga tahap yang lebih besar jika ingin memberantas narkoba. 

“Jika dihukum mati, bagaimana pengungkapan selanjutnya? Kami bukan membela perbuatan mereka. Dalam pledoi pun, kami mengakui perbuatan ini sangat dilarang dan dibenci. Kami hanya menyayangkan mengapa harus demikian (divonis mati),” paparnya.

Kuasa hukum menyarankan, para terpidana dapat dimanfaatkan untuk mengungkap sindikat besar tersebut. Jika selama ini lebih banyak pengungkapan sabu-sabu yang kecil, mereka bisa membongkar yang jauh lebih besar. 

Kedua tervonis mati, Ariyanto Safutro dan Tanjidillah lewat kuasa hukum, mengaku pasrah. Sesuai pledoi, keduanya meminta hakim mempertimbangkan apakah napas hidup mereka tidak dibutuhkan lagi. Kalau memang masih diperlukan, mereka meminta keringanan yakni penjara seumur hidup. 

“Tolonglah, kalau narkoba ini mau diberantas, sampai habis dan jangan disisakan. Aryanto Safutro dan Tanjidillah berperan penting dalam kasus ini. Mereka tangan kedua yang menerima barang dari tangan pertama,” kata Yahya Tonang selaku kuasa hukum. (*) 

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar