Ragam

Berlimpah Untung Mendampingi Jemaah Haji

person access_time 1 year ago
Berlimpah Untung Mendampingi Jemaah Haji

Sejumlah petugas haji yang mendampingi orang-orang Indonesia beribadah haji di Arab Saudi. FOTO: ISTIMEWA

Mahasiswa ini ketiban rezeki setelah menjadi pendamping jemaah haji Indonesia. Selain mendapatkan puluhan juta rupiah, ia juga menunaikan ibadah haji.

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Jum'at, 30 Juni 2023

kaltimkece.id Informasi perekrutan tenaga pendamping jemaah haji Indonesia itu diterima Yusuf Al Amin saat sedang menempuh pendidikan S-2 di Universitas Al Azhar, Mesir. Ia yang merasa mampu membantu orang-orang menunaikan rukun Islam kelima segera mengajukan permohonan. Tak lama kemudian, pemuda berusia 25 tahun itu menerima kabar untuk mengikuti seleksi.

Seleksi yang diselenggarakan Kedutaan Besar Indonesia di Kairo itu berlangsung pada Maret 2023. Kepada kaltimkece.id melalui sambungan telepon, Yusuf bercerita, terdapat beberapa materi ujian dalam seleksi tersebut. Salah dua di antaranya yakni kecakapan berbahasa Arab dan mengerjakan 50 kuesioner. Materi kuesionernya mengulas tentang ibadah haji seperti manasik haji hingga hukum-hukum beribadah haji.

“Selain itu juga harus mempunyai pemahaman tentang tata cara ibadah haji,” tutur mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah itu.

Beberapa hari kemudian, hasil seleksi diumumkan. Nama Yusuf masuk di antara 78 orang yang lulus dari penjaringan tersebut. Yusuf mengatakan, selain Mesir, kegiatan tersebut juga diikuti mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di sejumlah negara di Timur Tengah seperti Sudan, Maroko, Tunisia, hingga Libya. Total tenaga pendamping dari semua negara tersebut adalah 140 orang. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga pendamping yang direkrut di Arab Saudi.

“Saya terpilih dari kerja sama perhimpunan pelajar dan konsulat,” beber Yusuf. Kolaborasi itu meliputi Persatuan Pelajar Indonesia Timur Tengah dan Afrika dengan Konsulat Jenderal Indonesia di Jeddah.

Para petugas haji untuk jemaah asal Indonesia memiliki tupoksi yang berbeda-beda dan disebar di tiga daerah yaitu Makkah, Madinah, dan Jeddah. Yusuf menyebutkan, ada petugas yang dikhususkan menjemput jemaah di bandara, ada juga yang mendampingi jemaah haji dalam menunaikan ibadah. Adapun tugas Yusuf yakni mengurus paspor jemaah haji di Makkah.

Pria asal Tasikmalaya, Jawa Barat, itu mengucap syukur bisa menjadi tenaga pendamping jemaah haji. Selain mendapatkan upah, ia juga menunaikan ibadah haji. “Dapat ikut berhaji merupakan salah satu benefit dari mendampingi jemaah,” ucapnya.

Meskipun demikian, ia tetap mengutamakan pekerjaannya sebagai jemaah haji. Pasalnya, prioritas pekerjaan ini tertuang dalam sebuah perjanjian kerja sama yang ia tandatangani bersama PPI Timtengka dan KJRI Jeddah. Dalam perjanjian tersebut, penghasilan yang diterima Yusuf dari mendampingi jemaah haji adalah 7.500 Riyal atau sekitar Rp 30 juta.

Yusuf berpendapat, penghasilan tersebut pantas didapatkan para pendamping jemaah haji. Alasannya, pekerjaan mereka tergolong berat karena jumlah petugas tak sebanding dengan jumlah jemaah haji. Tahun ini, sebut dia, terdapat sekitar 200.000 orang asal Indonesia yang berhaji sementara jumlah petugasnya hanya 4.000 orang.

Yusuf Al Amin saat mendampingi dua warga Indonesia yang beribadah haji. FOTO ISTIMEWA

Para pendamping juga harus menghadapi orang-orang yang memiliki beragam karakter seperti jemaah lanjut usia dan difabel. Di Kaltim, berdasarkan data yang dihimpun Kantor Wilayah Kementerian Agama Kaltim, dari 2.586 orang yang berangkat ke Tanah Suci, sekitar 30 persen di antaranya berusia di atas 60 tahun.

“Ini adalah salah satu tantangan dalam mendampingi jemaah haji tahun ini,” ucap Yusuf.

Selama mendampingi jemaah haji, ia mengaku mendapat beberapa pelajaran baru. Salah satunya mengenai gelar haji. Biasanya, kata dia, orang-orang Indonesia yang telah beribadah haji akan dipanggil haji sepulang dari Baitullah. Budaya tersebut tak pernah ada di Arab Saudi. “Kalau di Arab Saudi, tidak ada orang yang memakai gelar haji,” sebutnya.

Asal-Usul Gelar Haji

Penyematan gelar haji kepada orang Indonesia yang telah beribadah haji disebut bagian dari politik Belanda pada masa silam. Muhammad Sarip, sejarawan Kaltim, memberikan penjelasan. Pada abad ke-19, cerita dia, banyak orang Indonesia yang beribadah haji tidak sekedar beribadah. Mereka juga menuntut ilmu di Makkah dalam waktu cukup lama.

Menuntut ilmu di Makkah dianggap berbahaya. Pasalnya, pada zaman itu, pemberontakan dari Wahabi tengah berlangsung di Jazirah Arab. Wahabi merupakan kelompok pemberontak yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab dan Ibnu Saud. Gerakan ini belakangan berhasil merebut Hijaz yang meliputi Makkah dan Madinah lalu mengubahnya menjadi Arab Saudi.

“Faktor itulah yang menambah ketakutan bagi kolonial Belanda,” kata Sarip. Orang-orang Belanda kemudian menandai orang-orang yang telah beribadah haji dengan sebutan haji.

Muhammad Sarip, sejarawan Kaltim. FOTO: DOKUMEN KALTIMKECE.ID

Sarip menganggap, ketakutan Belanda sebenarnya tidak sepenuhnya beralasan. Pasalnya, pemberontakan-pemberontakan yang muncul dari tokoh-tokoh Islam tidak sepenuhnya berlatar belakang keagamaan. Ia menyebutkan kasus dalam perlawanan kubu Pangeran Diponegoro terhadap Belanda sebagai contoh. Perlawanan tersebut ditengarai dipantik dari sengketa tanah.

Walau demikian, kata Sarip, Belanda tidak serta merta melarang pelaksanaan ibadah haji. Mereka bahkan menyediakan fasilitas agar jemaah haji bisa berangkat ke Makkah. Salah satunya menyediakan kapal uap sebagai sarana transportasi bagi jemaah haji. “Mereka melihat peluang bisnis di situ,” ucapnya.

Apa yang dipaparkan Sarip itu selaras dengan jurnal Politik Haji Belanda di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda Tahun 1853-1902. Jurnal tersebut menjelaskan bahwa Snouck Hugronje, penasihat kolonial Belanda dalam hal Keislaman, tidak menganggap Islam sebagai musuh. Belanda hanya menganggap musuh apabila Islam menjadi alat politik. Snouck Hugronje pun pernah bilang kepada kolonial Belanda agar memberikan kebebasan beragama kepada masyarakat Hindia Belanda sepanjang tidak mengganggu kekuasaan.

Penyematan haji pada masa kini disebut memiliki alasan yang berbeda dengan zaman dulu. Sarip mengatakan, sekarang, orang-orang dipanggil haji karena prestise sosial setelah beribadah haji. (*)

Senarai Kepustakaan

  • Muhammad Gifari Syah, 2015. Politik Haji Belanda di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda Tahun 1853-1902. Universitas Nusantara PGRI Kediri.
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar