Lingkungan

Jala Penangkap Sampah Membentang di Sungai Karang Mumus, Cara Kuno yang Bikin Terheran-heran

person access_time 3 years ago
Jala Penangkap Sampah Membentang di Sungai Karang Mumus, Cara Kuno yang Bikin Terheran-heran

Jala penjerat sampah terpasang di Jembatan Gang Nibung, Jumat, 26 Februari 2021. (samuel gading/kaltimkece.id)

Jala dipasang DLH Samarinda untuk menjerat dan mengukur volume sampah di Sungai Karang Mumus.

Ditulis Oleh: Samuel Gading
Sabtu, 27 Februari 2021

kaltimkece.id Mulyono sedang bersantai menonton televisi di kamar rumahnya tatkala notifikasi ponsel pintarnya berdenting. Pria 52 tahun itu mendapat pesan dari seorang warga bahwa beberapa petugas berpakaian putih-putih memasang sejenis jala di atas Jembatan Gang Nibung.

Melihat pesan itu, Mulyono terheran-heran. Ketua RT 27 Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Sungai Pinang tersebut, sama sekali tak mendapatkan kabar apapun dari Pemkot Samarinda ihwal rencana pemasangan jala itu.

Keheranan Mulyono, juga dirasakan banyak warganet ketika melihat Jembatan Gang Nibung tersebu sudah terpasang jala rajut. Terbentang di sisi kanan dan tengah jembatan yang membentang di atas Sungai Karang Mumus tersebut.

Kepada kaltimkece.id, Mulyono mengatakan bahwa pukat tersebut sudah terpasang sejak Kamis, 25 Januari 2021. “Berdasarkan laporan warga di grup WhatsApp RT pukul 11.00 Wita,” ucapnya.

Bersama salah satu warga, Mulyono kemudian memeriksa ke lokasi pukul 12.00 Wita. Namun, begitu sampai, tak satupun petugas berada di tempat.

“Saya kira buat menangkap ikan. Karena ketika saya tanya Babinsa juga enggak tahu itu apa. Soalnya kalau ada program atau normalisasi sungai, kami pasti diberitahu,” jelasnya.

Pria yang sehari-hari berdagang sembako itu kemudian mengatakan bahwa pada keesokannya, puluhan petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda kembali mendatangi jembatan tersebut. Tiba sekitar pukul 14.00 Wita. Menaiki speedboat dan kapal pengangkut kecil. Petugas itu lalu mengangkat beberapa sampah yang tertambat di pukat tersebut.

“Ada 12 orang yang datang. Sampahnya diangkat pakai tangan dan dibawa pergi. Saya senang sih kalau ada upaya begitu, cuma kami agak bingung kalau tidak diberitahu dulu. Padahal kami siap membantu,” katanya. 

Tersebar di Empat Jembatan

Kepala DLH Samarinda, Nurrahmani, mengatakan bahwa jala dimaksud sebenarnya baru resmi dipasang Jumat siang, 26 Februari 2021. Sedangkan pada sehari sebelumnya, petugas DLH disebut baru mengukur dan mengujicobakan pemasangan.

Nurrahmani membenarkan jika sosialiasi dari pemasangan tersebut memang tidak dilakukan. Sebab menurutnya, pemasangan jala tidak mengganggu rumah atau akses jalan warga. “Lain kalau misalnya seperti TPA (tempat pembuangan akhir) yang dibongkar dan dipindah. Inikan kami semua yang mengerjakan,” ucap Yama, sapaan karibnya.

Meski demikian, Yama mengaku sudah datang dan berkomunikasi kepada perwakilan warga Gang Nibung pada Kamis sore itu. DLH Samarinda juga telah memasang spanduk sebagai bentuk pemberitahuan kepada warga.

Adapun pemasangan jala itu dimaksudkan untuk menjerat dan mengukur volume sampah yang larut di Sungai Karang Mumus. Jaring tersebut juga untuk mempermudah petugas ketika mengangkut sampah, sekaligus mengajak masyarakat peduli dan ikut membersihkan sungai.

“Jadi kami bisa mengukur darimana titik sampah dibuang. Juga sebagai bagian dari 100 hari program kerja wali kota baru. Yakni gerakan membersihkan Sungai Karang Mumus,” ungkapnya, Jumat 27 Februari 2021.

Total ada empat jembatan dan dua titik di Segmen Nibung dan Tepekong yang akan dipasang jala. Dengan perincian Jembatan Nibung dan Jembatan Satu sebagai jembatan induk, serta Jembatan Baru dan Jembatan Pasar Sungai Dama sebagai jembatan pendukung. Jala ditempatkan selang-seling di tiap jembatan agar tidak mengganggu arus kapal.

“Satu titik ada backup penahan sampahnya karena tidak dipasang menutupi jembatan. Jadi jika satu (jala) dipasang di sisi kiri, jembatan satunya di sisi kanan,” jelas Yama.

Pemasangan jaring di empat jembatan tersebut ditargetkan rampung dalam waktu kurang dari sebulan. Pada Senin, 1 Maret 2021, dijadwalkan pemasangan jala di Jembatan Satu. Setiap harinya, sampah yang terjaring bakal diangkut dan dievaluasi volumenya oleh lima petugas DLH Samarinda yang berpatroli menyusuri sungai.

“Hari ini di Gang Nibung enggak bisa diangkut. Ada mispersepsi dari warga. Sampahnya malah dilarutkan, bukan diangkat,” terangnya.

Mispersepsi diakui disebabkan minimnya sosialisasi terhadap pemasangan jala tersebut. Untuk menyatukan pemahaman, DLH Samarinda bakal melakukan sosialisasi dan mengundang camat, lurah, dan perwakilan RT terkait kebijakan tersebut pada 2 Maret 2021

Tanggapan Pengamat Lingkungan

Aktivis lingkungan dan pegiat SKM, Yustinus Sapto Hardjanto, mengapresiasi upaya DLH Samarinda mengangkut dan mengukur volume sampah di anak Sungai Mahakam tersebut. Meskipun demikian, Yus, sapaan akrabnya, menilai jika hal tersebut masih tidak tepat.

“Jembatan saja sudah menangkap sampah. Tapi ingat, ketika nanti air meluap dan sampah terjaring di situ, warga bukannya mengangkat malah melarutkan,” jelasnya.

Menurutnya, sumber sampah Samarinda bukan hanya berasal dari permukiman di sempadan sungai. Sampah juga berasal dari got dan saluran air. Sebab, jalur gorong-gorong Samarinda masih terintegrasi dengan sungai.

Dengan demikian, akan lebih baik jika DLH Samarinda menjaring sampah menggunakan teknologi garbage trap atau jebakan sampah serupa jaring yang disematkan di ujung got, berdekatan dengan sungai.

“Jala di jembatan itu bukan gebrakan. Teknologinya masih kuno. Kalau pakai itu kan harus pakai perahu mengambilnya, tidak praktis,” sambungnya.

Yus lalu mencontohkan pola serupa yang pernah di terapkan di Jalan Pramuka, Samarinda. Jebakan sampah ujung-ujungnya membuat air meluap karena sampah yang terjerat tak pernah diangkat. Warga pun membuang jebakan tersebut karena jadi timbunan sampah yang meresahkan.

Menurut lelaki paruh baya itu, kebiasaan membuang sampah sudah melekat secara kultural atau menjadi budaya bagi masyarakat Samarinda. Pemkot Samarinda disarankan terlebih dahulu mengubah mindset masyarakat melalui penciptaan komunitas masyarakat. Sekaligus mengubah sistem pengelolaan sampah di pinggir sungai.

“Ada petugas yang mengambil sampah yang dikumpulkan dari rumah. Pola itu bisa diterapkan. Soalnya kan selama ini masyarakat kalau mau ke TPS saja jauh, yang paling dekat got,” tuturnya.

“Membangun peradaban itu mesti menggunakan prinsip interdisipliner dan kolaboratif. Persoalan SKM tidak akan selesai tanpa kearifan dan kebijakan. Tidak cukup kalau cuma solusi jangka pendek,” pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar