Politik

Persiapan Tiga Partai Baru di Pemilu

person access_time 1 year ago
Persiapan Tiga Partai Baru di Pemilu

Dari kiri: Ketua Exco Partai Buruh Kaltim, Benny Kowel; Ketua DPW Partai Ummat Kaltim, Dwiyanto Purnomosidhi; dan Sekretaris Partai Gelora Kaltim, Sarwono. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Pemilu tinggal beberapa bulan lagi. Parpol-parpol baru bermunculan. Misi apa yang mereka bawa?

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Senin, 29 Mei 2023

kaltimkece.id Pemilihan umum 2024 bakal diramaikan 18 partai politik atau parpol. Pada 1-14 Mei 2023, parpol-parpol tersebut mendaftarkan sejumlah kadernya menjadi calon legislatif di tingkat pusat, provinsi, maupun daerah. Untuk warga Kaltim, tersedia delapan kursi di DPR RI dan 55 kursi di DPRD provinsi.

Dari 18 parpol tersebut, beberapa di antaranya merupakan partai baru. Beberapa waktu lalu, kaltimkece.id mewawancarai tiga pimpinan parpol baru tingkat Kaltim. Ketiganya adalah Partai Buruh, Partai Ummat, dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Gelora.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Ummat Kaltim diemban oleh Dwiyanto Purnomosidhi. Mulanya, lulusan Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, ini meluruskan mengenai tudingan partainya mengusung politik identitas. Tudingan ini muncul setelah Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, memberikan keterangan dalam rangkaian rapat kerja nasional (rakernas) pertama partainya pada pertengahan Februari lalu. Dwiyanto mengakui bahwa Partai Ummat mengusung politik identitas Islam.

“Akan tetapi, Islam yang di maksud adalah Islam yang rahmatan’ lil-alamin yang berarti rahmat bagi semua,” katanya.

Ia menjelaskan, Partai Ummat menggunakan identitas Islam agar dapat mengayomi semua pihak tanpa memandang suku maupun agama. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa calon anggota legislatif dari Partai Ummat yang beragama non-muslim. Rata-rata, mereka berasal dari Indonesia bagian timur terutama Nusa Tenggara Timur dan Papua.

“Identitas Islam yang dibawa Partai Ummat adalah Islam sebagai ideologi dan pemikiran. Tidak ada keharusan anggotanya harus beragama Islam,” tegasnya.

Selanjutnya, Dwiyanto membeberkan beberapa program Partai Ummat. Program partai yang didirkan Amien Rais ini kebanyakan menindaklanjuti agenda reformasi yang belum tuntas. Beberapa di antaranya yakni penegakan hukum yang belum adil dan pemberantasan korupsi yang tak kunjung menemui titik terang.

“Moto kami, lawan kezaliman, tegakan keadilan,” pungkas Dwiyanto.

Tiga Gagasan Partai Gelora

Pimpinan berikutnya adalah Sarwono yang menjabat sekretaris Partai Gelora Kaltim. Salah seorang pengurus partai ini adalah Hadi Mulyadi. Sebelumnya, wakil Gubernur Kaltim itu merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera Kaltim. Pada akhir 2019, bekas akademikus Universitas Widyagama itu hengkang dari PKS dan mendirikan Partai Gelora Kaltim. Walau demikian, Sarwono menyatakan menolak jika partainya disebut sebagai pecahan dari partai lain.

“Membangun partai itu harus dengan sadar, bukan dengan emosional,” kata pria yang mencalonkan diri sebagai wali kota Samarinda pada 2018 tersebut. Ia menambahkan, partai yang lahir dari konflik internal di partai lain, umurnya tak akan lama.

Partai Gelora disebut membawa sejumlah ide dan gagasan baru. Sarwono memaparkan, gagasan Partai Gelora berasal dari beberapa sejarah Indonesia. Pertama, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kedua, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dan yang terakhir adalah menjadikan Indonesia sebagai kekuatan besar dunia baik kuat ekonomi, pendidikan, maupun militer. Kekuatan negara ini diharapkan dapat setara dengan Amerika, Rusia, dan Cina.

Sarwono menerangkan, terdapat satu poin penting dari sejarah pertama dan kedua Indonesia itu, yaitu imajinasi yang kuat. Sumpah Pemuda berisi kesepakatan menjadikan Indonesia sebagai tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan. Sementara proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan pernyataan pembebasan dari penjajahan. Semangat inilah yang dibawa Partai Gelora.

Sarwono mengatakan, ada beberapa pihak yang meremehkan gagasan yang diusung partainya. “Jika berimajinasi saja kita tidak berani, bagaimana bangsa ini akan menjadi besar?” ucapnya.

Partainya Para Pekerja

Ketua exco Partai Buruh Kaltim adalah Benny Kowel. Ditemui di Aksara Kopi dan Buku, Samarinda, Benny menyebutkan, Partai Buruh dibentuk oleh lima konfederasi dan 67 federasi serikat buruh. Para buruh tersebut termasuk pembantu rumah tangga (PRT) dan pelaku ojek daring. Ketua umumnya adalah Said Iqbal yang merupakan pemimpin Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Partai Buruh disebut lahir dari krisis kesejahteraan yang menimpa kaum buruh di Indonesia.

“Terutama setelah dibentuknya Undang-Undang Cipta Kerja,” jelas Benny.

Gagasan utama Partai Buruh adalah mewujudkan welfare state atau negara kesejahteraan. Benny menerangkan, gagasan ini terinspirasi dari jaminan-jaminan sosial yang dihadirkan beberapa negara seperti Australia dan Selandia Baru. Jaminan-jaminan sosial di negara-negara tersebut dinilai dapat memakmurkan dan memajukan rakyatnya.

Benny menyebutka, ada empat jaminan sosial yang akan diperjuangkan Partai Buruh. Keempatnya yaitu jaminan makan, air bersih, kesehatan, dan perumahan. “Jika keempat jaminan tersebut terpenuhi, kesejahteraan rakyat akan terwujud,” kata mantan anggota DPR tersebut.

Ia menyayangkan bahwa selama ini terdapat sekat dan dikotomi terhadap pemaknaan kata ‘buruh’. Pekerja kerah biru atau pekerja kasar disebut sebagai buruh, sementara pekerja kerah putih atau pekerja kantoran disebut sebagai karyawan. Padahal, menurut KBBI, setiap mereka yang diupah adalah buruh. Itu berarti, karyawan yang diberi upah juga termasuk buruh.

“Itu menjadi stigma selama 32 tahun kepemimpinan Orde Baru,” ucapnya. Orde Baru disebut berperan dalam politisasi bahasa terhadap kata buruh. Dalam tulisan berjudul Asal Usul Istilah Karyawan yang diterbitkan Historia, istilah karyawan dipopulerkan oleh Soeharto untuk memisahkan istilah buruh yang lekat dengan gerakan “kiri”. Hari Buruh pada 1 Mei pun sempat dilarang.

Benny mengakui, partainya merupakan partai kiri. Lebih tepatnya, partai yang berhaluan sosialisme demokrat. Walau demikian, ideologi Partai Buruh dipastikan tetap berkesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila. “Terutama sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tandas pria berusia kepala lima itu. 

Tantangan Ambang Batas

Berlaga di pemilu 2024, parpol-parpol baru dihadapai satu tantangan agar bisa menembus parlemen. Tantangan itu adalah ambang batas sebesar 4 persen. Dalam UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, partai yang tak mencapai ambang batas sebesar 4 persen tak bisa lolos ke parlemen. Itu berarti, suara yang diraih seorang kandidat belum menjamin mendapatkan kursinya di parlemen.

Pahitnya kebijakan tersebut pernah dirasakan Tsamara Amany, eks politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam pemilu 2019, ia meraih 140.057 suara di daerah pemilihan DKI II. Ia juga memenangi suara diaspora di Singapura dan Los Angeles. Akan tetapi karena partainya tak mencapai ambang batas 4 persen, Tsamara tak jadi merasakan empuknya kursi parlemen. Pada April 2022, ia memutuskan hengkang dari PSI.

Ketiga petinggi parpol baru yang diwawancarai kaltimkece.id, Dwiyanto, Sarwono, dan Benny, menyatakan tak gusar dengan kebijakan tersebut. Mereka optimistis mendapatkan kursi di parlemen. Tim mereka telah memetakan dapil yang berpotensi menghasilkan suara banyak.

Jumansyah, akademikus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unmul. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Pengamat politik Jumansyah menjelaskan, kebijakan ambang batas 4 persen diperlukan untuk memperkecil potensi konflik kepentingan. “Semakin banyak parpol, semakin banyak kepentingan yang mesti diakomodasi,” jelasnya dihubungi melalui telepon.

Jumansyah menerangkan, kebijakan penyederhanaan partai pernah dilakukan pada era Orde Baru. Pada zaman ini, hanya ada tiga partai yang berlaga di pemilu. Ketiganya yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Saat itu, partai konservatif Islam dileburkan ke PPP dan partai nasionalis ke PDI. Sementara Golkar terafiliasi dengan militer dan birokrat.

Kebijakan ini disebut berujung kekuasaan yang terlalu terpusat kepada Soeharto lantaran Golkar selalu memenangi pemilu. Setelah reformasi 1998, peraturan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold diterapkan sebagai titik tengah kembalinya pemilihan umum dengan multi partai. “Yang menentukan adalah kualitas partai-partai,” kata Jumansyah.

Lebih lanjut, akademikus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unmul, itu membeberkan, ada partai politik di Indonesia yang saat ini tidak ideologis bahkan cenderung pragmatis. Itu dapat dilihat dari tingkah laku elit politik yang dapat dengan mudah pindah dari satu partai ke partai lain. Ia juga menyebutkan, kebanyakan parpol cenderung tidak mempunyai roh atau karakteristik yang khas namun hanya mengandalkan ketokohan.

Jumansyah pun memberikan apresiasi kepada sejumlah parpol baru yang membawa ide atau gagasan yang spesifik. Apalagi jika mereka dapat memecahkan permasalahan yang selama ini tidak bisa dipecahkan parpol sebelumnya. Ia pun tidak mempermasalahkan mengenai politik identitas yang dibawa parpol baru.

“Mau sudut pandang buruh atau agama, semua tergantung komitmennya,” kuncinya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar