Lingkungan

Bukan Banjir Biasa, Hujan Terbesar dalam 40 Tahun, Aliran Air Nyangkut di Pasar Segiri

person access_time 4 years ago
Bukan Banjir Biasa, Hujan Terbesar dalam 40 Tahun, Aliran Air Nyangkut di Pasar Segiri

Banjir di Perumahan Griya Mukti, Gunung Lingai, Samarinda, pada Idulfitri 1441 H (foto: istimewa)

Meluapnya Sungai Karang Mumus kali ini terbilang tidak biasa. Air menggenang ketika permukaan Sungai Mahakam justru normal-normal saja. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 26 Mei 2020

kaltimkece.id Banjir besar yang melanda Samarinda bermula pada Jumat, 22 Mei 2020. Dua hari sebelum Ramadan berakhir, hujan yang amat deras mengguyur seluruh Samarinda Utara. Waduk Benanga yang menjadi hulu Sungai Karang Mumus pun segera penuh. 

Menurut catatan resmi, intensitas hujan di kawasan Tanah Merah adalah 165 milimeter. Di Kelurahan Pampang, curah hujan mencapai 185 milimeter sementara di Sungai Siring 109 milimeter. Adapun Kelurahan Lempake, curah hujan di angka 95 milimeter.

“Curah hujan sedemikian bahkan jauh lebih tinggi dibanding banjir besar pada 1998. Waktu itu (pada 1998) hanya 108 milimeter,” terang Eko Wahyudi, konsultan masterplan pengendalian banjir Samarinda, kepada kaltimkece.id, Selasa, 26 Mei 2020.

Tidak perlu 24 jam bagi limpasan air untuk memenuhi Waduk Benanga di Lempake. Pada Sabtu, 23 Mei 2020, tinggi muka air (TMA) memecahkan rekor tertinggi yakni 107 sentimeter. Sebagai informasi, TMA Benanga pada waktu waduk jebol pada 1998 “hanya” 90 sentimeter.

Air yang sudah tak mampu ditampung Waduk Benanga akhirnya meluber ke Sungai Karang Mumus. Pada hari kedua Idulfitri, Senin, 25 Mei 2020, empat kecamatan dengan 10 kelurahan di Samarinda terendam. Sebanyak 7.810 kepala keluarga dengan 27.335 jiwa terdampak banjir.

Waduk Benanga adalah hulu Sungai Karang Mumus yang menampung air dari segala arah. Kiriman air terbesar datang dari utara, mulai Lempake, sekitar Bandara APT Pranoto, hingga sebagian wilayah Kutai Kartanegara. Lebih detailnya, areal tangkapan air yang masuk ke Benanga seluas 19.150 hektare atau kira-kira 26 persen wilayah kota Samarinda (Kajian Kondisi Biofisik Daerah Tangkapan Air Potensi dan Pemanfaatan Waduk Benanga di Wilayah Kota Samarinda, 2017, hal 150).

Limpasan air pada banjir kali ini makin cepat masuk ke Waduk Benanga karena pembukaan lahan. Menurut Eko Wahyudi, tim pengendali banjir telah memeriksa kondisi waduk melalui foto udara. Air keruh memenuhi hampir di setengah wilayah bendungan. 

Dari penelusuran, Eko mengatakan, asal air keruh itu dari hulu Sungai Dam yang bermuara di Benanga. Sungai ini masuk sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) Pampang yang berhulu di air terjun Berambai. Lahan di dekat air terjun tersebut diduga sedang dibuka pemilik lahan. Aliran tersebut menambah sedimentasi sehingga mengurangi kapasitas Waduk Benanga.

Waduk Benanga dibangun pada 1978. Bendungan ini sejatinya bukan kolam pengendali banjir karena didirikan untuk keperluan irigasi sederhana. Malahan, pembangunan waduk bertujuan menaikkan permukaan air Sungai Karang Mumus agar mampu mengairi 350 hektare lahan persawahan (Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu, 2017, hal 150).

Seiring berjalannya waktu, pada 1988, waduk berfungsi menampung air dari hulu Sungai Karang Mumus sebelum masuk ke Samarinda. Hal itu tidak lepas dari posisi bendungan yang strategis karena berdiri tepat di pertemuan Daerah Aliran Sungai Lempake di hulu dan Karang Mumus di hilir. 

Baca juga: 
 

Ketika bendungan penuh, mau tidak mau air harus dikirim ke Sungai Mahakam via Sungai Karang Mumus. Celakanya, kondisi Karang Mumus sudah kritis sehingga tidak mampu menjalankan tugas tersebut. 

Tertahan di Pasar Segiri

Meluapnya Sungai Karang Mumus kali ini terbilang tidak biasa. Pasalnya, di muara yakni badan Sungai Mahakam, permukaan air justru biasa-biasa saja. Ketinggian Sungai Mahakam pun normal, tidak sampai meluap. 

Eko Wahyudi mengatakan, kondisi ini disebabkan aliran Sungai Karang Mumus dari Waduk Benanga tertahan di Pasar Segiri. Hasil telaahnya didasari dari fakta bahwa kawasan yang terendam seluruhnya dari Pasar Segiri ke arah hulu. Sementara dari Pasar Segiri ke arah hilir, ketinggian air Karang Mumus normal.

“Perbatasan wilayah yang tergenang dan tidak tergenang itu ada di Pasar Segiri. Jalan Dr Soetomo tergenang, namun ke hilir tidak banjir. Dari situ dapat dilihat titik air tertahan,” sambungnya

Tinggi muka air di Sungai Karang Mumus antara segmen Jalan Dr Soetomo dengan segmen muara pun berbeda. Menurut Eko, perbedaan ketinggian ini mencapai 1 meter. 

Pemerintah sejauh ini belum maksimal menangani bottle neck aliran air di Pasar Segiri karena kendala sosial. Di segmen tersebut, lanjut Eko, ada 600 KK yang perlu direlokasi. 

Eko menambahkan bahwa penanggulan seluruh badan Sungai Karang Mumus adalah solusi dari banjir tahunan. Jika sungai telah ditanggul, dia memastikan, tidak ada lagi banjir yang disebabkan luapan Karang Mumus. Yang tersisa hanya banjir lokal karena air hujan.

“Menurut perhitungan kami, banjir lokal terjadi karena kemampuan drainase di setiap titik berbeda-beda. Drainase di Samarinda rata-rata hanya mampu menahan curah hujan 35-45 milimeter,” jelasnya. Jika hujan lebih deras dari itu, banjir lokal masih akan terjadi. (*) 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar