Kutai Timur

Hak-Hak Dicabut, Diminta Berhenti ketika Hamil, Pekerja Tiga Perusahaan Sawit Unjuk Rasa di DPRD Kutim

person access_time 3 years ago
Hak-Hak Dicabut, Diminta Berhenti ketika Hamil, Pekerja Tiga Perusahaan Sawit Unjuk Rasa di DPRD Kutim

Unjuk rasa pekerja tiga perusahaan sawit di DPRD Kutim, Selasa, 20 Oktober 2020. (koresponden kaltimkece.id)

Massa yang tergabung dari pekerja tiga perusahaan sawit di Kutim mendatangi wakil rakyat meminta keadilan.

Ditulis Oleh: Bobby Lolowang
Rabu, 21 Oktober 2020

kaltimkece.id Sekretariat DPRD Kutai Timur (Kutim) kembali diserbu. Kali ini berasal dari gabungan pekerja di tiga perusahaan sawit yang menuntut keadilan. Menyuarakan beberapa dugaan pelanggaran ketiga perusahaan tersebut.

Unjuk rasa dimulai pukul 09.00 Wita pada Selasa kemarin, 20 Oktober 2020. Ratusan demonstran datang berseragam merah. Turut tergabung dalam Federasi Persatuan Buruh Militan- lKonfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (FPBM-KASBI). Massa diadang aparat gabungan dengan pagar kawat berduri, sebelum diterima para anggota DPRD Kutim. Turut menemui Sekretaris Kabupaten Kutim serta perwakilan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kutim. 

Ketua Umum FPBM-KASBI, Bernadus Aholiap Pong mengatakan bahwa unjuk rasa tersebut sekaligus memperjuangkan penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. Namun yang jadi fokus utama adalah permasalahan di depan mata. Yakni berbagai persoalan yang dihadapi pekerja di tiga perusahaan sawit setempat. 

Bernadus turut menyorot hasil rekomendasi pansus DPRD Kutim untuk menutup operasional salah satu perusahaan sawit di Kecamatan Kaliorang yang termasuk pencabutan izin operasi. Begitu juga tindak lanjut kasus pencemaran lingkungan oleh perusahaan sawit lainnya yang terungkap pada 2019. "Saat itu sudah diberi sanksi administrasi. Namun sanksi itu tak dilaksanakan pihak perusahaan sampai hari ini," terangnya kepada koresponden kaltimkece.id di Kutai Timur. 

Bernadus juga memaparkan persoalan lain tentang hak-hak karyawan yang banyak tak dipenuhi. FPBM-KASBI meminta dijadwalkan pemanggilan terhadap perusahaan tersebut untuk membayar sejumlah hak karyawan yang dihilangkan. 

"Beberapa hak karyawan yang dihilangkan adalah satunan kecelakaan kerja, cuti hamil dan melahirkan, dan 14 karyawan berstatus BHL (buruh harian lepas) yang diberi PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak. Alasan perusahaan, status BHL itu tidak menjadikan pihak perusahaan berkewajiban memberi cuti hamil, sehingga pekerja harus berhenti dari perusahaan ketika hamil," urainya. 

Dalam tuntutannya, FPBM-KASBI meminta dicabutnya penghilangan hak karyawan berupa ketiadaan cuti hamil dan melahirkan. Selain itu, pencabutan ketentuan karyawan usia lanjut yang tidak dipensiunkan dan kecelakaan kerja tidak ditanggung dan atau disantuni.  Di perusahaan tersebut juga dikatakan jika 50 persen dari 1.500 karyawan masih menggunakan BPJS kesehatan APBN, yang berarti hanya ditanggung oleh negara. "Itu jelas melanggar Undang-Undang Korporasi," tegas Bernadus. 

Dalam unjuk rasa tersebut akhirnya disepakati, Pemkab Kutim dan DPRD Kutim memberikan surat rekomendasi yang ditujukan kepada tiga perusahaan dimaksud. Termasuk memberi imbauan agar sekira 300 pengunjuk rasa Selasa kemarin tidak diberi sanksi oleh ketiga perusahaan. 

Wakil Ketua Komisi A DPRD Kutim, Basti Sanggalangi mengatakan bahwa pihaknya telah berupaya memfasilitasi tuntutan dari pekerja tiga perusahaan dimaksud. DPRD Kutim turut prihatin atas hal yang dialami para pekerja. 

"Kami sudah membuat surat rekomendasi agar perusahaan tak memberi sanksi apapun, sehingga karyawan tak ada gejolak lagi ketika bekerja. Mudah-mudahan para karyawan bisa bekerja kembali dengan baik dan aman," ungkap Basti. 

Dia juga menegaskan jika pansus telah bekerja maksimal dalam membuat rekomendasi kelanjutan perizinan salah satu perusahaan yang dipersoalkan. Dalam hal ini, tim pansus memang menemukan pelanggaran lingkungan. 

"Terkait itu, kami minta supaya ada sanksi pidana, yaitu membayar denda karena sudah mencemarkan sungai di Kaliorang pada 2019," tegas Basti.

Pansus DPRD Kutim dan Pemkab Kutim juga memanggil pemilik perusahaan menghadiri rapat dengar pendapat di Sekretariat DPRD Kutim pada Jumat, 23 Oktober 2020 mendatang. 

"Harapannya, pemilik perusahaan selaku pemodal hadir mengambil keputusan agar tuntutan buruh bisa menemukan solusi," harap Basti. 

Ketua Pansus, Hepni Apansyah, menjelaskan jika sebelumnya antara pekerja dan perusahaan sudah membuat perjanjian bersama tentang ketenagakerjaan. Namun perjanjian itu tidak ditindaklanjuti pihak perusahaan. 

"Akhirnya kami membentuk panja (panitia kerja) khusus menyikapi tentang permasalahan buruh, dan ketika mendatangi perusahaa , kami hanya diterima manajemen yang tidak memiliki kewenangan terkait masalah yang dibahas. Permintaan kami untuk merespons perjanjian perusahaan dengan buruh juga tak ditindaklanjuti, sehingga kami membentuk pansus," terang Hepni. 

Selain perkara antara pekerja dan perusahaan, tim pansus juga menemukan permasalahan lain di perusahaan tersebut. Yaitu pelanggaran menyangkut Undang-Undang Lingkungan. Dinas Lingkungan Hidup Kutim pun dilibatkan  Bupati juga telah bersurat kepada perusahaan tersebut pada Februari 2020. Menjabarkan 94 item pelanggaran yang ditemukan di perusahaan.

Setelah unjuk rasa berakhir, Sekkab Kutim Irawansyah mengatakan jika pemerintah mengupayakan para buruh di tiga perusahaan tersebut bisa bekerja kembali sesuai yang diharapkan. Pertemuan dengan salah satu perusahaan juga telah dijadwalkan sesuai permintaan Pjs Bupati Kutim M Jauhar Effendi. Semua stakeholder yang bersangkutan untuk menyikapi hasil rekomendasi Pansus DPRD Kutim bakal dihadirkan.

"Kami harap pertemuan itu bisa menyelesaikan masalah di perusahaan, baik lingkungan maupun ketenagakerjaan," harap Irawansyah. (*)

 

Dilengkapi oleh koresponden kaltimkece.id di Kutai Timur

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar