Politik

Kejanggalan Isu Makmur, Serangan untuk Calon Ketua DPRD

person access_time 5 years ago
Kejanggalan Isu Makmur, Serangan untuk Calon Ketua DPRD

Makmur HAPK kini menjabat ketua sementara DPRD Kaltim. (Nalendro Priambodo/kaltimkece.id)

Aroma politisasi tercium dalam isu yang menyeret Makmur HAPK. Muncul jelang pemilihan ketua DPRD Kaltim yang diikutinya.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Sabtu, 07 September 2019

kaltimkece.id Ketua DPRD Kaltim bersifat sementara selama 20 hari. Makmur HAPK baru mendudukinya sepekan. Ketua definitif masih menanti proses di internal Partai Golkar sebagai peraih kursi terbanyak. Makmur adalah satu dari lima kandidat posisi itu. Berkaitan atau tidak, di tengah proses tersebut, nama Makmur ramai jadi perbincangan. Sejumlah isu masa lalu bermunculan.

Berbicara kepada kaltimkece.id, Makmur mengembuskan napas panjang sebelum memberi tanggapan. Mantan Bupati Berau itu mengakui isu tentang dirinya cukup mengusik. Apalagi muncul di tengah proses pemilihan ketua DPRD Kaltim dari Partai Golkar. 

Salah satu pemberitaan miring adalah dugaan penyelewengan lahan perkebunan di Berau pada 2008. Kasus ini masuk meja KPK dan Kejaksaan Agung pada 2011. Kasus lama dan Makmur telah memenuhi panggilan klarifikasi dari Kejaksaan Agung pada akhir Mei 2018. Yang jelas, hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari kelanjutan kasus tersebut.

“Saya di Berau tidak sembarangan keluarkan izin. Dan saya sudah klarifikasi hal itu,” kata Makmur, Sabtu, 7 September 2019. “Kok, baru marahnya hari ini lagi.”

Makmur adalah bupati Berau selama dua periode dari 2005 hingga 2015. Satu periode sebelumnya, ia menjabat wakil bupati mendampingi Masdjuni. Semasa menjabat, Makmur pernah dikaitkan dalam aduan penggunaan dana Bantuan Operasional Daerah (Bosda) Berau pada APBD 2011. Sempat dipertanyakan pertanggungjawabannya oleh anggota DPRD Berau. Dugaan kasus itu turut mencuat hari-hari ini.

Makmur menepis segala dugaan. Argumennya, Bosda adalah kewenangan kepala sekolah. “Bupati ‘kan bukan pengguna anggaran,” bantahnya.

Makmur membeberkan beberapa detail atas pelbagai dugaan yang dialamatkan kepadanya. Tapi, untuk menghormati tugas aparat penegak hukum, ia enggan berpolemik. Apalagi berandai-andai. Baginya, yang terpenting adalah mengedepankan azas praduga tak bersalah.

Ia hanya menyesalkan isu begini muncul jelang kontestasi politik yang ia ikuti. Bukan kali ini saja serangan diterimanya. Pola begini dialaminya mulai pencalonan sebagai wakil maupun bupati Berau pada awal 2000-an. Diikuti pencalonan legislatif di DPRD Kaltim hingga kini ketua DPRD Kaltim.

“Saya sudah biasa difitnah. Saya diam saja. Saya hargai saja pelaporan. Yang analisa biarkan aparat penegak hukum,” kata peraih suara tertinggi daerah pemilihan Berau dan Kutim dengan 38.281 suara tersebut.

Sekretaris Golkar Kaltim Abdul Kadir maklum dengan isu yang menyerang Makmur. Sudah biasa dalam politik, katanya. “Mungkin banyak pihak khawatir. Sehingga memunculkan persoalan tidak substansi yang sebenarnya sudah tidak ada masalah. Beliau tidak ada permasalahan hukum, kok,” tegas Kadir.

Ia malah bertanya-tanya mengapa isu ini kembali muncul. Apalagi sudah lebih 10 tahun berlalu. Meski demikian, Kadir tak merasa isu tersebut merugikan Golkar. Termasuk Makmur di tengah keberadaannya dalam bursa pemilihan ketua DPRD. Tak Juga berpengaruh ke DPP Golkar yang berwenang menunjuk ketua DPRD. “Kami tidak akan terpengaruh. Kami beracuan fakta hukum yang ada,” katanya.

Aroma Politisasi

Menurut pengamat politik Lutfi Wahyudi, setiap kasus yang dimunculkan pada musim politik, berpotensi besar politisasi. “Harusnya, aparat penegak hukum juga tak berlarut-larut dan menjelaskan apakah itu kasus hukum atau bukan. Atau malah politisasi,” katanya.

Dalam pandangan akademikus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman tersebut, pola begini tidak baik dalam dinamika politik. Membuat mereka yang dipojokkan bak tersandera di tengah hajatan politik. Dipicu opini negatif yang dimunculkan ke publik. Dikhawatirkan menjadi preseden buruk dalam politik Kaltim dan nasional.

“Persaingan politik jadi tak sehat. Kalau persaingan politik tidak sehat, produk kebijakan publik jadi tidak sehat. Apalagi kalau tidak segera diselesaikan,” sesalnya.

Lebih jauh, politik negatif seperti ini bakal menjadi duri dalam daging pada proses politik selanjutnya. Dalam pengambilan kebijakan, tak menutup kemungkinan pola serupa muncul lagi. Semisal, hanya gara-gara DPRD, terlebih unsur pimpinan mengambil kebijakan tak sesuai keinginan segelintir orang, kasus tersebut kembali dibuka. Sandera politik pun kembali muncul.

Dalam hal ini, Lutfi menyarankan Makmur segera meminta kejelasan hukum. Begitu pula bagi penegak hukum, segera membeberkan hasil klarifikasi terbuka kepada publik. Agar terang-benderang. “Agar masyarakat tak dibayangi pikiran tak produktif dan konstruktif.” tandasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar