Lingkungan

Kepungan Sawit hingga Tambang di Habitat Utama Orangutan Kaltim

person access_time 5 years ago
Kepungan Sawit hingga Tambang di Habitat Utama Orangutan Kaltim

Foto: Sapri Maulana (kaltimkece.id)

Habitat orangutan makin bersinggungan aktivitas manusia. Langkah konservasi belum menolong sepenuhnya.

Ditulis Oleh: Sapri Maulana
Rabu, 30 Januari 2019

kaltimkece.id Kalimantan merupakan salah satu habitat orangutan terbesar. Total 60 ribu orangutan diperkirakan hidup di pulau ini. Mengerucut ke Kaltim, populasinya berkisar 6 ribu. Pada Hari Primata Nasional yang jatuh 30 Januari ini, bagaimana kondisi endemik Nusantara itu Bumi Etam?

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kaltim Sunandar mengklaim keberadaan orangutan sudah lebih baik. Indikatornya adalah kuantitas yang dijadikan peliharaan hampir tak ditemukan. Demikian juga konflik dengan manusia yang menurutnya mulai berkurang.

Pada 2018, terdapat laporan 15 konflik orangutan. Namun, laporan terbanyak masih dari masyarakat. Di level korporasi hanya beberapa.

Hidup di Luar Konservasi

Pendataan Ecology and Conservation Center for Tropical Studies atau Ecositrops, orangutan Kaltim sebagian besar tersebar di lansekap Kutai, dari Sungai Mahakam bagian utara hingga Sungai Kelay di Berau. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen hidup di luar habitatnya, alias bukan kawasan konservasi.

“Saya pikir konfliknya makin ke sini makin banyak. Proses penanganan konservasi orangutan di luar kawasan konservasi itu sangat penting,” kata Direktur Ecositrops, Yaya Rayadin, setelah Diseminasi Kehidupan Orangutan di salah satu hotel Kota Tepian, Selasa 29 Januari 2019.

Dalam paparannya, disebutkan luas lansekap Kutai mencapai 3 juta hektare. Namun, wilayah konservasi hanya 10 persennya. Orangutan di wilayah konservasi yang 300 ribuan hektare tersebut, masih bisa dikategorikan aman. Berbeda dengan orangutan di luar konservasi.

“Orangutan yang sekarang ada di perkebunan sawit, di HTI (hutan tanaman industri), dan di tambang, itu harus jadi perhatian,” ungkap Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman tersebut.

Menurut Yaya, pembukaan kawasan yang terus berjalan baik untuk sawit, HTI, dan tambang, selaras dengan ancaman terhadap kualitas pakan dan habitat orangutan. Ecositrops mencatat tiga perusahaan tambang, 10 perusahaan sawit, dan sembilan HTI beroperasi di lansekap Kutai. “Harga tambang (batu bara) naik, pembukaan di mana-mana. Jadi sekarang orangutan tinggal di luar habitatnya,” lanjut dia.

Meski demikian, menurut Yaya, sisi menarik mengemuka di balik realita tersebut. Ada peningkatan dari perhatian dan kesadaran perusahaan terhadap orangutan, khususnya perusahaan berskala internasional. Hal itu tak lepas dari salah satu syarat menjual produk di pasar internasional. Korporasi diwajibkan memiliki konservasi terhadap orangutan.

“Bahkan sekarang, perusahaan kalau mau pinjam ke bank, diminta dokumen pengelolaan konservasi orangutan-nya seperti apa. Itu kemajuan positif,” kata Yaya.

Menurut peneliti orangutan itu, jika konversi lahan terus berlanjut, habitat satwa yang dilindungi juga terus terganggu. Kualitas pakan sangat memengaruhi.  Dari temuan Ecositrops, orangutan di hutan yang sehat, memiliki rata-rata berat 40 hingga 50 kilogram. Namun, di kawasan kebun sawit, HTI, ataupun tambang, ditemukan induk dengan berat hanya berkisar 20 kilogram.  “Kurus sekali. Kalau kondisi pakan terganggu atau berkurang, pasti populasi orangutan terganggu,” kata Yaya.

Solusi Penyelamatan

Jalan keluar penyelamatan orangutan di luar konservasi berbeda-beda. Solusi menyesuaikan bidang kerja perusahaan yang arealnya terdapat orangutan atau satwa lindung lain. Langkah penyelamatan juga perlu menyesuaikan regulasi. Misalnya HTI yang memiliki kewajiban konservasi 10 persen dari luas konsesinya. Meskipun, tetap tak ada jaminan konflik orangutan tereduksi. Apalagi penebangan atau perburuan ilegal masih menghantui. “Maka perusahaan yang punya kawasan konservasi harus komitmen mengamankan kawasan tersebut,” kata Yaya.

Celakanya, regulasi belum menjangkau semua sektor. Contohnya perusahaan sawit yang tak diwajibkan membuat kawasan konservasi. Peran pemerintah pun menjadi krusial. Salah satu siasat bisa dilakukan adalah memberi apresiasi bagi korporasi yang berinisiatif melakukan konservasi.

Lalu, bagaimana dengan tambang? Menurut Yaya, solusi tepat ialah memastikan setiap kawasan di luar areal eksploitasi, beralih menjadi wilayah konservasi.  “Mungkin itu solusinya, selain pengetahuan sumber daya manusia dan desain kawasan untuk bisa menjamin pakan orangutan.”

Realita Hutan Bumi Etam

Dari pendataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), deforestasi kawasan hutan di Kaltim dari 2000 sampai 2015, rata-rata mencapai 60 ribu hektare per tahun. Sebagai gambaran, luasan tersebut melewati daratan Balikpapan di kisaran 50 ribu hektare.

Sebesar 30 persen deforestasi terjadi dalam kawasan hutan. Sebagian besar tutupan lahan berhutan berubah menjadi semak belukar dan hutan tanaman.

Kementerian LHK juga mencatat degradasi hutan di Kaltim yang sebagian besar terjadi di Hutan Produksi Terbatas atau HPT tak berizin. Dari 2000 sampai 2015, rata-rata degradasi hutan Kaltim sekitar 36 ribu hektare per tahun. Degradasi hutan berarti hilangnya hutan primer menjadi hutan sekunder. Dan dari rata-rata tersebut, 56 persen terjadi di HPT yang tak berizin. Praktis, penyebab utama degradasi tertuju pada pembalakan, baik legal maupun ilegal.

Pendataan Forest Watch Indonesia, luas hutan di Kaltim pada 2016 adalah 5,89 juta hektare, 47 persen dari total luas daratan provinsi ini. Deforestasi dari 2013-2016, mencapai 472 ribu hektare. Salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Deforestasi hutan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan 30/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan kegiatan manusia. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar