Kutai Kartanegara

Silsilah Kampung Martabak Kari di Loa Tebu, Kukar, dari Kisah Cinta Pria India Menikahi Gadis Pribumi

person access_time 2 years ago
Silsilah Kampung Martabak Kari di Loa Tebu, Kukar, dari Kisah Cinta Pria India Menikahi Gadis Pribumi

Hajah Dijah saat membuat martabak kari. (foto: aldi budiaris/kaltimkece.id)

Bumbu kari buatan perempuan ini cukup tersohor. Sebuah resep warisan orangtua yang menjadi penyambung hidup.

Ditulis Oleh: Aldi Budiaris
Senin, 25 April 2022

kaltimkece.id Suara benturan spatula dengan wajan terdengar cukup nyaring ketika reporter kaltimkece.id tiba di depan sebuah rumah di Kelurahan Loa Tebu, Tenggarong, Kutai Kartanegara. Dari situ juga, aroma rempah-rempah memanjakan hidung. Di sebuah teras yang disulap menjadi kedai mini, empunya rumah, Hajah Dijah, 70 tahun, tengah memasak martabak kari untuk dijual.

Di Loa Tebu, ada empat pedagang santapan berbahan dasar tepung terigu itu. Tiga di antaranya adalah Hajah Dijah, Hajah Noor, dan Haji Arbaen. Kedai milik Hajah Noor dan Haji Arbaen berjarak hanya beberapa meter dari kedai Hajah Dijah. Keberadaan mereka membuat Loa Tebu terkenal sebagai kampung martabak kari.

“Almarhum orangtua saya yang pertama kali membuat martabak dan bumbu kari di Loa Tebu,” ungkap perempuan berdarah India dan Kutai itu kepada media ini, Kamis, 21 April 2022. Saat diwawancari, Hajah Dijah didampingi putranya, Fauzi, 45 tahun.

_____________________________________________________PARIWARA

Fauzi lantas menceritakan sejarah keberadaan martabak kari di Loa Tebu. Sebermula dari kesulitan kakeknya, Maido Bin Poker, mencari kerja di tanah kelahirannya di India. Putus asa, pria kelahiran 1886 itu merantau ke Indonesia pada 1942 silam. Di negeri ini, ia menemui sahabatnya yang miliki pabrik lilin di Balikpapan, Kaltim. Maido bekerja di pabrik tersebut sebagai buruh.

Beberapa bulan kemudian, Maido berhenti bekerja. Hasil jerih payah menjadi buruh pabrik lilin, ia gunakan membuka rumah makan di Kelurahan Klandasan Ulu, Balikpapan Kota. Ia menjual nasi campur kari. Pelanggannya adalah buruh yang bekerja di pabrik lilin, tempat kerja Maido sebelumnya. “Beliau memang hobi memasak,” cerita Fauzi.

Suatu hari pada 1944, Maido mendapat permintaan bantuan dari sahabatnya yang tinggal di Tenggarong, Abdullah. Ia diminta menjaga warung milik Abdullah di Loa Tebu. Gayung bersambut, Maido pindah ke Loa Tebu. Di sinilah, ia bertemu dengan pujaan hatinya, Hajah Encek Mastora. Pada tahun itu juga, Maido menikahi gadis pribumi itu.

Dari perkawainannya, Maido dan Hajah Encek dikaruniai delapan anak, salah satunya Hajah Dijah. Agar asap di dapur tetap bisa mengepul, Maido menjual martabak. Ilmu membuat martabak ia peroleh saat masih tinggal di India. Hajah Encek selalu setia menemani suaminya menjalankan usaha sampai akhir hayat memisahkan. “Kakek wafat pada 1968,” sebut Fauzi.

Maido meninggalkan sejumlah warisan yang amat berarti bagi keturunannya, yaitu ilmu meracik martabak kari. Peninggalan yang lain adalah batu penggiling bumbu dan wajan yang dibawa Madio dari India. Hajah Dijah kemudian melanjutkan usaha ayahnya sampai hari ini. Ia dibantu anaknya, Fauzi.

Hajah Dijah dan Fauzi tak hanya menjual martabak tapi juga bumbu mentah kari. Ada dua ukuran kemasan bumbu tersebut yakni 30 gram dan 500 gram. Kemasan tersebut diberi merek Bumbu Kari India. Bumbu racikan kari buatan Hajah Dijah amat disukai banyak orang.

“Setiap bulan, kami membuat 6-12 kilogram bumbu dengan macam-macam rempah tersebut,” imbuh Fauzi.

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Meski banyak penjual martabak kari di Loa Tebu, namun yang menjual bumbu mentah kari hanya keluarga Hajah Dijah. Pembeli tetapnya tak lain adalah Hajah Noor dan Haji Arbaen. Kedua pedagang itu disebut sudah menjadi pelanggan Hajah Dijah selama 20 tahun. Dari bisnis ini, keluarga Hajah Dijah mampu meraup Rp 8 juta dalam sebulan.

“Terus terang, saya dan keluarga hidup dari membuat bumbu (kari martabak) ini,” sebut Fauzi.

Ditemui kaltimkece.id di Loa Tebu, Haji Arbaen membenarkan, menjadi pelanggan bumbu kari buatan Hajah Dijah sejak dua dekade lalu. Dalam sebulan, pria berusia 60 tahun itu membeli enam kilogram Bumbu Kari India. “Bumbunya itu, punya ciri khas sendiri. Beda dengan yang lain,” tutup lelaki yang biasa dipanggil Haji Baen ini. (*)

Editor: Surya Aditya

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar