Ragam

Ketidakwarasan Berseliweran di Jalan, Siapapun Bisa Jadi Korban

person access_time 5 years ago
Ketidakwarasan Berseliweran di Jalan, Siapapun Bisa Jadi Korban

Amukan orang dengan gangguan jiwa menimbulkan keresahan warga (ilustrasi: Danoo)

Berkeliaran tanpa kewarasan
Bergaduh tanpa alasan
Korban-korban berjatuhan

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Sabtu, 11 Agustus 2018

kaltimkece.id Seperti hari-harinya terdahulu, Hengki, 20 tahun, menghabiskan sore di Kafe Positif di Jalan Merdeka, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda. Pemuda itu biasa menikmati minuman kesukaannya sambil bercengkerama bersama sahabatnya, Bagus Rusdian, 23 tahun. Kebetulan, Bagus bekerja di kafe itu. 

Ahad, 5 Agustus 2018 lalu, Hengki dan Bagus sudah larut dalam perbincangan ketika Siswanto alias Nopen mulai mondar-mandir di depan kedai. Wajah lelaki berusia 30 tahun itu murung. Hengki dan Bagus segera menghentikan obrolan mereka. Keduanya memerhatikan lekat-lekat Siswanto yang mengenakan kaus hitam. Gerak-geriknya mulai mencurigakan. 

“Lelaki itu seperti orang linglung,” terang Bagus ketika ditemui kaltimkece.id di Kafe Positif, tengah pekan ini. 

Setelah satu menit ke sana ke mari, Siswanto menuju meja di sebelah Hengki dan Bagus. Ia duduk seraya menghela napas sepanjang-panjangnya. Tanpa diduga, tangan kanan Siswanto meraih pisau pemotong roti dari piring sisa makanan pengunjung. Dia tiba-tiba berdiri dan mengamuk. 

Hengki dan Bagus yang ikut terkejut segera berdiri. Keduanya mencoba menenangkan Siswanto. Bukannya tenang, amukan Siswanto justru menjadi-jadi. Pisau di tangannya dihunuskan ke seluruh pengunjung dan karyawan kafe. Hengki kemudian segera merangkul Siswanto. Namun, tubuh lelaki yang mengamuk itu lebih besar dari Hengki dan tak berhenti memberontak. 

Pelukan Hengki terlepas. Siswanto pun mengarahkan pisau di tangannya dan menusuk punggung kiri Hengki. Melihat temannya terluka, Bagus ikut membantu. Dia mendorong Siswanto dan berhasil menjatuhkannya di atas lantai. Warga sekitar yang mengetahui peristiwa itu segera memberi “hadiah” tambahan. Menjadi bulan-bulanan, Siswanto hanya bisa melindungi kepalanya. Warga kemudian menghubungi Markas Kepolisian Sektor Kota Sungai Pinang. Sementara Hengki yang terluka, dibawa ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie. 

“Kondisi Hengki kini membaik setelah dioperasi,” jelas Bagus, sahabatnya. 

Peristiwa di Kafe Positif terjadi hanya 20 hari setelah seorang lelaki yang membawa palu mengamuk di Jalan Pelita, juga di Kecamatan Sungai Pinang. Pada 16 Juli 2017, Muhammad Riharja, 39 tahun, pegawai Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim, meninggal terkena pukulan palu. Seperti Siswanto, pelakunya adalah Saripuddin, 52 tahun, yang mengamuk dan diduga mengidap gangguan jiwa. 

Terbukti Gangguan Jiwa

Dikurung satu malam di dalam sel, Siswanto tetap mengamuk dan meracau. Kepolisian menduga lelaki itu mengalami gangguan jiwa. Ia pun diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Sosial Samarinda. Siswanto lalu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam, Samarinda. 

Kepala Unit Reserse Kriminal, Kepolisian Sektor Kota Sungai Pinang, Inspektur Satu Wawan Gunawan, mengatakan bahwa kepolisian menunggu hasil pemeriksaan rumah sakit. “Jika terbukti gangguan jiwa, kami tidak dapat melanjutkan proses hukumnya,” jelas Wawan. Hal itu sesuai pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahwasanya, tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal. 

Siswanto, sebagai biang keributan, bukanlah orang asing bagi sebagian warga Jalan Merdeka. Sejak 2014, pria itu diduga menderita gangguan jiwa karena sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Siswanto waktu itu baru saja bercerai dan tidak mendapat hak asuh anak. Ketika dalam perawatan itulah, keluarga Siswanto di Jalan Merdeka V menjual rumah. Mereka pindah tanpa meninggalkan satu keterangan pun. Siswanto keluar dari rumah sakit pada akhir 2014. Dia kembali ke Jalan Merdeka dan menjadi tunawisma. Lelaki itu tidur di tempat yang ia suka. Warga sekitar yang iba memberinya makanan. 

“Kami sebenarnya tidak merasa terganggu, sampai dia mengamuk itu,” terang Samsuddin, 59 tahun, warga Jalan Merdeka yang ditemui kaltimkece.id. Perilaku Siswanto mulai berubah pada Ahad siang lalu. Beberapa jam sebelum menikam Hengki, Samsudidn melihat Siswanto marah-marah sambil memegang batu. Samsuddin kemudian dilempar namun berhasil menghindar. 

“Mungkin dia kumat seperti dulu,” duganya. 

Baca juga: Menantang Mati Demi Eksistensi

Setelah diperiksa di rumah sakit, Siswanto dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Wakil Direktur Pelayanan Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam, dokter Jaya Mualimin, memastikan hal itu. Lagi pula, Siswanto sudah terdata pernah melewati perawatan pada 2014. 

Siswanto sebenarnya baru keluar dari rumah sakit. Dia dimasukkan oleh Dinas Sosial Samarinda. Setelah 20 hari perawatan, Siswanto diperbolehkan pulang pada 18 Juli 2018. Rumah sakit menyerahkannya kepada warga bernama Rudi yang tinggal di Jalan Merdeka V. Rudi mengaku sebagai kerabatnya. Penyerahan disertai bukti foto. 

Dokter Jaya mengatakan, Siswanto mengamuk karena menolak minum obat penenang sebanyak empat kali. Hal itu menimbulkan halusinasi sampai akhirnya mengamuk kembali. 

Tak Ada Penampungan

Amukan dua orang, satu dipastikan mengidap gangguan jiwa, dapat menimbulkan keresahan warga. Tidak peduli siapapun korbannya, tua-muda atau kaya-papa, bisa menjadi sasaran. Mereka yang mengidap gangguan kejiwaan mengamuk tanpa memilih korbannya. 

Di jalan-jalan Samarinda, tak sedikit orang yang menderita ketidakwarasan berseliweran. Mereka berpakaian lusuh dan berbau tak sedap, hidup sebagai gelandangan. Tidak banyak yang peduli apalagi mengurusi. 

Padahal, pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan aturan mengenai hal tersebut. Menurut Undang-Undang 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap orang dengan gangguan jiwa. Pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah lewat Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan.  

Pasal 80 undang-undang itu mengatakan, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab melakukan penatalaksanaan terhadap orang dengan gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan atau orang lain, dan atau mengganggu ketertiban dan atau keamanan umum. Pasal berikutnya menyatakan, pemerintah wajib merehabilitasi orang dengan gangguan jiwa yang terlantar itu. Utamanya, orang yang tidak mampu, tidak mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan atau tidak diketahui keluarganya. 

Jika ia tanggung jawab pemerintah, mengapa orang dengan ketidakwarasan itu masih berkeliaran? 

Syarifah, pekerja sosial dari Dinas Sosial Samarinda, mengatakan bahwa kesulitan utama adalah tiadanya tempat penampungan atau panti. Tempat itu diperlukan bagi pasien setelah melewati masa pemulihan di rumah sakit. Dalam banyak kasus, terang Syarifah, sanak saudara menolak pasien yang baru keluar dari rumah sakit jiwa kembali ke tengah-tengah mereka.

Kondisi itu dibenarkan dokter Jaya Mualimin dari RSJD Atma Husada Mahakam. Setelah pasien menjalani perawatan di rumah sakit, tidak ada penampungan bagi mereka untuk masa rehabilitasi. Alhasil, rumah sakit yang harus menampung. Kapasitas RSJD Atma Husada Mahakam pun sesak. Dari 190 kamar, rumah sakit telah menampung 170 pasien. Adapun 20 kamar yang tersisa, sudah digunakan buat rehabilitasi pasien narkotika. 

Dokter Jaya mengatakan, saat ini hanya tersedia satu penampungan bagi orang dengan gangguan jiwa di Samarinda. Panti itu didirikan secara mandiri oleh lembaga swadaya masyarakat Joint Adulam Ministry di Jalan Cendana. Penampungan itu juga telah penuh.

“Puluhan pasien akhirnya tetap tinggal di rumah sakit karena tidak ada yang mau merawat. Kami berharap pemerintah dan instansi terkait bisa mencari jalan keluar," harap Jaya.

Kiriman dari Luar

kaltimkece.id mengikuti razia Dinas Sosial Samarinda awal pekan ini. Pada Senin, 6 Agustus lalu, seorang pria yang diduga mengalami gangguan jiwa diamankan. Lelaki yang dipanggil Iyan itu berpakaian compang-camping. Dia sedang tidur di atas trotoar di Jembatan Lambung Mangkurat ketika diangkut petugas. Di pinggang sebelah kanannya, terselip sebuah palu. 

Baca juga: Pamer Alat Kelamin, dari Zaman Kuno hingga Era Internet

Iyan adalah “residivis” yang berulang kali terjaring razia. Dia warga Samarinda. Namun, berbeda dengan Iyan, Dinas Sosial mencatat 13 orang yang terjaring razia selama sepekan, sebagian besar justru dari luar kota. 

Syarifah dari Dinas Sosial Samarinda memastikan, orang dengan gangguan jiwa yang berkeliaran di Samarinda adalah “kiriman” dari wilayah lain. Namun, Syarifah mengaku, tak tahu persis bagaimana mereka bisa tiba di Samarinda. “Kebanyakan mereka datang dari jauh. Saya pastikan itu benar,” tegasnya. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar