Kutai Kartanegara

Belasan Juta dari Amplang yang Bikin Emak-Emak di Desa Saliki, Muara Badak, Berhenti Main Kartu Remi

person access_time 3 years ago
Belasan Juta dari Amplang yang Bikin Emak-Emak di Desa Saliki, Muara Badak, Berhenti Main Kartu Remi

Kelompok Ibu-Ibu Pengelola Hasil Perikanan Desa Saliki, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (foto: samuel gading/kaltimkece.id)

Dari ikan yang tak laku di pasaran, ibu-ibu ini mengolahnya jadi amplang. Meraup untung jutaan.

Ditulis Oleh: Samuel Gading
Kamis, 10 Juni 2021

kaltimkece.id Pintu besi sedikit berderit ketika digeser Hasnaini yang hendak masuk ke ruang tengah sebuah rumah toko. Ketua Kelompok Ibu-Ibu Pengelola Hasil Perikanan Desa Saliki, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, itu, lantas meraih sebuah tas besar dari etalase di belakang pintu. Hasnaini yang berusia 54 tahun mengeluarkan 5 kilogram amplang dari wadah tersebut. Kudapan berbahan ikan itu sedang laris-larisnya di antara warga desa.

Kamis, 10 Juni 2021, Hasnaini yang sibuk mengemas amplang segera ditemani ibu-ibu yang lain. Kelompok emak-emak ini selalu beraktivitas di Tempat Pengelolaan Hasil Perikanan di Desa Saliki. Lokasi ini telah dijadikan contoh keberhasilan pemberdayaan ekonomi berkelanjutan yang terintegrasi dengan ekosistem hutan mangrove Delta Mahakam di pesisir Kukar. kaltimkece.id datang ke tempat itu ditemani Ketua Yayasan Mangrove Lestari Delta Mahakam, Ahmad Nuriawan.

“Amplang ikan ini produk unggulan kami,” kata Hasnaini. Ada dua produk yang diproduksi dan dijual kelompok ibu-ibu ini. Amplang ikan dan amplang udang. Bahan baku utama amplang dibeli dari tambak berkelanjutan dan jejaring nelayan lokal.

Komposisi terbesar amplang ikan adalah longjaw bonefish (Albula forsteri) atau biasa disebut bandeng payus. Ikan ini sebenarnya tidak memiliki nilai ekonomi tinggi alias kurang layak jual. Tekstur yang sulit dimasak dan berduri membuat bandeng jenis ini tidak laku di pasar. Akan tetapi, mata ibu-ibu di Desa Saliki ini jeli. Ikan tersebut ternyata minim kandungan lemak. Cocok sekali untuk dijadikan amplang.

Menurut Ahmad Nuriawan, ketua Yayasan Mangrove Lestari Delta Mahakam, ikan bandeng payus tidak dibudidayakan. Nelayan biasanya menangkap ikan ini di perairan sekitar hutan bakau. Makanya, usaha amplang Hasnaini dan kawan-kawan sepenuhnya bergantung kepada keberlangsungan ekosistem hutan mangrove.

Hasnaini bersama rekan-rekannya memperoleh ikan bandeng dari nelayan setempat. Sekali produksi untuk sebulan, mereka mengolah 5 kilogram ikan menjadi 17 kilogram amplang. Setiap 1 kilogram amplang dijual Rp 80 ribu. Dari hitungan kasar, kelompok ibu-ibu ini bisa meraup laba Rp 16 jutaan sebulan.

“Belum lagi kalau Lebaran. Kami pernah dapat pesanan 500 kilogram atau lima pikul amplang. Cair THR,” terang Hasnaini dengan girang.

Modal untuk setiap kali produksi diperoleh dari anggota kelompok. Mereka urunan untuk modal sekitar Rp 500 ribu. Setelah dijual, keuntungan dibagi rata. Setiap anggota kelompok, ucap Hasnaini, menerima sekitar Rp 3,5 juta saban dua bulan.

Kunci dari tingginya pesanan amplang ikan ini sebenarnya sederhana. Amplang dijual melalui jejaring keluarga secara word of mouth atau dari mulut ke mulut. Contohnya, ketika sanak famili dari luar yang berlibur ke Desa Saliki, amplang dipromosikan sebagai tanda mata khas desa. Amplang ikan Desa Saliki kini telah dipasarkan di sejumlah kios di  Samarinda.

“Awalnya oleh-oleh, pelan-pelan banyak yang beli,” terang Hasnaini.

Perjalanan Kelompok Ibu-Ibu

Saliki adalah desa terluas di Muara Badak. Luas desa ini 375 kilometer persegi, kira-kira setengah wilayah Samarinda. Pada 2019, Saliki yang berpenduduk 5.164 jiwa terdiri dari 11 rukun tetangga dan dua dusun. Mata pencaharian utama masyarakat adalah nelayan dan petambak, sebagian lagi peternak sapi dan ayam potong (Muara Badak Dalam Angka, 2020).

Kelompok Ibu-Ibu Pengelola Hasil Perikanan Desa Saliki mulai berdiri pada 2002. Awalnya, kelompok ini selalu gonta-ganti personel. Tidak banyak ibu-ibu yang konsisten aktif di dalam kelompok. Sekarang, anggotanya 10 orang yang awalnya diprediksi bakal bubar dalam dua bulan.

“Eh, malah bertahan sampai sekarang,” ungkap Sarni, 42 tahun, anggota kelompok tersebut.

Baca juga:
 

Sarni bercerita, pada awal memproduksi amplang, mereka harus berpindah dari rumah ke rumah anggota kelompok. Baru pada 2017, kelompok menerima bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendirikan rumah produksi tetap. Inilah awal dari kebangkitan kelompok tersebut. Amplang buatan ibu-ibu Saliki bukan hanya semakin dikenal, anggota kelompok mendapat manfaat ekonomi.

“Menggoreng amplang membuat kami berhenti main kartu remi,” tukas Irviani, 32 tahun, setengah berkelakar. Maksud anggota kelompok paling muda ini, waktu luang ibu-ibu kini diisi dengan kegiatan yang menghasilkan uang. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar