Lingkungan

Menyelamatkan Sumber Air di Gunung Layung, Empat Desa di Kutai Barat Tolak Kehadiran Tambang

person access_time 3 years ago
Menyelamatkan Sumber Air di Gunung Layung, Empat Desa di Kutai Barat Tolak Kehadiran Tambang

Gunung Layung di Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat (foto: Jatam Kaltim for kaltimkece.id)

Warga empat desa di Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat, menolak kehadiran perusahaan pertambangan batu bara. Mereka khawatir sumber air untuk pertanian masyarakat hilang. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 14 Juli 2020

kaltimkece.id Dua jam penantian di depan ruang kerja Sekretaris Provinsi Kaltim akhirnya selesai ketika perwakilan warga dari Kutai Barat dipersilakan masuk. Rombongan kecil berjumlah enam orang itu segera duduk di kursi tamu. Mereka menjelaskan duduk perkara rencana pertambangan yang beroperasi di sejumlah desa kepada Sekprov Kaltim Muhammad Sa’bani selaku tuan rumah.  

Senin, 13 Juli 2020, di Kantor Gubernur Kaltim, warga dari Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat, tersebut, mengaku khawatir terhadap aktivitas pengerukan batu bara. Para perwakilan masyarakat ini adalah Martidin dari Kampung Geleo Asa, serta Rinayanti dan Kornelis Detang dari Kampung Geleo Baru. Warga menceritakan tentang sikap mereka yang menolak melepas lahan pertanian kepada perusahaan pertambangan. Sudah ada empat desa yang mengambil keputusan tersebut. Selain Kampung Geleo Asa dan Geleo Baru, Kampung Ongko Asa dan Pepas Asa menolak kehadiran perusahaan. 

Yang menjadi kekhawatiran utama adalah keberadaan Gunung Layung, sebuah bukit sekitar 5 kilometer dari pusat Barong Tongkok, ibu kota Kutai Barat. Bukit tersebut adalah sumber utama mata air yang mengairi sejumlah sungai di empat desa. Dari sungai-sungai ini, warga bisa mengairi sawah, menyirami kebun karet dan durian, hingga mencari ikan.

Seusai mendengar pemaparan tersebut, Sekprov mengatakan, akan memfasilitasi pertemuan dengan sejumlah pihak seperti Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim serta Badan Perizinan. Sekprov turut meminta warga memberikan peta lahan agar mudah didata sehingga tidak masuk wilayah pertambangan. Pertemuan yang berlangsung lebih kurang 15 menit itu pun berakhir. 

Martidin, Rinayanti, dan Kornelis selanjutnya bertemu para juru warta di sebuah kedai di Jalan Dahlia, Samarinda. Menurut keterangan mereka, sebagian besar kawasan desa sebenarnya diperuntukkan sebagai daerah pertanian, perkebunan, dan permukiman berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kaltim. Dalam surat Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kaltim bernomor 662/1876/PR-PENG pada 28 September 2018, tersirat bahwa lokasi tersebut direncanakan dibangun irigasi. Namun demikian, ada 2.975 hektare lahan yang ternyata masuk konsesi tiga perusahaan pertambangan. Dengan demikian, aktivitas pertambangan tidak sesuai RTRW provinsi.

Kedatangan perusahaan tambang batu bara segera disadari warga. Pada 2018, warga Kampung Ongko Asa telah sepakat menolak kehadiran tambang. Sekarang, sikap yang sama diambil warga Kampung Geleo Asa dan Geleo Baru.

Baca juga: 
 

“Kami tinggal di desa tersebut sudah delapan generasi. Kami ingin pertahankan kehidupan di desa kami,” jelas Kornelis dari Kampung Geleo Baru. Ia menekankan bahwa warga tidak menolak investasi. Namun menerima aktivitas pertambangan bisa dipastikan mengubah kehidupan warga, terutama enam kelompok tani yang beraktivitas di situ.

“Kami berharap, pemprov dan pemkab berada di pihak kami,” lanjutnya dalam jumpa pers.

Martidin dari Kampung Geleo Asa menjelaskan alasan warga menolak tambang. Menurutnya, industri tambang tidak cocok dengan kehidupan warga bermata pencaharian bertani sawah dan berkebun karet. Belum lagi Gunung Layung sebagai sumber air yang terancam lenyap. Itulah dasar warga menolak untuk melepas lahan mereka kepada perusahaan.

“Selain sawah dan kebun karet, durian melak juga berasal dari desa kami. Selama ini kami hidup dari pertanian. Jika ada aktivitas pertambangan, kami keberatan,” imbuh Rinayanti, perwakilan warga yang lain.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, masih dalam jumpa pers, menyebutkan bahwa ada dugaan mala-administrasi dalam perpanjangan izin usaha pertambangan di desa tersebut. Di samping tidak ada kesesuaian dengan RTRW provinsi, jalan hauling dan dermaga batu bara telah dibangun sebelum izin lingkungan dirampungkan.

“Atas suara masyarakat setempat ini, sudah sepatutnya pemerintah meninjau ulang izin pertambangan di wilayah tersebut,” tegasnya. Jatam khawatir, ketika aktivitas pertambangan dipaksakan berjalan, kehidupan warga di empat desa berakhir seperti yang banyak terjadi di Kaltim.

“Jika pemerintah memiliki akal sehat, rasanya tidak sukar untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat kecil, dalam hal ini petani yang terancam aktivitas tambang,” tutupnya. (*)

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar