Humaniora

Andika, Yanti, dan Bayi Mereka yang Harus Tinggal di Gerobak, Sebuah Kisah Kemelaratan yang Sebenarnya

person access_time 3 years ago
Andika, Yanti, dan Bayi Mereka yang Harus Tinggal di Gerobak, Sebuah Kisah Kemelaratan yang Sebenarnya

Andika dan Yanti bersama bayi mereka di rumah singgah (foto: giarti ibnu lestari/kaltimkece.id)

Tentang kaum papa dan cara Tuhan menolong mereka.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Jum'at, 04 September 2020

kaltimkece.id Namanya Andika Pratama. Seorang pria berbadan kekar dengan kulit gelap yang berusia 35 tahun. Andika berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan, mengadu nasib ke Samarinda 23 tahun silam atau pada 1997. Kisah perantauannya dimulai dengan bekerja di sebuah perusahaan pertambangan batu bara di Kelurahan Sungai Siring, Samarinda Utara. Sebagai operator ekskavator, tujuh tahun ia menggeluti pekerjaan tersebut. 

Andika pindah tempat bekerja ke Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, pada 2006. Setahun kemudian, ia merantau ke Berau, masih sebagai operator alat berat. Tinggal di Berau hingga 2017, Andika berkenalan dengan Yanti. Berawal dari media sosial Facebook, mereka bertemu muka pertama kali di Tanjung Selor, Bulungan, Kalimantan Utara.

Yanti tiga tahun lebih muda dari Andika. Perempuan bertubuh mungil yang berdarah Palu, Sulawesi Tengah, tersebut, tinggal bersama orangtua di ibu kota Bulungan. Setelah beberapa bulan menjalin hubungan, Andika dan Yanti mengikat janji suci dalam tali pernikahan. Akad diucapkan di rumah Yanti di Tanjung Selor.

Andika masih bekerja di Tarakan, Kaltara, selepas menikah. Ia memboyong serta istrinya ke kota tersebut. Dua tahun kemudian, pasangan ini memutuskan merantau ke Samarinda pada awal 2020. Yanti sedang mengandung empat bulan ketika mereka menempati rumah sewa berukuran 3 meter × 4 meter di Jalan Belatuk II, Gang 3, Kelurahan Temindung Permai, Sungai Pinang. Biaya kontrakan itu Rp 350 ribu sebulan.

Andika yang kembali ke Kota Tepian belum memiliki pekerjaan. Padahal, sejumlah lamaran sudah ia kirimkan ke perusahaan namun tak jua kunjung ada panggilan. Andika akhirnya mengumpulkan barang-barang rongsokan di sekitar tempat tinggal demi menjaga asap dapur. Ia mendorong gerobak sepanjang 1,5 meter dengan lebar 80 sentimeter saban hari. Dari kerja serabutan itu, ia menerima bayaran Rp 50 ribu setiap hari.

Pendapatan tersebut selalu nyaris tak bersisa karena habis buat membayar kontrakan dan kebutuhan sehari-hari. Pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian turut mengempaskan pasangan ini ke lembah kemiskinan yang terdalam. Kebutuhan ekonomi semakin mengimpit kala kehamilan istrinya membesar. Pada Jumat, 21 Juli 2020, Yanti melahirkan bayi laki-laki di sebuah klinik di Samarinda. Bayi yang manis dan sehat seberat 3 kilogram dan panjang badan 45 sentimeter itu diberi nama Muhammad Aditya Pratama.

Andika harus membayar biaya persalinan Rp 2.650.000. Namun ia hanya punya Rp 700 ribu. Sebesar Rp 500 ribu adalah pinjaman, Rp 200 ribu dari tabungan yang dicukup-cukupkan. Sisa biaya bersalin yang belum dibayar adalah Rp 1.950.000. Andika terpaksa menyerahkan KTP, SIM, dan sebuah telepon genggam sebagai jaminan.

Dari sinilah masalah semakin pelik. Sesungguhnya, Rp 200 ribu tadi adalah uang untuk membayar sewa rumah. Setelah 10 hari Andika menunggak kontrakan, pemilik rumah mempersilakan pasangan ini pergi dengan halus. Pemilik rumah tersebut mengganti gembok kamar mereka. Tanpa tempat bernaung, hanya gerobak yang dimiliki Andika dan Yanti.

Tinggal di Gerobak

Gerobak adalah rumah berikutnya bagi pasangan ini bersama bayi mereka. Istri dan anak Andika beristirahat di dalam gerobak ketika sang ayah mencari barang rongsokan. Dengan potongan baliho, panas terik mereka lawan. Mereka hanya berteduh ketika hujan. Sembari berteduh, air hujan mereka tadah untuk mandi yang tidak bisa dilakukan setiap hari. Untuk minum dan mandi anak, Andika membeli air mineral dalam botol besar.

Beratnya hidup benar-benar dirasakan pasangan ini. Andika mengaku, lebih memilih tidak makan seharian asalkan istrinya bisa kenyang. Ia sadar, istrinya sangat memerlukan asupan makanan karena harus memberi ASI. Sekali waktu, mereka menerima iba warga sekitar yang memberi pakaian, makanan, dan minuman. Beberapa orang sempat menawarkan diri untuk mengadopsi anak mereka. Andika menolak karena ingin bersama-sama meski keadaan sesulit apapun.

Tuhan selalu memberikan jalan kepada hamba-Nya. Pada Rabu malam, 2 September 2020, kehidupan kaum papa ini diunggah di laman group Facebook di Samarinda. Mulyadi atau yang dikenal Ogi Lebay, mendatangi pasangan ini dan menawarkan tempat tinggal sementara. Andika Pratama, Yanti, dan bayinya yang berusia 46 hari akhirnya memiliki tempat bernaung di Jalan Dr Sutomo, Gang 4A, Kelurahan Sidodadi, Samarinda Ulu.

Kisah Andika dan Yanti yang tersebar luas di dunia maya mengetuk hati dermawan Kota Tepian. Bantuan terus mengalir sehingga bisa buat melunasi biaya persalinan. Andika juga banyak ditawari pekerjaan. “Saya hanya ingin bisa menafkahi anak dan istri. Saya sangat berterima kasih kepada para dermawan yang telah membantu,” tutur Andika, seorang lelaki yang melewati kemelaratan hidup yang sebenar-benarnya. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar