Ragam

Indahnya Kebersamaan Umat di Kelenteng Thien Ie Kong

person access_time 1 year ago
Indahnya Kebersamaan Umat di Kelenteng Thien Ie Kong

Suasana pasar Ramadan di Kelenteng Thien Ie Kong, Samarinda. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Pasar Ramadan ini berdiri di sebuah kelenteng di Samarinda. Hiburan kerap disuguhkan warga Konghucu untuk pengunjung di situ.

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Rabu, 19 April 2023

kaltimkece.id Kelenteng Thien Ie Kong di Jalan Yos Sudarso, Samarinda Ilir, ramai pada Ahad sore, 16 April 2023. Bukan untuk beribadah, para pengunjung kelenteng hendak berburu takjil. Sejumlah stan yang menyediakan beragam macam kudapan dan minuman dingin berdiri di halaman rumah ibadah warga Konghucu itu.

Aktivitas tersebut berlangsung sejak awal Ramadan 2023. LS Production adalah sebuah event organizer alias EO di Samarinda yang mengadakan pasar Ramadan di Kelenteng Thien Ie Kong. Kepada kaltimkece.id, Direktur Utama LS Production, Wellyanto, menyatakan pasar ini merupakan acara perdana yang diadakan LS Production.

Wellyanto alias Ali, direktur utama LS Production. Ia yang menggagas pasar Ramadan di Kelenteng Thien Ie Kong. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Ali, sapaan Wellyanto, menceritakan pengalamannya membuat acara tersebut. Awalnya, ia iseng melontarkan ide mengadakan pasar Ramadan di Kelenteng Thien Ie Kong. Teman-temannya yang mendengar ide tersebut kaget. Ali lantas mendiskusikan idenya kepada ketua pengurus Kelenteng Thien Ie Kong, Untung Brawijaya. Koh Atung, demikian panggilan lelaki itu, merupakan teman dekat Ali. Begitu mendengar seluruh pemaparan Ali, Koh Atung disebut setuju dengan ide tersebut.

“Koh Atung hanya meminta saya menyiapkan gambaran kasar mengenai event yang akan diadakan,” cerita Ali.

Konsep yang diminta Koh Atung itu diserahkan Ali dua hari setelah diskusi tersebut. Usai mendapat restu dari Koh Atung, ia mengurus perizinan mengadakan pasar Ramadan ke kepolisian, ketua RT, hingga camat. Bak mendapat karpet merah, Ali mengatakan, semua pihak memudahkan pengadaan pasar Ramadan di Kelenteng Thien Ie Kong. Lima hari jelang Ramadan, ia sudah mengantongi semua perizinan yang diperlukan.

Pasar Ramadan tersebut, sebut Ali, mengusung tema toleransi. Tema ini dipilih dengan harapan semua umat dapat saling mendukung dan menghargai keyakinannya. Harapan tersebut tampaknya sudah menjadi kenyataan. Beberapa komunitas musik dan tari-tarian dari Kelenteng Thien Ie Kong kerap tampil di pasar Ramadan tersebut. Sore itu, misalnya, atraksi barongsai dari Yayasan Dharma Bhakti menghibur para pengunjung di situ.

Tak hanya itu, sebuah gedung yang biasa dipakai sebagai pendopo Kelenteng Thien Ie Kong dialihfungsikan menjadi musala. “Gedung ini kini bisa dipakai untuk teman-teman muslim berbuka puasa dan mendirikan salat,” ucap Ali.

Alasan Ali mengadakan pasar Ramadan di Kelenteng Thien Ie Kong sangat sederhana. Lewat usahanya ini, ia hanya ingin bilang, semua akan indah bila saling melengkapi tanpa membedakan agama, suku, dan warna kulit. Ia pun menolak disebut sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa.

“Saya warga Indonesia, cukup begitu saja. Saya lahir, besar, dan kerja di sini. Mati pun saya akan di sini. Tidak perlu ada embel-embel warga keturunan,” ucapnya.

Hansen Tjahaja adalah salah seorang pengurus Kelenteng Thien Ie Kong. Ia menyatakan, mendukung pasar Ramadan ini karena dapat memperkenalkan Kelenteng Thien Ie Kong kepada masyarakat Samarinda. Ia menyebutkan, tidak menutup kemungkinan masih ada masyarakat yang ragu-ragu berkunjung ke kelenteng berusia 118 tahun itu.

“Padahal, Kelenteng Thien Ie Kong merupakan salah satu destinasi pariwisata di Samarinda. Siapa pun boleh ke sini,” ujar Hansen. Pada Mei 2022, Kelenteng Thien Ie Kong ditetapkan sebagai satu dari sembilan bangunan bersejarah di Samarinda. Ketentuannya tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota Samarinda tentang Cagar Budaya.

Sebuah pendopo di Kelenteng Thien Ie Kong kini dialihfungsikan menjadi musala. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH-KALTIMKECE.ID

Cikal Bakal Tionghoa di Yos Sudarso

Kelenteng Thien Ie Kong didirikan oleh Huang Tian Quan pada 1905. Buku Sungai Mahakam dalam Arus Sejarah dan Budaya Samarinda menulis, orang Samarinda biasanya menyebut kelenteng tersebut dengan sebutan Tempekong. Hal ini terjadi karena diduga terjadi kekeliruan pengucapan bahasa Inggris yang semestinya temple Kong. Deifinisi temple adalah kuil sedangkan Kong diambil dari nama terakhir kelenteng tersebut.

Menurut Hansen Tjahaja, arti Thien Ie Kong adalah Tuhan Yang Maha Besar. Ia memastikan, konstruksi bangunan kelenteng ini masih sama seperti pertama kali dibuat. Terutama tiangnya yang berbahan kayu ulin, dipastikan masih utuh.

Muhammad Sarip, sejarawan asal Samarinda, menyebut, Kelenteng Thien Ie Kong dulunya merupakan salah satu ikon Samarinda. Posisinya yang berhadapan dengan dermaga kelotok dinilai strategis. Pada zaman ketika transportasi laut menjadi transportasi utama di Samarinda, Kelenteng Thien Ie Kong disebut sebagai “mercusuarnya” kapal yang hendak berlabuh.

Warga Tionghoa yang bermukim di Jalan Yos Sudarso, Samarinda Ilir, cukup banyak. Sarip mengatakan, bukan tanpa alasan banyak warga Tionghoa tinggal di situ. Pada masa penjajahan, kolonial Belanda disebut sengaja memisahkan permukiman sejumlah etnis di Samarinda untuk menciptakan friksi.

Aimee Dawis dalam bukunya berjudul Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (2010) menulis, strategi pemisahan tersebut disebut sebagai devide et impera. Secara harfiah, devide et impera bermakna adu domba dan kuasai. Belanda melakukan upaya ini untuk mencegah perlawanan dan terus berkuasa.

Etnis Tionghoa ditempatkan di sepanjang Jalan Yos Sudarso hingga Jalan Niaga Timur. Sementara Suku Kutai dan Banjar di Kampung Handel Maatschappij Borneo Samarinda (kini dikenal sebagai kampung Pasar Pagi). Adapun Suku Jawa di kawasan Teluk Lerong dan Suku Bugis di Samarinda Seberang.

Sarip menyebut, pada zaman Orde Baru, etnis Tionghoa kerap mendapat perlakukan diskriminasi sebagai dampak pemberontakan PKI pada 1965 dan keberadaan Tiongkok sebagai negara komunis. “Polarisasi itu warisan kolonial untuk memecah belah warga,” sebutnya.

Kondisinya mulai berubah setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Pascareformasi, kata Sarip, etnis Tionghoa perlahan-lahan membaur dengan etnis lainnya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar